Ini Tentang Teh dan Saya

Teh.
Tiba-tiba saja, ada seorang kawan yang menanyakan tentang teh dan hubungannya dengan saya. Saya pikir, begitulah arah dari pertanyaannya. What kind of question it was!

Mungkin pertanyaannya itulah yang mendorong saya untuk menuliskan ini. Mungkin terdengar tak begitu penting ya, tapi tak apa karena teh memang memiliki peranan atau setidaknya menyimpan kenangan tentang hidup saya.

Keluarga saya lah yang pertama kali mengenalkan teh pada saya. Dahulu sekali, ketika saya masih kecil, sebagai satu-satunya anak yang kerap dimintai tolong untuk ke warung, maka saya pun kerap menjadi sasaran si Mbah. Mbah suka meminta tolong ke warung juga. Saya sampai hafal. Setiap kali Mbah menerima uang pensiun, ia selalu memanggil saya, meminta saya pergi ke warung membeli beberapa keperluan pribadinya, termasuk teh. Teh bubuk kering cap Jangkar, itu teh favorit Mbah.

Di rumah, ada tiga teko yang selalu ada di dapur. Ketiganya terpakai dan terisi. Satu teko berisi air putih panas, dua lainnya berisi air putih biasa dan teh. Selalu seperti itu. Diisi setiap pagi oleh Mbah. Kebiasaan itu terus berjalan bahkan sampai Mbah meninggal.

Melihat Mbah yang selalu minum teh (kesukaannya adalah teh tubruk, tanpa gula), saya jadi tergoda mencicipi. Saya yang saat itu masih kecil, tak tahu kalau ternyata teh punya caranya yang khas yang membuat orang jatuh cinta. Di sekolah, jajanan pun tak lengkap apabila tidak dinikmati dengan teh yang dibuat menjadi es mambo.

Memang, teh menjadi teman yang pas untuk segala macam makanan. Saya sadari itu, karena nyatanya, hampir di setiap warung makan menyediakan teh sebagai minumannya. Saya pun terkadang lebih memilih teh dibanding air putih.

Di keluarga, selain Mbah ternyata Mamah pun penikmat teh, walau sesekali saja. Lantaran kebiasaan saya menikmati teh manis panas, oleh orang rumah saya kerap disebut sebagai "orang tua". Iya, terkadang teh diidentikkan dengan orang tua.

Sekarang, ketika menghirup teh, kenangan saya bertambah. Bukan hanya Mbah saja yang muncul dalam ruang ingatan saya, tapi Bapak pun turut di sana. Semenjak Bapak sakit, saya baru memperhatikan kalau Bapak adalah penikmat teh. Hampir sepanjang hari beliau minum teh, saya sendiri tidak mengerti apakah ada manfaatnya. Dan lagi, karena Bapak sudah sulit untuk bicara, Bapak punya cara yang khas ketika ia ingin minum, khususnya minum teh.

Ah, saya sendiri tidak tahu kenapa saya menjadi penikmat teh. Mungkin karena kesadaran bahwa saya ini memiliki darah rendah, maka secangkir teh manis hangat bisa menjadi pemicu saya beraktivitas. Mungkin karena teh sangat ringan, sehingga bisa dinikmati dalam segala kondisi, dan bisa disandingkan dengan makanan apapun. Mungkin karena teh menghangatkan, yang sering kali melerai carut-marutnya hati saya.

Mungkin.

12 November 2011

Comments

Adit Purana said…
Bagi beberapa orang, teh menyimpan banyak cerita.. :)
Indah Nurani said…
salam kenal mbak intan, saya juga penggemar teh dan baru tahu nama teh jangkar.saya tertarik dengan teh jangkar dan membutuhkan banyak info seputar teh tersebut untuk posting di www.galeriteh.blogspot.com. barangkali Anda bersedia membantu saya.terima kasih
Unknown said…
salam kenal mba Indah... iya, teh jangkar (saya suka nyebutnya teh kampung, hehehe) bisa didapat di sekitaran Indramayu-Cirebon, mba.

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi