Posts

Showing posts from 2013

Ed dan Resolusi Tahun Baru

Hampir semua orang ngeributin tahun baru. Ah, cuma kalender doang yang repot ganti satu angka di belakangnya. Selebihnya? Sama. Nggak ada yang berubah. Resolusi itu cuma buat mereka yang yakin sama apa yang ditulis di Kitab Suci, kalau Tuhan nggak akan mengubah nasib kita kalau kita nggak ngubah diri kita. Titik. Jadi resolusi itu percuma buat mereka yang pecundang.

Menulislah Meski Belum Sempurna

Image
Selepas "Krakatau Writing Camp" yang diadakan akhir Agustus lalu, sepertinya aku jadi lebih produktif. Hal ini kusadari ketika gagasan-gagasan kecil muncul kapan saja dan tanpa mengenal tempat, meski seringkali gagasan itu tidak membentuk satu tulisan sekalipun. Tapi kuanggap aku jadi lebih produktif mencipta gagasan.  Ketika melihat archive blog-ku pagi ini, iseng kuhitung tulisan yang kubuat selepas KWC yang mempesona itu. Sekira 21 tulisan. Jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan banyaknya tulisan yang kubuat pada periode Januari hingga awal Agustus 2013. Meski jumlah keseluruhan sepanjang tahun ini tidak sebanding dengan banyaknya tulisan yang kubuat pada tahun lalu.  Kadang aku heran mengapa jadi begini. Kupikir atmosfer yang dicipta di KWC kemarin besar sekali hingga kegiatan yang hanya 2 hari itu mampu membekas lama, baik secara perkawanan yang ditawarkan para pesertanya maupun semangat menulis yang sampai saat ini mempengaruhi beberapa di antara kami. B

Gerobak Tahu Sumedang

Image
Kawan, kalau sesekali kamu bertandang ke Indramayu, coba perhatikan ini. Saat bis mulai berjalan perlahan setelah pertigaan dengan patung perahu itu, cobalah alihkan pandanganmu sesaat ke luar jendela di sisi kanan. Perhatikan baik-baik ada apa saja di trotoar Jalan Sudirman itu. Mungkin, kamu bisa menemukan satu gerobak yang menjual tahu Sumedang. Tentang gerobak tahu Sumedang itulah, aku akan bercerita. Suatu waktu, saat aku pulang ke rumah, kakak mengajakku untuk pergi jalan-jalan. Kami rindu jajanan-jajanan yang kadang sulit kami temui di tempat perantauan kami. Maka, sore itu, setelah dapat beberapa jenis jajanan, kami berdua mampir di sebuah gerobak tahu Sumedang, yang letaknya di Jalan Sudirman. Tahu Sumedang, seperti namanya, memang bukan jajanan khas Indramayu tapi itu adalah makanan favoritku. Kami menunggu giliran untuk dilayani. Sembari menunggu, aku dan kakak berdiskusi tentang berapa banyak tahu Sumedang yang akan kami beli. Mata kami berdua langsung tertuju pada

Membeli Waktu

Image
finally! finally! Sudah berapa lama kita mengenal? Satu tahun? Dua tahun? Kupikir lebih dari itu, meski lebihnya hanya sedikit. Hari ini adalah tentang kita yang kembali pada komposisi sempurna. Sudah beberapa pekan ini, atau mungkin beberapa bulan ini, kita jarang sekali bertukar cerita, meski kita ada di bawah atap yang sama. Maksudku, aku Teh Fika dan Teh Nun. Dengan Teh Ani, jaraklah yang akhirnya mempersulit kita bertemu. Ini hari yang istimewa. Bukan saja untuk Teh Ani yang hari ini menggenapi usianya yang ke dua puluh lima tahun. Tapi juga untuk kita berempat. Akhirnya, waktu itu datang juga. Kita saling membeli waktu kita masing-masing. Menghabiskan 16 jam waktu kita untuk bersama. Menangis dan tertawa saat menikmati Sokola Rimba di bioskop. Menghabiskan semua makanan yang tersaji di meja itu, lalu berbagi ruang sempit dalam boks foto yang sempitnya minta ampun itu. Lalu kita tidur beralas karpet di dinginnya udara Bandung. Menikmati sarapan ala kadarnya, beberapa

