Bali #4 : Sampai

Oke, oke. Aku tahu kau mulai tak sabar. Tapi sungguh perjalanan ini memang lama sekali. Aku tak bisa lagi mengingat berapa kali kulirik jam tangan, jam pada ponsel, juga menghitung waktu yang sudah kulewati dengan sepuluh jemari tanganku.

Monyet-monyet berdiri mematung ketika bis melewati tepian Taman Nasional Baluran. Mereka mengharap para pelintas bisa membagi sedikit makanan. Pemandangan monyet-monyet di Baluran sudah terlewat beberapa jam lalu.


Panarukan, tujuan akhir dari jalan raya yang idenya keluar dari pemikiran Daendles juga sudah terlewat. Ketika melintasinya sekira 40 menit lalu, aku jadi ingat pada titik nol kilometer di ujung barat Pulau Jawa. Ya, titik pangkal jalan yang dibangun dengan darah dan keringat pribumi ini ada di Anyer, Banten. Akhirnya, kedua ujung jalan itu bisa kunikmati, tak hanya dari buku-buku pelajaran saat aku masih sekolah menengah!

Pukul 18.30 WITA saat bis Kramatdjati yang kunaiki menyentuh Pelabuhan Ketapang di bagian paling timur Pulau Jawa. Aku memang masih berada di Pulau Jawa. Masih pukul 17.30 WIB di jam tanganku. Namun jam digital di ponselku terlalu cepat menyesuaikan diri secara otomastis dengan zona waktu, padahal aku belum melintas Selat Bali. Bis berhenti agak lama di Ketapang. Kapal yang akan mengantarku ke Bali baru merapat pukul 19.00 WITA. Langit belum gelap. Aku masih bingung dengan waktu. Maghrib kapan datangnya?

Ketika kapal datang dan bis sudah terparkir sempurna di dalam lambungnya, aku dan 6 orang penumpang bis yang tersisa turun. Kapal ini berukuran kecil. Aku diajak Mba Ida (baca di sini ) naik ke geladak, duduk di jejeran kursi yang menghadap ke lautan. Tapi aku belum menunaikan kewajiban. Ketika menemukan mushola, aku bergegas mengambil wudhu. Mba Ida rupanya mengikuti. Tiga rakaat ia tuntaskan. Sepanjang 28 jam berada di bis bersama, aku tak pernah melihatnya beribadah. Dan kini? Aku tak berkomentar apa-apa. Syukur kalau ada titik di mana ia ingin menyapa Tuhan.

Kapal bergerak pelan, hampir tak bisa kurasai gerakannya memecah gelombang. Aku dan 6 penumpang bis Kramatdjati duduk di sisi kapal yang sama. Mba Ida asyik mengobrol dengan Uda dari Padang. Mas dari Cirebon menyapa Akang dari Garut. Aku bertanya ini-itu pada Mba Santi yang asli orang Bandung namun bekerja di Bali. Sementara dua orang lainnya ada yang sibuk mengabadikan kerlip lampu kapal lewat kamera DLSR-nya juga menghembuskan asap rokok. Kapal mulai sepi. Kami tak menyadari kalau kapal sudah menepi. Bis sudah keluar dari lambung kapal. Kami berlari mengejar.

Ah, Gilimanuk! Hanya sekitar 20 menit saja perjalanan melintasi Selat Bali! Aku menengok ke belakang dengan nafas yang masih memburu, sebelum kembali naik ke atas bis. Pulau Jawa sudah jauh tertinggal. Perjalananku sudah tinggal beberapa jengkal.

Comments

Nurul Noe said…
Wow panarukan! Aku jasi pingin jugaaak

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi