Posts

Showing posts from March, 2014

Bandung #1 : Ngaprak Cikapundung

Image
Well, tujuh tahun hidup di tanah dan dengan air bumi Priangan rasanya tak pantas kalau saya tak membuahkan satu tulisanpun tentang daerah yang konon semula merupakan danau purba ini. Dan meski beberapa tempat sudah dijelajahi, tapi saya tertarik untuk menulis tentang  eco adventure dulu, sebuah kegiatan sosial yang diprakarsai gerakan Earth Hour Bandung (@EHBdg) hari Minggu (23/03) lalu untuk mengenalkan Sungai Cikapundung ke generasi muda. Menarik? Tentu saja! No preparation. Satu-satunya persiapan saya hanyalah sandal crocs kuning, ransel dengan rupa-rupa isi (karena hendak mengerjakan tugas juga), kaos, sebotol air mineral dan dua potong odading hangat yang saya beli di Simpang Dago untuk menenangkan konser di perut. 

Angkringan Mas Jo, Antara Bisnis Kaki Lima dan Filosofi Bisnis

Image
Agak "wow" ya judul tulisan saya kali ini? Tenang, saya nggak akan nulis sesuatu yang berat bin serius. Sungguh. Kita ngobrol-ngobrol santai aja, seperti saya yang kemarin makan-makan santai di angkringan sampai lupa waktu. Angkringan Mas Jo adalah pelipur lara ketika kondisi dompet sedang memprihatinkan atau saat saya sedang kesepian. Saya tinggal datang ke Jalan Gelap Nyawang (Dekat MBA ITB) Bandung, masuk ke warung tenda dengan cahaya redup, duduk di depan gerobak yang penuh diisi rupa-rupa hidangan khas angkringan, lalu membiarkan para personel Angkringan Mas Jo mencandai dan mengajak saya mengobrol. Tuntas sudah urusan uang yang tinggal beberapa rupiah dan kesepian sudah berganti jadi tawa.

Am I a Backpacker or What?

Image
Hutan Kota Babakan Siliwangi yang teduh. Saya sedang berbincang dengan seorang kawan. Ini pertemuan kami yang pertama setelah hampir setahun hanya saling menyapa di dunia maya. "Eh, kenalin. Ini Intan, backpacker !" ia mengenalkan saya pada temannya. Saya terpaku lalu menyanggah. Namun ia melakukan lagi hal yang sama: mengenalkan saya pada teman-temannya sebagai backpacker . Am I a backpacker?

Cirebon #3 : Mengintip Keraton Kanoman

Image
Catatan ini adalah catatan ketiga atau the last chapter dari cerita jalan-jalan saya di Kota Udang, Cirebon. Sengaja ditulis dengan urutan terbalik, dimulai dari acara makan siang empal asem Amarta lalu cerita nostalgia di Sunyaragi dan sekarang, saya akan bertutur tentang salah satu keraton di Cirebon. Yang terjadi sesungguhnya adalah, saya mengunjungi Keraton Kanoman terlebih dahulu, berlanjut ke Gua Sunyaragi dan berakhir di Amarta. Sekali lagi, ini sengaja ditulis dengan urutan terbalik. :)

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi

Image
Perjalanan ini saya sebut sebagai perjalanan nostalgia. Setelah tidak mendapatkan tiket kereta untuk pulang ke Bandung dan terpaksa menginap semalam di rumah teman masa kuliah, akhirnya saya putuskan untuk menjelajah beberapa sisi Cirebon. Selain terkenal dengan Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Situs Makam Sunan Gunung Jati dan sentra batik Trusminya, Cirebon juga masih menyimpan kekayaan wisata yang lain. Saya harus me- recall ingatan ketika saya masih berusia lima tahun, ketika saya asik masuk dan keluar dari gua-gua : Tamansari Gua Sunyaragi. Ya, ke tempat inilah saya akan bernostalgia!

Cirebon #1 : Empal Asem, Cita Rasa Lain Kota Udang

Image
Siapa bilang kalau kuliner Cirebon hanya terbatas pada empal gentong, nasi jamblang dan nasi lengko? A big NO kalau daerah yang dikenal sebagai Kota Udang ini hanya memiliki menu kuliner yang saya sebutkan di atas tadi. Pernah dengar empal asem dan docang? Dua menu itu adalah pilihan lain yang bisa dinikmati para pelancong ketika singgah di Cirebon! Nah, yang akan saya ulas kali ini adalah empal asem.

Bali #9 : Pulang

Image
Another summer day has come and gone away in Paris and Rome but I wanna go home Mmmmmmmm May be surrounded by a million people I still feel all alone I just wanna go home Oh, I miss you, you know - Home, a song by Michael Buble Pulang. Malam itu, selepas menikmati Bedugul, Tanah Lot dan Kuta, aku menangis. Aku ingin cepat-cepat pulang ke Bandung. So melancholic! Sudah kurapikan semua barang-barangku di kamar ini. Aku tinggal mengangkutnya. Tapi langit masih gelap bahkan belum sampai bagian pertengahannya. Kepulanganku masih 17 jam lagi dan itu bukan waktu yang sebentar.

Bali #8 : Lucky!

Agak sulit traveling ke Bali kalau kamu bukan bikers ! Ini yang terjadi padaku. Informasi yang kudapat dari Pak Gde (Pak De), penjaga hotel, dari tempatku menginap menuju ke Kuta butuh waktu kurang lebih 1 jam. Itu kalau naik angkutan umum. Pertama harus naik bemo (angkot) dari Terminal Ubung, lalu menyambung naik bis ke Kuta. Repot. Jumlahnya terbatas pula. Jadi kucoret Kuta dari daftar tempat yang ingin kukunjungi di Bali. Itu artinya, kucoret pula impian memotret lembayung senja di Kuta untuk kuhadiahkan pada teman yang suka sekali lagu Lembayung Bali-nya Saras Dewi. 

Bali #7 : Studying

Dipikirnya aku ini sedang bertualang. Iya, aku ini sedang bertualang mendalami ilmu! Semoga berkah, semoga berkah. Aamiin. Tak banyak yang tahu kalau aku sedang di Bali. Dan hanya sedikit yang tahu apa sebenarnya tujuanku datang ke Pulau Dewata. Seminar dan workshop ke-psikologi-an bertebaran di Bandung sana. Tema yang diangkat tak jauh dari tema-tema industri, perkembangan atau pendidikan. Jarang ada yang mengangkat tema sosial. Nah, begitu tahu ada seminar dan workshop bertema sosial di Bali, kualihkan impianku yang semula hendak berlibur ria di Makassar ke Bali, untuk belajar dan tentu memenuhi persyaratan akademikku. So, untuk urusan inilah aku di Bali sekarang.

Bali #6 : Tragedy!

Halo, Bali! Universitas Dhyana Pura, tempat acara Seminar dan Workshop Psikologi Forensik, letaknya lebih dari 3 kilometer dari hotel tempatku menginap. Terletak di Jalan Padang Luwih, Dalung-Kabupaten Badung. Kampusnya kecil dibanding kampusku di Bandung. Jauh-jauh aku kemari hanya untuk menghilangkan huruf 'n' dari kata Ba(n)dung. Kalimat barusan tak usah dianggap serius. Hehe. Acara seminar dan presentasi paper di kelasku sudah selesai pukul 16.00 WITA. Langit cukup cerah jadi kuputuskan untuk berjalan kaki pulang ke hotel. Tak kuhiraukan ujaran Pak Gde, supir ojekku yang memintaku menghubunginya kalau acara selesai agar ia bisa menjemput. Tiga kilometer? Ah, dahulupun aku sering berjalan kaki pulang dari sekolah yang jaraknya hampir 3 kilometer dari rumah.

Bali #5 : It's Just the Beginning

Voila! Bali! Why people talk about Bali too much? Kenapa Bali jadi the most popular place bagi para traveler ? Bahkan di TripAdvisor, Bali jadi tempat yang paling dilongok wisatawan di web traveling itu? Sayangnya aku tiba malam hari di Pelabuhan Gilimanuk dan masih harus menempuh perjalanan selama 3 atau 4 jam lagi menuju jantung-nya Bali. Yang kulihat sepanjang perjalanan hanyalah pepohonan, mobil-mobil besar yang menuju pelabuhan, dan beberapa rumah yang kemudian diselingi lagi dengan pepohonan. Gelap. Hujan turun rintik-rintik di luar sana. Sampai di sini, aku belum memutuskan akan turun di mana.

Bali #4 : Sampai

Oke, oke. Aku tahu kau mulai tak sabar. Tapi sungguh perjalanan ini memang lama sekali. Aku tak bisa lagi mengingat berapa kali kulirik jam tangan, jam pada ponsel, juga menghitung waktu yang sudah kulewati dengan sepuluh jemari tanganku. Monyet-monyet berdiri mematung ketika bis melewati tepian Taman Nasional Baluran. Mereka mengharap para pelintas bisa membagi sedikit makanan. Pemandangan monyet-monyet di Baluran sudah terlewat beberapa jam lalu.

Bali #3 : Subuh

Image
Aku tidur karena mengantuk, tapi terbangun berkali-kali. Berganti posisi dari kaki yang menjulur, bersila, dan menenggelamkan wajahku di antara lipatan kaki. Semua kulakukan agar perjalananku ini nyaman. Kota-kota sudah terlewati; Pekalongan, Batang, Semarang. Malam makin gelap di luar sana, sudah masuk bagian sepertiga akhir. Bis Kramatdjati melintasi Masjid Agung Demak. Waktu subuh masih satu jam lagi dan aku kembali tidur, memeluk ranselku yang gemuk. Sayup-sayup kudengar lagu dari pemutar musik ponselku,  Di ujung malam, di antara lelap dan sadar mulailah sekarang menarilah bersamaku... Sunyi ini merdu seketika sunyi ini merdu seketika sunyi ini merdu seketika... - Di Ujung Malam, oleh Payung Teduh

Bali #2 : Perkenalan

Aku mengantuk tapi rasa lapar lebih kuat godaannya. Pukul 21.00 WIB. Kota Cirebon sudah tak terlihat lagi. Bis Kramatdjati jurusan Bandung-Bali yang kunaiki sudah memasuki Tegal, kota yang terkenal dengan budaya nge-teh nya. Kota yang juga terkenal dengan warung nasi "waralaba" yang tersebar hampir di seluruh sudut Indonesia, yang sangat akrab dengan kondisi kantong mahasiswa macam aku. Langit saat itu cerah. Aku memandang ke arah tepian jalan dari balik kaca jendela. Rumah-rumah mulai redup cahayanya. Penghuninya sudah mulai melepas lelah di dalam sana. Aku menguap, namun lapar masih membayangi. Tak cukup satu-dua keping biskuit gandum berlapis cokelat menenteramkan gemuruh gendang dalam perutku. Ia butuh lebih dari sekedar penahan lapar. Bis bergerak perlahan lalu berbelok masuk ke halaman sebuah tempat makan yang luas. Kernet bis berteriak mengingatkan untuk membawa serta kupon yang menempel di tiket. Kupon itu ajaib. Satu potong kupon bisa ditukar dengan sepiring na

Bali #1 : Gentar

Siapa bilang aku tak gentar menghadapi petualangan kali ini? Hey world, I’m sick of thinking how I have to face this very long journey! Tapi sudahlah. Aku sudah duduk manis di kursi tunggu pool bis Karamatdjati. Menanti detik-detik yang terasa begitu lama berganti. Pukul 13.15 nanti, aku akan memulai perjalanan panjang Bandung-Bali. Ah, bicara soal Bali, aku memang menyimpan impian di salah satu sudutnya; Ubud. Meski saat ini, Tuhan hanya mengizinkanku sampai di Badung, atau mungkin juga Kuta. Mungkin. Kita lihat saja bagaimana takdir menggiringku di Bali nanti.