Jeda

Image
Ada yang menjadi indah selepas jeda yang berjalan sekian lama. Kemarin, sewaktu saya membuka kembali lembar-lembar tulisan di blog ini, saya menemukan sebuah tulisan. Sudah hampir setahun berlalu sejak tulisan itu saya buat. Sebetulnya, itu adalah sebuah surat untuk seorang sahabat, tapi saya tak pernah memberinya celah untuk tahu. Namun kemarin, tiba-tiba saja ada energi yang menguap keluar dan meminta saya untuk memberitahunya tentang surat itu. Tulisan itu, bisa dibaca  di sini . Saya menyapanya di twitter, memintanya singgah sejenak di tulisan itu. Tidak ada tendensi apa-apa sebetulnya. Saya hanya sudah lama tak membagi keceriaan bersamanya. Terakhir kali bertegur sapa adalah dua pekan lalu, ketika ia mengajak untuk naik Gunung Gede Pangrango. Mungkin, saya sedang merasai rindu. Atau mungkin juga, sudah saatnya ia membaca apa yang saya tulis itu. Hingga pagi tadi, saya tak punya firasat apa-apa sampai ia mengirim sesuatu di wall facebook saya. Begini isinya, he

Trip to Have Fun with Kids

Image
Beep. Sebuah pesan masuk. Ada acara di komunitas Rumah Ilmu di Ragunan. Kamu dateng aja. Acaranya lumayan seru, ada kreativitas bersama anak-anak. Begitu bunyi sepotong sms yang dikirim Bang Adhit, salah satu kawan dalam Krakatau Writing Camp tempo hari. Aku yang hari itu memang berencana mengunjungi kakak di Depok agak tergelitik juga dengan ajakannya. Ini seperti memulai lagi episode baru bagi serial yang sudah lama tak kugeluti lagi : beraktivitas dengan anak-anak. Maka pagi hari Minggu itu, aku sudah menunggu Juju di Terminal Depok. Juju sendiri adalah kawan yang juga kutemui di Krakatau Writing Camp. Ini pertemuan kami yang ketiga, setelah sebelumnya kami bertemu kembali dalam seminar kepenulisan di Salman ITB. Hari itu, kami akan bersama-sama berangkat menuju Ragunan dan bermain bersama anak-anak di Rumah Ilmu. Pukul 10.00, aku dan Juju baru sampai di Terminal Ragunan. Kami masih harus mengendarai angkutan kota menuju lokasi. Rumah Ilmu sendiri terletak di Jalan

Di Keping Kenangan Kita

Segala tentangmu Pak, aku tak lupa. Ada banyak persoalan yang beberapa hari terakhir ini kuhadapi, Pak. Sampai-sampai aku tak sempat menyiapkan hatiku untuk bertemu dengan kepingan kenangan yang pernah kita miliki di tempat ini. Dapatkah engkau menebak Pak, sedang berada di manakah aku saat ini? Ada satu kenangan tentang kita di dinginnya udara Kota Kembang. Gadis kecilmu ini, berbilang tahun yang lalu, mengenakan kaus hijau bergambar beruang yang sedang tertidur, dengan celana pendek dan sepatu keds, memasang pose terbaiknya di patung ikan mas besar itu. Ah, sudah berapa lamakah waktu yang telah berlalu itu? Kukira, waktu tujuh belas tahun sudah teramat wajar bagi sebuah kenangan untuk menguap. Tapi, aku masih mengingatnya. Mungkin engkaupun masih mengingatnya dengan jelas. Dan, jika waktu tak sebegitu kejam pada kita, mungkin saat ini aku tengah meneleponmu, kemudian membincang kenangan kita yang pernah ada di sini, di Sindang Reret. Pagi ini aku berjalan menyusuri j

Di Sisa Kaibon

Image
Menyoal Banten dalam kilasan episodenya yang rumit akhir-akhir ini tampaknya tidak terlalu menarik perhatianku. Justru, bagian yang paling menarik dari perjalananku kali ini di Banten adalah mengenal kilasan-kilasan kejayaan Banten. Pelajaran mengenai sejarah, bagiku tak pernah terasa membosankan. Kamu tahu Keraton Kaibon? Akupun baru mengenalnya kemarin, itupun hanya sedikit bagiannya saja.  Tak perlu diragukan lagi, Indonesia jarang sekali memiliki transkrip sejarah yang utuh. Seperti halnya dengan Keraton Kaibon yang saat ini bangunan megahnya hanya dapat dikira-kira dari sisa-sisa bangunan yang ada. Apa itu Kaibon? Sedikit cerita mengenai Kaibon dibagi oleh Bang Koelit Ketjil, salah satu fasilitator dalam rangkaian kegiatan Kampung Budaya, Rumah Budaya Nusantara yang diselenggarakan atas kerjasama antara Rumah Dunia dengan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Meet the Strangers

Image
Dear all strangers, thank you for being so kind to me. I don't know where you are right now, but God always know. Since I can't pay anything, let God pay the rest. Ada banyak sekali orang asing di sekitar kita. Beberapa di antaranya kemudian menjadi teman baik atau sahabat, beberapa lagi diizinkan Tuhan unuk tetap menjadi asing dan tidak dikenal. Di perjalanan pulang dari kantor menuju kosan tadi, ada beberapa hal yang ingin saya tertawakan tentang episode crowded hari ini. Namun, episode-episode tentang pertemananlah yang tampaknya punya daya magnetis yang lebih besar dan menarik diri saya untuk memikirkannya dalam-dalam. Well, kamukah orang asing yang saya temui di persimpangan hidup kemarin sore itu? Sore tadi saya membaca tulisan salah seorang kawan. Sebutlah namanya Nurul. Saya memanggilnya Mbak Nurul. Belum hitungan tahun saya mengenalnya. Bertemu, mungkin baru tiga kali. Namun, entah ada kekuatan dari mana, saya merasakan ada kehangatan dari obrolan-obrolan ya

Kepada Malam

Hanya suara langkah yang sesekali tertangkap indera pendengarku. Malam sudah merayap ke tengah. Malam, beban ini betul-betul memaku kakiku jauh melewati permukaan bumi. Pernahkah engkau merasakan sesal? Bagiku, mungkin inilah sesal itu. Membaca obrolan-obrolan di chat room itu seperti mengulang kembali hari yang telah berbilang. Aku yang ada di hari itu. Larut dalam kecerobohan kecil yang berujung pada perasaan bersalah yang dalam. Dalam sekali meski coba kututupi berulang kali. Aku membaca hati-hati mereka yang gelisah, namun dibungkus dengan selapis senyum yang tertuju padaku. Aku tahu, ada luka yang menggaris di sana, luka yang kubuat. Malam, cukupkah itu menggambarkan sesal yang tengah menjangkiti waktu-waktu yang kupunya belakangan ini? Malam, tak bisakah engkau memberi penjelasan tentang hari itu? Atau kau ajak bulan untuk berjalan mundur ke belakang, sedikit saja. Agar ia bisa memberiku terang, di antara halimun-halimun yang tak mau beranjak ini. Hanya suara ketuka

Pulang

Kidang Kencana, 8 Angkutan kota berwarna biru menyala yang menghubungkan Jatibarang dengan Indramayu berhenti tepat di Simpang Lima. Udara panas khas pesisir langsung menyengat begitu aku turun dari dalam angkutan yang penuh sesak itu. Di hadapanku, berdiri patung buah mangga cengkir, buah khas kabupaten tempat aku dilahirkan. Inilah pintu masuk ke jantung Indramayu. Di depan gedung SMAN 1 Indramayu, aku berdiri menunggu angkutan kota 04. Beruntung, aku tak perlu menunggu terlalu lama. Betul kiranya, seperti yang kutulis dalam tulisanku sebelum ini, perjalanan pulangku kali ini, seperti memunguti lagi kenangan. Akhir-akhir ini aku memang jarang pulang. Selama enam bulan lalu, aku utuh jarang pulang karena jadwalku meliput jatuh di hari Sabtu, ditambah Mamah dan adikku lebih sering menghabiskan waktu di Depok atau Sukabumi kalau adikku tengah libur sekolah. Jadi memang tak ada gunanya pulang kalau mamah dan Dede tak ada di rumah, tho? Semalam, sewaktu aku baru pulang dari Ci

Kenangan

Jatibarang Kereta Ciremai Ekspres yang baru beroperasi 3 hari itu perlahan melambatkan lajunya. Suara derit roda dengan rel bagiku terdengar pilu. Aku menarik ranselku, berjalan menuju pintu yang masih tertutup. Perlahan, dari balik jendela, kulihat petugas berseragam berdiri dengan tegap seolah tengah menanti kedatangan kami, disusul deretan kursi yang rapi menghias peron. Beberapa orang dengan beragam barang bawaan duduk di sana, menunggu gerbong-gerbong yang akan mengantar menuju tempat yang dituju. Kemudian sebuah papan nama yang menempel di dinding tembok tanpa ragu memastikan, bahwa inilah Stasiun Jatibarang, satu stasiun terakhir sebelum Ciremai Ekspres sampai di Stasiun Cirebon. Gerbong yang saling terkait itu kini benar-benar telah berhenti, seiring sambutan selamat datang dari pengeras suara berbunyi. Stasiun Jatibarang, Indramayu. Aku diajak memunguti kenangan tentang bapak-ku di sini. Pilar-pilar peron masih kokoh berdiri, hanya saja bangku-bangku di sana telah ber

Surat Untuk Anakku (1)

Untuk engkau, yang lahir dari rahimku. Anakku, sebelum tuntas membaca ini, ijinkan aku minta satu hal saja darimu. Sebutlah nama Allah banyak-banyak. Hari masih pagi ketika aku memikirkanmu. Memikirkan, apakah kelak akan ada seorang manusia yang akan lahir dari rahimku? Usiaku 24 tahun saat menulis ini. Beberapa sahabat bahkan sudah bisa mengajak anaknya berlari. Aku masih menunggu, kapan kiranya Tuhan mempercayaiku. Matahari pagi ini bersinar cerah sekali, semoga engkau dapat merasakannya juga nanti. Angi pelan saja berhembus, sampai-sampai tak ada tanda yang ditinggalkannya di kulitku. Dedaunan sesekali bergoyang. Beberapa kendaraan melaju, menyisakan suara gesekan antara aspal dengan roda. Berisik? Tentu. Aku sedang berada di halaman, merasai matahari. Di pelukanku, seorang bayi berusia beberapa hari, tengah tidur terlelap. Sesekali bibir mungilnya bergerak lucu. Ia juga menggeliat saat merasa tak nyaman dengan gendonganku yang belum ahli. Matanya terpejam, beberapa kal

Berjalan Lagi, Berjalan Terus. Terus Saja!

Siang itu kuputuskan untuk berjalan lagi. Sejak kemarin, kegiatanku tak jauh dari kamar kosan. Agak penat sebenarnya, jadi kupikir ada baiknya kalau aku menengok matahari. Selepas shalat dzuhur dan melahap makan siang, aku meninggalkan kosan, menyusuri lagi Wastukancana-Braga-Naripan hingga Banceuy. Kakak keduaku, yang suka kopi itu, beberapa menit yang lalu mengirim pesan minta dibelikan kopi Aroma. Katanya, ingin membekali suaminya yang akhir bulan nanti terbang ke Belanda. Pastinya, ia juga menitip untuk dinikmatinya sendiri di rumah. Beberapa hari yang lalu, aku juga berurusan dengan kopi Aroma yang membuatku melakukan perjalanan pagi hari menyusuri rute yang serupa dengan hari ini. Yang berbeda dengan perjalananku ke Aroma tempo hari adalah kali ini aku berjalan kaki di siang bolong dan berjalan di trotoar sebelah kiri. Selain itu, perbedaan lainnya adalah aku menggunakan jaket dan sandal crocs bukan sandal gunung. Taspun kupakai tas oranye kesayanganku, bukan eiger. Sudahlah

Danang

Hujan masih turun rintik-rintik. Suaranya yang bergemericik membuat hati mengurai benang-benang penat. Tetes-tetes air yang turun, konon akan mengantar setiap doa yang diucap sampai ke langit. Danang sungguh-sungguh mengamini hal itu. Dengan langkah terburu ia menjejak genangan, membuat percikan air bercampur tanah membekas di celana panjangnya. Beberapa meter lagi rumah dengan pagar kayu setinggi dada orang dewasa itu akan terlihat. Mengingat hal tersebut Danang mulai memelankan langkahnya, mengatur nafasnya yang sedari tadi memburu. Dilipatnya lengan kemeja biru panjangnya yang basah. Ditegapkan tubuhnya yang tinggi menjulang, kemudian menyisir potongan rambut pendeknya dengan jemari. Rambut itu basah. Tetesan air dari helai rambut meluncur turun dan membasahi bahu kemeja yang baru dibelinya siang tadi. Ditepuknya perlahan bahu jenjang itu, lalu mengelap wajahnya yang berpeluh juga tersapa gerimis. Baginya malam ini adalah penentuan. Ia akan mengusahakan doa-doanya sepanjang tahun i

Ketika Angkot Jadi Gratis

Dengan malas, aku keluar dari kosan. Sudah pukul 08.00 lebih beberapa menit. Mungkin begitulah derita anak kosan, yang belum habis bulan sudah habis uang jajan. Rencananya, pagi itu aku akan pergi ke bank. Seingatku, aku masih punya simpanan di bank, jadi lebih baik kuambil untuk menyambung hidup dan menjalankan kembali usaha pulsaku yang seminggu ini terbengkalai. Di tas, tersisa uang Rp 15.000,- cukup untuk ongkos kendaraan ke bank, Masjid Salman, kemudian ke kantor dan kupikir masih cukup untuk membeli sepiring sarapan. Kulangkahkan kaki sembari mengecek twitter. Dari timeline aku dapat informasi kalau hari ini di Bandung akan dilangsungkan Angkot Day, di mana pada hari ini, angkutan kota trayek Kalapa-Dago (PP) akan dibebas-biayakan alias gratis. Wah, kebetulan sekali! Bank yang kutuju letaknya di Dago, ke Masjid Salman-pun angkutannya adalah Kalapa-Dago. Maka aku tersenyum senang. Dari kosanku menuju bank swasta itu, tak ada angkot Kalapa-Dago. Yang ada hanya angkot Stasi

Di Sela Waktu : Jakarta

Syukur, Sabtu 14 September lalu aku tidak terlambat bangun. Alarm menyuruhku membuka mata tepat ketika suara-suara orang mengaji mengalun dari masjid yang terletak di belakang rumah kost-ku. Subuh bahkan belum datang. Segera aku bersiap. Kereta Argo Parahyangan akan berangkat pukul 05.00 nanti. Beruntung, aku sudah menyiapkan semua bekal yang harus kubawa hari itu. Aku mematut diri di depan cermin, sepotong kaus hitam, rok kain warna hitam, dibalut jaket warna kelabu, dengan kerudung hitam bermotif bunga dan finishing touch berupa kacamata serta heels setinggi 3 cm. Kupikir, setelanku hari itu sama sekali bukan setelan seorang backpacker atau traveler . Aku memang tak benar-benar hendak traveling, melainkan akan menghadiri acara keluarga di Depok. Namun, di sela-sela waktu yang hanya beberapa jam, rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan. Maka hari itu aku akan singgah sebentar di Jakarta, menuntaskan rasa penasaran pada kota yang sempat kuingini jadi tempat bagi dadu takdirku. Ya, Jak