Cirebon #3 : Mengintip Keraton Kanoman

Catatan ini adalah catatan ketiga atau the last chapter dari cerita jalan-jalan saya di Kota Udang, Cirebon. Sengaja ditulis dengan urutan terbalik, dimulai dari acara makan siang empal asem Amarta lalu cerita nostalgia di Sunyaragi dan sekarang, saya akan bertutur tentang salah satu keraton di Cirebon. Yang terjadi sesungguhnya adalah, saya mengunjungi Keraton Kanoman terlebih dahulu, berlanjut ke Gua Sunyaragi dan berakhir di Amarta. Sekali lagi, ini sengaja ditulis dengan urutan terbalik. :)

Penampakan Stasiun Kejaksan Cirebon
Hari Minggu (16/03) pukul 09.00 WIB saya berangkat dari rumah seorang sahabat di Jalan Pancuran menuju Stasiun Kejaksan. Saya berharap bisa dapat tiket kereta menuju Bandung. Nyatanya saya tidak kebagian tiket. Terpaksa rencana saya berubah. Selepas dzuhur nanti, saya akan pulang ke Bandung naik bis. Itu berarti, tujuan ngebolang saya juga berubah, yang semula ingin ke Gua Sunyaragi dan makan nasi jamblang di dekat Grage Mall, menjadi seperti ini : Keraton Kanoman-Gua Sunyaragi-Empal Asem Amarta. Jadi, mari nikmati saja perjalanan tak terduga ini!

Sekeluarnya dari stasiun, beberapa abang becak menawari tumpangan. Saya menolak. Beberapa angkot juga berhenti, yang direspon serupa oleh saya. Aih, minggu pagi seperti ini akan saya nikmati dengan berjalan kaki saja menuju Keraton Kanoman, meski saya sendiri tak tahu letak persisnya di mana! 

Saya menyusuri Jalan Siliwangi yang saat itu ditutup karena sedang berlangsung car free day. Terlihat ada kerumunan orang yang sedang senam bersama, penjual souvenir khas Cirebon, penjaja sarapan dan orang-orang yang menikmati waktu sambil bercengkerama. Saya sudah melewati Masjid At-Taqwa Cirebon dan menyeberang, kembali menyusuri Jalan Siliwangi yang terpotong. Setelah bertanya pada pedagang kaki lima perihal lokasi Keraton Kanoman, saya memutuskan untuk memanggil abang becak. Ah, saya tak sanggup kalau masih harus berjalan sejauh itu!

Nyatanya benar, perjalanan dari tempat saya memanggil becak tadi masih jauh. Dengan jarak yang lumayan itu, abang becak sepakat untuk dibayar jasanya sebesar Rp 5.000,-. Kalau di Bandung, dengan nominal yang sama, saya tak mungkin bisa mencapai jarak setidaknya 1 kilometer dengan naik becak! Jadi bisa dibilang ini tarif yang murah. 

Salah satu gerbang yang ditempeli keramik Cina
Kami sudah sampai di Pasar Kanoman. Artinya, tak lama lagi kami akan sampai. Keraton Kanoman letaknya tepat di belakang Pasar Kanoman yang padat dan ramai. Dari pedagang sayur mayur, ikan, bumbu dapur hingga baju tumpah ruah di sana! Becak yang saya naiki tepat berhenti di depan gerbang keraton. Suasana sepi menyapa saya. Hanya terlihat beberapa gerbang bercat putih dengan hiasan keramik dari negeri Cina. Saya harus kemana? Tak ada petunjuk. Saya berjalan terus hingga sampai di pintu gerbang lain di mana terdapat dua patung singa. Feeling saya mengatakan, di sinilah Keraton Kanoman itu!

Sekumpulan laki-laki separuh baya duduk di bawah sebatang pohon. Salah seorang di antaranya menyapa, bertanya perihal kedatangan saya. Namanya Pak Jaman. Ia kemudian menjadi guide yang mengantar saya mengelilingi keraton. 

Jinem Pangguneman
Menurut Pak Jaman, ada 20 ruangan di areal keraton. Namun hari itu, saya tidak mengunjungi semua ruangannya. Kami memulai dengan ruang utama. Ruang utama itu dinamakan Jinem Pangguneman yang digunakan sebagai tempat pertemuan sultan dengan keluarga yang juga berfungsi sebagai tempat untuk mewariskan ilmu seperti ilmu agama. Memasuki bagian dalam yang disekat dengan pintu dari Jinem Pangguneman, saya diantar melihat Mande Mestaka, yakni ruang pertemuan para raja. Di ruangan ini terdapat kursi-kursi besar yang digunakan untuk duduk para raja masa itu. Selain itu, Pak Jaman juga menunjukkan sebuah peti kayu yang terbuka, yang merupakan tempat persemayaman sultan ketika meninggal dunia.

Kereta Paksinagaliman
Keraton yang berdiri sejak kurang lebih tahun 1855 M ini memiliki beberapa peninggalan yang tersimpan di Gedung Pusaka. Letaknya hanya sepelemparan batu dari Jinem Pangguneman. Di sini, pengunjung ditarik retribusi sebesar Rp 5.000,-. Pak Jaman masih menemani saya berkeliling. Hal pertama yang ia jelaskan di Gedung Pusaka ini adalah Paksinagaliman. Paksinagaliman adalah kendaraan Sultan Keraton Kanoman ketika berkuasa. Kereta kencana Paksinagaliman dibuat dari kayu dengan tinggi sekitar 2,6 meter dan panjang 3 meter. Bentuknya merupakan perpaduan 3 hewan, yaitu burung garuda (paksi), ular naga (naga), dan gajah (liman). Itulah mengapa kereta kencana Sultan Keraton Kanoman ini disebut Paksinagaliman. Jika tak sempat berkunjung ke Keraton Kanoman namun ingin melihat kegagahan Paksinagaliman, kita bisa berkunjung ke Museum Sri Baduga di Jalan BKR No. 185 Bandung karena di museum itu disimpan replika Paksinagaliman. Di Gedung Pusaka itu juga tersimpan aneka barang berharga dari keraton, juga silsilah keluarga keraton yang sampai saat ini keturunannya masih ada dan tinggal di komplek keraton.

Beranjak dari Gedung Pusaka, suara gamelan terdengar dari sebuah bangsal di sisi Gedung Pusaka. Namun kami tidak mampir ke sana. Pak Jaman mengajak saya ke areal belakang keraton. Kami melewati sebuah bangunan tempat para keturunan keraton yang masih belia tinggal. Di sisi yang lebih dalam lagi, Pak Jaman menunjuki saya tempat sultan berkhalwat atau menyepi/bertapa. Bentuknya seperti bangsal terbuka dengan sebuah kolam di depannya. Tak jauh dari tempat ini, terdapat pekarangan luas yang agak kurang terurus. Ada beberapa sumur di areal itu. Pak Jaman bercerita, apabila menyempatkan untuk mencuci muka di salah satu sumur maka bisa enteng jodoh atau bahkan mendapat kemuliaan. Meski menganut agama Islam, pengaruh Hindu masih terasa kental di sini.

Kami berdua kembali ke bagian depan keraton. Hari sudah siang dan saya akan bergegas menuju Gua Sunyaragi. Setelah berpamitan pada Pak Jaman, saya mengambil beberapa foto dan menyusuri lagi keramaian Pasar Kanoman. 

Perjalanan saya di Cirebon sungguh belum berakhir. Di kunjungan saya berikutnya, saya sudah membuat catatan. Beberapa tempat akan saya kunjungi seperti Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, juga menikmati beberapa icon kuliner Kota Udang seperti nasi jamblang dan docang. Tapi itu nanti, ketika saya kembali berkunjung ke Cirebon.



(Foto-foto yang ditampilkan adalah dokumentasi pribadi)

Comments

noe said…
Benar ya kata quote itu... membaca adalah kegiatan traveling dalam bentuk lain. Hehehe... kapan2 temenin ke cirebon yaa :*
Unknown said…
itu quote siapa, mak? hihi... da dari "sono"nya kita kan disuruh "mbaca" ya? hehe... tanggung jawab udah ngeracunin jalan!

hayuk! masih penasaran sama kasepuhan & docang, pingin juga liat pengrajin batik trusmi *baru liat toko2 batiknya doang :D
Zizy Damanik said…
Keraton dan ceritanya adalah daya tarik bagi banyak orang, termasuk turis lokal. Pengen bisa keliling... mencari keraton-keraton...
Claude C Kenni said…
Wah seru nih, kapan kapan harus mampir ke tempat ini, hehehe...

Memang traveling itu bagaikan candu ya =)
Wa wa wah.... Kakiku jd gatel pengen jalan2... Hehhehehe
Unknown said…
@Mba Zizy : iya Mak.. negri kita ini punya buanyak keraton ternyata!

@claude : it's a must! hehe

@Mba Icha: sini digarukin :D
Erlina said…
Bagus, mak. Sayang saya belum pernah ke Cirebon. Ngubeg2 kotanya maksudnya..hehe.. Slama ini cuma lewat pas naik kereta aja:)
bocah petualang said…
Kira-kira daerah mana lagi yg masih punya keraton yg masih terjaga dengan baik ya? Yg saya tahu paling Jogja, Solo, dan Sumenep di Madura.
Unknown said…
Mak @Erlina : sama, Mak. Walau lahir di kota yg deketans ama Cirebon, baru kemarin sy ngulik ini kota! hehe

@Bocah Petualang : Hm, Cirebon masih oke, selain itu saya belum tau, kaka... :D

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi