Bali #1 : Gentar


Siapa bilang aku tak gentar menghadapi petualangan kali ini? Hey world, I’m sick of thinking how I have to face this very long journey! Tapi sudahlah. Aku sudah duduk manis di kursi tunggu pool bis Karamatdjati. Menanti detik-detik yang terasa begitu lama berganti. Pukul 13.15 nanti, aku akan memulai perjalanan panjang Bandung-Bali. Ah, bicara soal Bali, aku memang menyimpan impian di salah satu sudutnya; Ubud. Meski saat ini, Tuhan hanya mengizinkanku sampai di Badung, atau mungkin juga Kuta. Mungkin. Kita lihat saja bagaimana takdir menggiringku di Bali nanti.

Rabu (26/2) pukul 13.15, terdengar panggilan dari pengeras suara : bis Bandung-Bali via Surabaya sudah siap. Aku menggendong ranselku yang isinya hanya tiga potong pakaian, buku, perlengkapan pribadi dan sebungkus biskuit gandum. Ketika masuk ke dalam bis, aku terkejut karena ternyata, antara kursi penumpang dengan kursi supir berpenyekat. Semula kupikir akan menyenangkan bercengkerama dengan supir dan kernet bis sepanjang perjalanan nanti. Ternyata aku tak bisa menyerap banyak informasi tentang Bali dari mereka. Aku lebih terkejut ketika kursiku sudah “diduduki” sangkar burung, padahal sudah kupesan kursi nomor satu itu jauh-jauh hari. Hft, aku harus mengambil hak-ku. Seorang laki-laki berambut agak gondrong yang rupanya menaruh sangkar itu di kursiku. Ia memang tak punya tiket bernomor, jadi ia menyingkir ke belakang.

Siapa bilang aku tak gentar pergi ke Bali seorang diri? Aku takut sekali bahkan! Bayangan tentang pergi ke Bali dalam waktu secepat ini tak pernah mampir di pikiranku. Aku bahkan tak memperkirakan akan berapa lama perjalanan dari Bandung ke Bali dengan mengendarai bis. Aku bahkan tak tahu akan di terminal mana aku turun. Aku bahkan belum memesan hotel untuk kutempati esok hari ketika sampai di Bali. Yang terpikir adalah, aku sampai di Bali esok hari pukul dua siang, lalu aku bergerak ke Kuta mencari penginapan di Poppies Lane, surganya penginapan ala backpacker lalu menikmati senja di Kuta sebelum acara seminar dan workshop dimulai keesokan harinya.

Bis berjalan perlahan meninggalkan pool tepat pukul 14.00 wib. Terlambat 45 menit dari seharusnya. Aku bête. Sudah kubayar Rp 370.000,- untuk tiket bis ini. Harga yang mahal untukku. Kalau saja kernet tak memberiku sebotol air mineral dan sebungkus roti, tentu aku sudah memasang wajah cemberut sepanjang perjalanan. Namun urung kulakukan. Setiap perjalanan, harus dinikmati sejak semula. Jangan dibebani oleh hal remeh-temeh seperti keterlambatan, macet atau lain-lainnya. Yeap, Tuhan pasti punya hikmah. Sabar saja.

Kulahap roti isi krim coklat itu. Lapar karena belum makan siang. Lalu pertanyaan itu muncul : mengapa harus pergi sendiri ke Bali? Aku ini aneh sekali, nekat! Aku menggeleng. Sudah sejak semula gadis bernama Intan ini aneh. Aku tak perlu mempersoalkan betapa anehnya seorang gadis bepergian sendiri macam ini. Toh Bali-pun milik Tuhan. Aku harus percaya itu sepenuh hati. Toh akupun pergi dengan niat baik-baik, dengan restu Mamah yang sudah di tangan. Jadi, biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Bismillaah, aku berserah.

Comments

Anis said…
kalau aku punya uang buaaanyak, pengen deh nemenin mbak Intan perjalanan ke Bali sana. Tapi... hiks hikss..

Bagaimanapun mbak Intan itu anehnya sangat inspiring beud! :D
Yehan Minara said…
di tunggu catatan yng lainnya kak.....hihi
Nurul Noe said…
Majuu tak gentaaarrr... yeah!
*koementar paling random Setelah baca dr 9 lalu runtut ke postingan no 1. Phew.. perjalanan panjang utk baca semuanya.. teh mana teh.?
Unknown said…
hihi, sumpah ini panjang banget!

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi