Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Semangatku seperti semangat anak-anak yang baru pertama kali belajar puasa : dapat bangun dini hari dengan segar, kemudian tak sabar menunggu waktu berbuka.

Ahad, 25 Agustus 2013, atau hari terakhir pelarian-ku ke Lampung Selatan. Temanku se-homestay pagi-pagi sudah "membuat keributan". Maksudnya, suaranya yang sangat bersemangat mampu membuatkku terjaga. Pukul 02.30 kala itu. Homestay gelap gulita. Listrik di Pulau Sebesi memang terbatas, belum bisa dinikmati sepanjang hari. Kalaupun dini hari seperti ini ada beberapa lampu menyala, itu hanya di titik tertentu saja. Aku sudah bangun. Kalau tak ingat pagi ini kami akan berangkat ke Gunung Anak Krakatau, sepertinya aku lebih memilih untuk meringkukkan tubuh di atas kasur tipis ini. Namun, seperti anak kecil yang baru pertama belajar puasa, semangatku mengalahkan rasa kantuk yang menggantung di sudut-sudut mata.

Hampir pukul 04.00 ketika kami berkumpul di dermaga Pulau Sebesi. Langit saat itu mengizinkan kami menikmati taburan bintang-bintang. Angin bertiup dengan kencang. Aku merapatkan jaket. Setelah menunggu beberapa menit, kami mendengarkan pengarahan terakhir sebelum kami kembali menaiki kapal mesin, satu-satunya alat transportasi yang mendukung kegiatan kami dua hari terakhir. Menurut perkiraan, perjalanan menuju Pulau Anak Krakatau akan memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan laut.

Beberapa perahu motor telah siap mengantar kami dan beberapa wisatawan lain yang juga akan menuju Pulau Anak Krakatau. Gelombang sedang tidak begitu tenang. Aku memilih duduk di lambung kapal, agak takut juga menikmati lautan dalam kondisi gelap seperti itu. Beberapa kawan juga masuk, kemudian mengambil tempat, menyamankan posisi duduk, dan kembali melanjutkan tidur. Aku ingin tidur, tapi tidak bisa. Jadi yang bisa kulakukan adalah menikmati wajah teman-teman baruku yang tengah terlelap, sambil sesekali melemparkan pandang ke langit lewat celah di atap kapal. Berselingan, sisa purnama dan bintang menyapa.

Jam berapa kala itu? Aku tak tahu pasti, namun kukira kami sudah lama berada di dalam kapal. Kembali kutengok langit, tampak satu bintang yang bersinar benderang, mungkinkah itu bintang fajar? Tiba-tiba aku ingat kata-kata seorang teman, kadang ketika bepergian kita justru tidak memerlukan jam tangan, sebuah penanda arah saja yang penting kita punya. Maka ketika melihat si bintang fajar, kuputuskan untuk shalat Subuh di dalam kapal, meski panitia telah menyediakan waktu bagi kami shalat sesampai di Pulau Anak Krakatau. Namun, berapa lama lagikah kami sampai? Aku tidak tahu, namun ketika harus menghitung jarak dan waktu tempuh, maka diperkirakan, kami akan sampai pukul 06.00 nanti. Jadi, bismillaah, aku shalat saja di kapal.

Kapal masih terapung di Selat Sunda. Teman-teman masih terlelap. Gelombang terkadang ramah, terkadang kuat menghantam kapal, sehingga beberapa kali tubuh ini terdorong. Langit mulai berwarna hitam pias, kapal mulai bergerak perlahan, deru mesin mulai pelan. Awak kapal gesit melempar sauh, menambatkan kapal. Kami sampai di Pulau Anak Krakatau. Aku naik ke atas kapal, secercah cahaya menyembul dari balik sebuah pulau. Langit mulai gempita. Ah! Aku tak sabar untuk segera menjejak Pulau Anak Krakatau!

Tak berapa lama setelah kami semua mendarat, kami mendengar pengarahan dari petugas. Ya, kami harus mendengarnya, mengingat Gunung Anak Krakatau yang kami tuju tergolong gunung api aktif. Gunung Anak Krakatau terbentuk 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau yang melegenda itu, atau pada tahun 1927. Oleh karenanya, Gunung Anak Krakatau bisa dikatakan masih anak-anak, yang masih akan terus tumbuh tinggi. Menurut penjelasan petugas, setiap tahunnya Gunung Anak Krakatau bertambah tinggi sekitar 4 sentimeter. Sementara itu saat ini tingginya mencapai 230 meter di atas permukaan laut, dengan luas pulau sebesar 17.000 hektar. Mendengar tingginya hanya 230 meter, maka betul kalau Gunung Anak Krakatau masih anak-anak, sesuai dengan namanya. Aku yang belum pernah naik gunung juga jadi cukup percaya diri.

Perjalanan mendaki Gunung Anak Krakatau membawa ingatanku pada obrolan bersama dua teman perempuan yang hobi naik gunung. Kami mengobrol bertiga kala itu, mereka yang bercerita, aku yang mendengar. Lebih tepatnya begitu. Teh Eris baru saja turun dari Gunung Lawu, ada beberapa cerita yang ia bawa, tentang Lawu yang menundukkan hatinya. Kemudian, Teh Dea bercerita tentang pengalamannya naik Gunung Burangrang dan Ciremai yang menantang. Setelah mereka bercerita dan hari mulai beranjak malam, kompak mereka bertanya,
"Setelah denger cerita tadi, kamu masih minat naik gunung kan, Tan?" saat itu aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecut.

Rupanya hari ini aku ditantang takdir. Jalur awal pendakian Anak Krakatau masih berupa semak-semak dengan vegetasi khas kawasan pantai. Pasir pantainya berwarna kehitaman, berbeda dengan yang kutemui di Sebuku kemarin. Jalan setapak ini cenderung ramah, mudah untuk diikuti. Beberapa menit berlalu. Tanaman mulai jarang terlihat, namun beberapa pohon cemara kokoh berdiri mencengkeram pasir di bawahnya. Pasir di kawasan ini sudah mulai cokelat warnanya, dan di depan sana, tampak Anak Krakatau kokoh menjulang menyambut para pendaki. Jalur pendakian mulai menanjak. Medan yang dihadapi adalah hamparan pasir yang luas dan bebatuan, sisa dari letusan gunung anak-anak itu. 

Aku beberapa kali rehat untuk menghimpun energi, meminum seteguk air sambil duduk di bongkahan batu, atau menengok ke belakang mengabadikan matahari yang mulai naik. Amboi indahnya! Sementara aku asyik memotret, teman-temanku makin jauh melangkah ke depan. Segera aku insyaf, kembali mencoba naik ke lereng Anak Krakatau, titik aman bagi kami para pendaki. Aku terlalu remeh menganggap Gunung Anak Krakatau sebagai anak-anak, karena ternyata gunung ini punya karakter yang berbeda dari gunung lainnya. Pepasir yang menghampar, menjadi medan yang sulit didamaikan. Kakiku sempat terbenam di dalam pasir. Rasanya, energi yang dikeluarkan tak berbanding lurus dengan lebar langkah yang dibuat. Mungkin memang gunung ini masih anak-anak, jadi sedang senang-senangnya iseng mengerjai pendaki.

Sekitar 30 menit kemudian, aku sampai di lereng Gunung Anak Krakatau. Dari atas sini, "anak kecil" itu menghadiahi kami pemandangan yang luar biasa. Di hadapan kami, tampak beberapa pulau dikelilingi luasnya Selat Sunda. Dua ekor elang terbang di kejauhan, beberapa kapal tampak berlayar di birunya laut. Sementara matahari sudah tidak malu-malu lagi menampakkan diri. Sungguh aku seolah ditampar oleh "anak kecil" yang gemar meledek ini. Ia bilang, maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan, Intan?

Aih, Gunung Anak Krakatau memang kecil-kecil cabe rawit. Bisa saja ia membuatku malu dan menunduk di hadapan sosoknya yang ternyata bijaksana. Kepulan asap tipis tampak di puncak Gunung Anak Krakatau. Aku duduk di bebatuan, berulang memandang Anak Krakatau yang terus bertumbuh tinggi, birunya Selat Sunda, dan pulau-pulau yang melambai. Matahari mulai meninggi, lereng mulai sepi. Anak kecil nan bijaksana itu seolah mengatakan butuh istirahat. Setelah puas mengabadikan beberapa "wajah" Anak Krakatau, aku dan teman-teman menyampaikan salam perpisahan. Mungkin nanti, ketika aku dan teman-teman kembali menyapa Anak Krakatau, ia sudah tumbuh lebih tinggi dan semakin perkasa. 




 sepekan terlewati.
- dalam tulisan kali ini, aku royal : akhirnya membagi beberapa foto. Beberapa foto diambil oleh Efri, menggunakan kamera Fujifil 8 MP, foto tanpa editing.


Yang disapa pagi di Pulau Anak Krakatau

"mendaki"

Gunung Anak Krakatau jadi latar


Bersama teman Krakatau Writing Camp, selepas turun

Gunung Anak Krakatau di kejauhan


Comments

Unknown said…
This comment has been removed by the author.
Nurul Noe said…
Xixixi... pantes anakku semangat ya naik ke puncak anak krakatau, mereka akrab rupanya sesama anak-anak :D
Unknown said…
ya ya, bisa jadi... bisa jadi, mba...! hehehe

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi