Am I a Backpacker or What?

Hutan Kota Babakan Siliwangi yang teduh. Saya sedang berbincang dengan seorang kawan. Ini pertemuan kami yang pertama setelah hampir setahun hanya saling menyapa di dunia maya.

"Eh, kenalin. Ini Intan, backpacker!" ia mengenalkan saya pada temannya. Saya terpaku lalu menyanggah. Namun ia melakukan lagi hal yang sama: mengenalkan saya pada teman-temannya sebagai backpacker. Am I a backpacker?


Terserahlah mau dibilang apa, yang jelas saya tak punya backpack. Hanya daypack yang saya pakai hampir dalams etiap kesempatan. Berapa banyak tempat yang sudah saya inderai tanahnya? Tak cukup banyak. Masih bisa dihitung dengan jemari sepertinya. Berapa gunung yang sudah ditapaki? Well, saya hanya pernah menyapa Gunung Anak Krakatau yang tingginya seperti bukit. Berapa banyak lautan yang sudah diseberangi? Kalau tak salah, hanya dua selat yang sudah saya iris gelombangnya. What else?

Saya ini oportunis. Terkadang pergi ke suatu tempat dengan niat awal yang sama sekali bukan untuk jalan-jalan, tapi kemudian mencari celah agar bisa menengok dunia. Seperti dulu menikmati Anyer dan Carita dengan niat awal mengikuti kelas menulis. Seperti juga ketika menyeberangi Selat Sunda dan menyapa Gunung Anak Krakatau, yang diawali dengan niat mengikuti writing camp. Seperti juga ketika ke Bali dengan niat awal belajar psikologi dan akhirnya menikmati Bedugul, Tanah Lot, dan Kuta.

Backpack?
Saya ini pejalan, orang yang tak bisa lama berdiam diri dalam ruangan. Di hari libur, biasanya saya tetap memanggul ransel, membuka pintu kamar dan membiarkan kaki membawa saya melangkah kemana ia mau, meski hanya ke tempat yang dekat-dekat saja seperti Braga. Apa yang sebenarnya saya cari? Sejak dahulu saya suka sekali berjalan; melihat tawa orang-orang, mendengar cerita mereka, melihat rupa-rupa bentuk rumah, mencium aneka aroma pohon, melihat pesawahan, melihat tupai yang berjinjit di kabel-kabel listrik, melihat bulan dan gemintang, juga menikmati aneka rupa awan dan warna lembayung. Melihat dan merasai semua itu seringkali mendamaikan hati yang carut-marut. Sesederhana itu saja.


Traveling-it leaves you speechless, then turns you into a storyteller - Ibnu Battuta



Comments

Diyanika said…
Hai Mbak Intan, ngiri deh bisa ke sana kemari, saya justru suka ngadem di kamar.
Unknown said…
saya justru iri sama mba ika, bisa betah di kamar... ajarin caranya dooong :)

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi