Posts

Showing posts from September, 2013

Surat Untuk Anakku (1)

Untuk engkau, yang lahir dari rahimku. Anakku, sebelum tuntas membaca ini, ijinkan aku minta satu hal saja darimu. Sebutlah nama Allah banyak-banyak. Hari masih pagi ketika aku memikirkanmu. Memikirkan, apakah kelak akan ada seorang manusia yang akan lahir dari rahimku? Usiaku 24 tahun saat menulis ini. Beberapa sahabat bahkan sudah bisa mengajak anaknya berlari. Aku masih menunggu, kapan kiranya Tuhan mempercayaiku. Matahari pagi ini bersinar cerah sekali, semoga engkau dapat merasakannya juga nanti. Angi pelan saja berhembus, sampai-sampai tak ada tanda yang ditinggalkannya di kulitku. Dedaunan sesekali bergoyang. Beberapa kendaraan melaju, menyisakan suara gesekan antara aspal dengan roda. Berisik? Tentu. Aku sedang berada di halaman, merasai matahari. Di pelukanku, seorang bayi berusia beberapa hari, tengah tidur terlelap. Sesekali bibir mungilnya bergerak lucu. Ia juga menggeliat saat merasa tak nyaman dengan gendonganku yang belum ahli. Matanya terpejam, beberapa kal

Berjalan Lagi, Berjalan Terus. Terus Saja!

Siang itu kuputuskan untuk berjalan lagi. Sejak kemarin, kegiatanku tak jauh dari kamar kosan. Agak penat sebenarnya, jadi kupikir ada baiknya kalau aku menengok matahari. Selepas shalat dzuhur dan melahap makan siang, aku meninggalkan kosan, menyusuri lagi Wastukancana-Braga-Naripan hingga Banceuy. Kakak keduaku, yang suka kopi itu, beberapa menit yang lalu mengirim pesan minta dibelikan kopi Aroma. Katanya, ingin membekali suaminya yang akhir bulan nanti terbang ke Belanda. Pastinya, ia juga menitip untuk dinikmatinya sendiri di rumah. Beberapa hari yang lalu, aku juga berurusan dengan kopi Aroma yang membuatku melakukan perjalanan pagi hari menyusuri rute yang serupa dengan hari ini. Yang berbeda dengan perjalananku ke Aroma tempo hari adalah kali ini aku berjalan kaki di siang bolong dan berjalan di trotoar sebelah kiri. Selain itu, perbedaan lainnya adalah aku menggunakan jaket dan sandal crocs bukan sandal gunung. Taspun kupakai tas oranye kesayanganku, bukan eiger. Sudahlah

Danang

Hujan masih turun rintik-rintik. Suaranya yang bergemericik membuat hati mengurai benang-benang penat. Tetes-tetes air yang turun, konon akan mengantar setiap doa yang diucap sampai ke langit. Danang sungguh-sungguh mengamini hal itu. Dengan langkah terburu ia menjejak genangan, membuat percikan air bercampur tanah membekas di celana panjangnya. Beberapa meter lagi rumah dengan pagar kayu setinggi dada orang dewasa itu akan terlihat. Mengingat hal tersebut Danang mulai memelankan langkahnya, mengatur nafasnya yang sedari tadi memburu. Dilipatnya lengan kemeja biru panjangnya yang basah. Ditegapkan tubuhnya yang tinggi menjulang, kemudian menyisir potongan rambut pendeknya dengan jemari. Rambut itu basah. Tetesan air dari helai rambut meluncur turun dan membasahi bahu kemeja yang baru dibelinya siang tadi. Ditepuknya perlahan bahu jenjang itu, lalu mengelap wajahnya yang berpeluh juga tersapa gerimis. Baginya malam ini adalah penentuan. Ia akan mengusahakan doa-doanya sepanjang tahun i

Ketika Angkot Jadi Gratis

Dengan malas, aku keluar dari kosan. Sudah pukul 08.00 lebih beberapa menit. Mungkin begitulah derita anak kosan, yang belum habis bulan sudah habis uang jajan. Rencananya, pagi itu aku akan pergi ke bank. Seingatku, aku masih punya simpanan di bank, jadi lebih baik kuambil untuk menyambung hidup dan menjalankan kembali usaha pulsaku yang seminggu ini terbengkalai. Di tas, tersisa uang Rp 15.000,- cukup untuk ongkos kendaraan ke bank, Masjid Salman, kemudian ke kantor dan kupikir masih cukup untuk membeli sepiring sarapan. Kulangkahkan kaki sembari mengecek twitter. Dari timeline aku dapat informasi kalau hari ini di Bandung akan dilangsungkan Angkot Day, di mana pada hari ini, angkutan kota trayek Kalapa-Dago (PP) akan dibebas-biayakan alias gratis. Wah, kebetulan sekali! Bank yang kutuju letaknya di Dago, ke Masjid Salman-pun angkutannya adalah Kalapa-Dago. Maka aku tersenyum senang. Dari kosanku menuju bank swasta itu, tak ada angkot Kalapa-Dago. Yang ada hanya angkot Stasi

Di Sela Waktu : Jakarta

Syukur, Sabtu 14 September lalu aku tidak terlambat bangun. Alarm menyuruhku membuka mata tepat ketika suara-suara orang mengaji mengalun dari masjid yang terletak di belakang rumah kost-ku. Subuh bahkan belum datang. Segera aku bersiap. Kereta Argo Parahyangan akan berangkat pukul 05.00 nanti. Beruntung, aku sudah menyiapkan semua bekal yang harus kubawa hari itu. Aku mematut diri di depan cermin, sepotong kaus hitam, rok kain warna hitam, dibalut jaket warna kelabu, dengan kerudung hitam bermotif bunga dan finishing touch berupa kacamata serta heels setinggi 3 cm. Kupikir, setelanku hari itu sama sekali bukan setelan seorang backpacker atau traveler . Aku memang tak benar-benar hendak traveling, melainkan akan menghadiri acara keluarga di Depok. Namun, di sela-sela waktu yang hanya beberapa jam, rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan. Maka hari itu aku akan singgah sebentar di Jakarta, menuntaskan rasa penasaran pada kota yang sempat kuingini jadi tempat bagi dadu takdirku. Ya, Jak

Jalan-Jalan Pagi, Teman, dan Secangkir Kopi Pahit

Jalan-Jalan Pagi Pagi yang gempita. Aku melangkah keluar dari rumah kos-kosan Sofi, temanku. Semalam, lantaran pulang terlalu larut dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, aku memilih untuk menginap di kosannya di daerah Plesiran, Tamansari. Masih pukul 06.00 dan langit Bandung agak sedikit mendung, namun beberapa mahasiswa, dengan masih berbalut baju tidur sambil mengucek mata dan rambut yang belum disisir sudah keluar dari kamar kos masing-masing, bergegas menuju ibu penjual nasi kuning. Beberapa di antaranya berjalan tergopoh dengan ransel di punggung dan beberapa diktat kuliah. Ada ibu yang baru pulang dari pasar, ada juga bapak yang pergi mengantar anaknya sekolah. Aku sendiri memilih berjalan santai menuju kosanku di daerah Jalan Pajajaran. Selepas rehat sejenak di Balubur dan mengisi perut dengan dua potong surabi oncom hangat, aku kembali berjalan menyusuri Jalan Tamansari, melewati kampus Universitas Islam Bandung, Sanbe, juga Universitas Pasundan, sebelum akhirnya menyeberangi

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Image
Semangatku seperti semangat anak-anak yang baru pertama kali belajar puasa : dapat bangun dini hari dengan segar, kemudian tak sabar menunggu waktu berbuka. Ahad, 25 Agustus 2013, atau hari terakhir pelarian- ku ke Lampung Selatan. Temanku se- homestay pagi-pagi sudah "membuat keributan". Maksudnya, suaranya yang sangat bersemangat mampu membuatkku terjaga. Pukul 02.30 kala itu. Homestay gelap gulita. Listrik di Pulau Sebesi memang terbatas, belum bisa dinikmati sepanjang hari. Kalaupun dini hari seperti ini ada beberapa lampu menyala, itu hanya di titik tertentu saja. Aku sudah bangun. Kalau tak ingat pagi ini kami akan berangkat ke Gunung Anak Krakatau, sepertinya aku lebih memilih untuk meringkukkan tubuh di atas kasur tipis ini. Namun, seperti anak kecil yang baru pertama belajar puasa, semangatku mengalahkan rasa kantuk yang menggantung di sudut-sudut mata. Hampir pukul 04.00 ketika kami berkumpul di dermaga Pulau Sebesi. Langit saat itu mengizinkan kami menikm

Katanya, Ini Surga [Catatan Perjalanan Krakatau : 3]

Image
Sabtu, 24 Agustus 2013, pukul 13.00, tepat ketika matahari masih garang-garangnya membagi sinar, kami sudah berkumpul lagi di dermaga Pulau Sebesi. Beberapa kapal mesin tertambat, awaknya sigap menunggu kami melompat ke dalam lambung kapal mesin itu. Aku mulai terbiasa melompat ke dalam kapal, yang kunaiki kali ini adalam KM Sunjaya 1. Badan kapal bergoyang sesaat ketika kunaiki. Langsung aku duduk manis di sisi nakhoda, beberapa kawan memilih duduk di bagian atas kapal. Tak lama kapal mulai memecah gelombang, menuju Pulau Sebuku, yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari Pulau Sebesi. Angin tidak terlalu kencang siang itu, langitpun bersih dan luas. Birunya langit bertemu jernihnya biru lautan di horison sana. Tak ada suara apa-apa selain deru mesin kapal dan celotehan kami. Hal ini membuat hati menjadi damai dan lapang. Bebas. Apalagi kata yang bisa dipadankan untuk menggambarkan betapa leganya hati ini? Aih... seandainya Bandung bisa setenang ini setiap hari, tentu aku makin ci