Bali #7 : Studying

Dipikirnya aku ini sedang bertualang. Iya, aku ini sedang bertualang mendalami ilmu! Semoga berkah, semoga berkah. Aamiin.

Tak banyak yang tahu kalau aku sedang di Bali. Dan hanya sedikit yang tahu apa sebenarnya tujuanku datang ke Pulau Dewata. Seminar dan workshop ke-psikologi-an bertebaran di Bandung sana. Tema yang diangkat tak jauh dari tema-tema industri, perkembangan atau pendidikan. Jarang ada yang mengangkat tema sosial. Nah, begitu tahu ada seminar dan workshop bertema sosial di Bali, kualihkan impianku yang semula hendak berlibur ria di Makassar ke Bali, untuk belajar dan tentu memenuhi persyaratan akademikku. So, untuk urusan inilah aku di Bali sekarang.


Ini hari keduaku. Dua malam sejak kedatanganku di Bali, aku selalu tidur lepas tengah malam dengan kondisi televisi yang kubiarkan hidup sepanjang malam. Aku ngeri juga tidur di tempat asing begini. Dulu sempat kutertawakan atasanku yang selalu minta disatu-kamarkan denganku kalau kami sedang tugas pemantauan ke luar kota. Katanya, ia tak bisa tidur sendiri di tempat asing. Nyatanya akupun sama dengan beliau. 

Aku mematut diri di depan cermin. Aku cukup kece hari ini. Kulirik sandal ber-heels-ku yang masih menyisakan sakit di kaki. Kalau saja bukan acara formal, sudah kutinggalkan ia di kamar hotel dan aku pergi dengan sandal crocs-ku tersayang. Tapi hari ini aku tetap memakainya. Sandal crocs kumasukkan ke dalam kantung plastik agar nanti bisa kupakai selepas acara.

Hari ini adalah hari yang sangat kunanti. Aku akan belajar banyak tentang pendampingan kasus kekerasan perempuan dan anak di kampus nanti. Pas sekali dengan keminatanku di Psikologi. Sesuai pula dengan pekerjaanku tiga tahun terakhir ini. Klop. 

Kelas yang kuikuti penuh. Ada 30-an orang yang akan belajar bersama. Latar belakang peserta di kelas ini sama, semuanya belajar Psikologi namun dengan jenjang yang berbeda. Asyiknya belajar tanpa penyekat begini, di mana mahasiswa S-1, S-2, psikolog, bagian psikologi di kepolisian bisa meraup ilmu yang sama. Bagiku pribadi, aku bisa mengambil banyak keuntungan selain dari dua pemateri nanti. Ah, sudah lama sekali rasanya tak berada di majelis ilmu seperti ini. Tuhan, berikanlah kemudahan padaku dalam menyerap ilmu.

Ibu Kristi dari Universitas Indonesia dan Ibu Tiwi dari Universitas Surabaya bergantian memberi kami pengayaan tentang kekerasan pada perempuan dan anak. Beberapa kali kami diberi simulasi tentang pendampingan. Ah, tiba-tiba keinginan untuk menjadi psikolog muncul lagi. Bisakah? Biar Tuhan menyimpan jawabannya.

"Apa yang membedakan Psikologi dengan ilmu lainnya?" tanya Ibu Kristi. Kelas hening. Kami semua diam mencari jawaban.
"Apa yang sangat khas diajarkan di fakultas-fakultas Psikologi?" beliau bertanya lagi. Kelas masih hening.
"Empati. Empatilah yang tak membuat manusia tampak seperti robot dan ilmu psikologi tak terlalu behavioristik!" Ibu Kristi menjawab pertanyaannya sendiri. Kami termenung. Bagi para pendamping kasus, juga bagi para psikolog, empati adalah kunci untuk membuka pintu, untuk memahami orang lain. Aku ditampar, tapi tak membuat sakit hati. Justru semakin memotivasi. Ibu Kristi masih berbagi tentang banyak hal. Pikiranku melayang-layang, merunut jejak hidupku.

"Menyadari kesejarahan diri membantu kita dalam memahami kasus-kasus yang kita hadapi." Ibu Tiwi berujar, menyadarkanku yang tengah merunut sejarah diri. Tepat, seolah ia sedang membaca pikiranku yang melayang-layang itu.

"Mempelajari psikologi sama seperti mempelajari diri sendiri." ujarnya lagi. Sejauh mana aku mengenal diriku sendiri? Ah, rupanya aku harus belajar lebih banyak lagi.






Comments

noe said…
Ajari aku.. ajari aku untuk mengenal diri sendiri.

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi