Bali #6 : Tragedy!

Halo, Bali!

Universitas Dhyana Pura, tempat acara Seminar dan Workshop Psikologi Forensik, letaknya lebih dari 3 kilometer dari hotel tempatku menginap. Terletak di Jalan Padang Luwih, Dalung-Kabupaten Badung. Kampusnya kecil dibanding kampusku di Bandung. Jauh-jauh aku kemari hanya untuk menghilangkan huruf 'n' dari kata Ba(n)dung. Kalimat barusan tak usah dianggap serius. Hehe.

Acara seminar dan presentasi paper di kelasku sudah selesai pukul 16.00 WITA. Langit cukup cerah jadi kuputuskan untuk berjalan kaki pulang ke hotel. Tak kuhiraukan ujaran Pak Gde, supir ojekku yang memintaku menghubunginya kalau acara selesai agar ia bisa menjemput. Tiga kilometer? Ah, dahulupun aku sering berjalan kaki pulang dari sekolah yang jaraknya hampir 3 kilometer dari rumah.

Setelah mampir dan mengisi energi di Warung Sate Muslim tak jauh dari kampus, aku melanjutkan perjalanan. Aku hanya harus melewati 5 lampu lalu lintas saja. Rutenya pun tak sulit. Hanya harus berbelok ke kiri dari Jalan Padang Luwih ke Jalan Gatot Subroto. Setelah itu berjalan lurus saja sampai lampu lalu lintas ke-lima dan berbelok ke kiri lagi, ke Jalan Pidada. It is too simple, right?

Beberapa pengendara motor menawariku tumpangan. Kutolak berkali-kali. Aku ingin menikmati udara dan langit Bali yang biru. Melihat sebanyak mungkin yang bisa kulihat dari jalan panjang ini. Tapi aku tak memperhitungkan sesuatu. Yeah! Sandal heels! Aku lupa kalau hari ini menggunakan sandal ber-heels. Meski hanya lima sentimeter, rupanya cukup mengganggu. Bagaimana tidak, aku ini terbiasa memakai sandal gunung atau sandal crocs meski ke kantor. Setiap hari seperti itu. Maka tak aneh ketika menggunakan sandal ber-heels aku agak kesulitan.

Satu kilometer pertama, aku masih baik-baik saja. Masih riang gembira, too excited sama apa-apa yang kulihat di kanan-kiri jalan. Di kilometer ke-dua, kakiku mulai kaku tapi masih bisa dipaksakan berjalan. Kakiku benar-benar tak bisa berjalan lagi ketika sampai di lampu lalu lintas ketiga. Diangkat sedikitpun tak bisa. Keduanya seperti itu tapi kaki sebelah kiri lebih parah. Sakit bukan main. Aku berdiri diam di sisi jalan, berpegangan pada tiang lampu jalan. Ingin kubuka tali pengait di sandalku, tapi aku tak bisa berjongkok lantaran sakit yang sangat. Aku tak bisa berjalan. Gusti...

Aku menarik nafas dalam-dalam. Kulirik ponsel. Ingin rasanya menghubungi Pak Gde dan memintanya menjemputku tapi urung kulakukan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi supir ojek itu. Bisa-bisa aku malah ditertawakannya. Tidak. Tidak. Aku menggeleng. Biarlah kutunggu sakit kakiku ini reda. Pasti tak lama lagi. Meski dengan begitu aku jadi obyek tontonan pelintas jalan karena hanya berdiri diam sambil meringis kesakitan.
Sekitar 10 menit kemudian, aku baru mulai melangkah lagi. Kini berjalan lebih perlahan dan jadi lebih sering berhenti karena kakiku mulai kram lagi. Sebuah mobil berhenti di depanku. Kuperhatikan, mobil warna silver itu beberapa kali memang berhenti tak jauh dariku. Ini ketiga kalinya ia berhenti. Kaca jendela diturunkan. Aku melihat sosok laki-laki yang mengemudikannya. Ia tersenyum.

"Mbaknya dari tadi di sana saya lihat jalan. Maaf lho Mbak, Mbaknya mau kemana? Kalau masih jauh biar saya antar. Kebetulan saya mau ke arah Ubud, kalau memang searah, Mbak bisa naik mobil saya. Maaf lho Mbak..." Laki-laki di dalam mobil itu tampak khawatir. Aku balas tersenyum dan berkata kalau tujuanku tak lagi jauh. Ia lalu pamit pergi.

Tujuanku memang tak lagi jauh. Beberapa ratus meter di depan sana sudah terlihat lampu lalu lintas terakhir. Jalan Pidada sudah di depan mata. Aku memaksa kakiku untuk kembali berjalan. Beberapa kali berhenti untuk memijat betisku. 

Sabar ya, duhai kaki... setelah ini kau bisa beristirahat dengan puas.


Comments

noe said…
Org2 di bali memang ramah2... :)
Cuma heels saja yg ngga ramah memang :D
Unknown said…
tosss bagi para pecinta sandal gunung!

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi