Ketika Dolly Ditutup

Akhirnya, deklarasi penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak berhasil dilaksanakan tadi malam (18/06). Seperti kebanyakan hal di dunia ini, maka deklarasi tersebut tidak menghentikan gelombang pro-kontra yang menyertainya sejak inisiatif penutupan Dolly dikemukakan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Pro dan kontra ibarat dua sisi mata uang. Bagaimana mengurainya? Saya sendiri tidak punya jawaban, karena begitulah adanya hidup.


Ada hal menarik saat saya menikmati saat-saat sepi di perpustakaan pagi ini. Ada beberapa koran tergeletak di depan saya. Dua di antaranya memberitakan Deklarasi Alih Fungsi Wisma dan Alih Fungsi Profesi Wanita Harapan dalam bungkus yang dibuat dari sisi upaya pemerintah dalam menutup lokalisasi yang berumur sekitar 100 tahun tersebut. Sementara dalam koran yang lain justru mengusung bentuk perlawanan warga yang tinggal di kawasan Dolly dan Jarak. 

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial, konon telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 7,3 milyar sebagai kompensasi bagi sekitar 1.449 PSK di lokalisasi yang katanya terbesar di Asia Tenggara itu. Apabila dikalkulasikan, jumlah tersebut akan terbagi sekitar Rp 3.000.000,- per orang. Sementara itu, anggaran sebesar Rp 1,5 milyar juga rencananya akan dicairkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bagi sekitar 300-an mucikari yang mendulang rezeki di Dolly dan Jarak. Angka tersebut, bagi kita, merupakan jumlah yang cukup besar untuk digulirkan menjadi modal produktif tapi sungguh angka yang kecil bila dibandingkan dengan pendapatan yang bisa diraup penggiat lokalisasi. Dalam koran PR yang terbit hari ini, seorang pengelola parkir di lokalisasi bisa beromzet Rp 300.000,- dalam semalam, bisa terbayang apabila dikalkulasikan dalam sebulan? Itu baru sebatas pengelola parkir, sementara bagi PSK dan mucikari? Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan pada tahun 2011 terhadap seorang mantan PSK, dalam sehari, ia bisa mendapat pembayaran sebesar Rp 1.000.000,- pada tahun 2000 hingga 2006. Mungkin angkanya sekarang bisa lebih besar lagi.

Seorang kawan pernah bertutur, lokalisasi adalah salah satu cara untuk menekan praktek prostitusi liar yang pada akhirnya bisa mengendalikan angka penyebaran HIV-AIDS agar tidak lebih luas lagi. Sementara itu, para aktivis keagamaan bertindak dalam bendera agama -tanpa bermaksud men-generalisasi- terkadang menutup mata dan melabelkan penggiat lokalisasi dalam golongan tidak bermoral.

Lalu kita berdiri di sisi mana?

Masalahnya, kita tidak pernah dihadapkan pada situasi hidup yang memungkinkan seseorang untuk (akhirnya) memilih terjun bebas dalam dunia prostitusi. Tapi kemudian muncul pernyataan yang cukup umum mengemuka: seandainya mereka mau memakai akal sehat dan nurani, mereka bisa memilih alternatif pekerjaan lain selain jadi "perempuan malam". Akal sehat dan nurani. Bagaimana kalau mereka yang kemudian berenang di dunia prostitusi pada awalnya dipaksa oleh situasi yang tidak mendukungnya untuk memilih pekerjaan lain? Misalnya, korban perdagangan manusia atau trafiking? Atau yang menurut saya lebih menyedihkan, bagaimana seandainya orang-orang dewasa yang bekerja di dunia prostitusi adalah mereka yang ketika anak-anak dibesarkan di lingkungan lokalisasi dan dibesarkan oleh orangtua yang juga merupakan penggiat lokalisasi? Tidak menutup kemungkinan bahwa batasan benar-salah dalam konteks moral-agama bagi mereka adalah apa yang sehari-hari mereka lihat-dengar-dan rasakan dari lingkungan sekitar. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka tidak memahami bahwa praktek pekerjaan tersebut tidak dibenarkan oleh norma sosial yang dalam tingkat lebih tinggi, agama.

Maka bagi saya, HIV-AIDS adalah masalah yang tidak lebih besar dari kerusakan masyarakat apabila lokalisasi dan segala bentuk prostitusi lainnya tetap ditumbuh-suburkan. Ini bukan hanya masalah moral semata. Lebih dari itu, ini masalah kesenjangan. Dalam hal ini saya sepakat dengan apa yang disampaikan Dr. Farid Esack (Madyan, 2009) bahwa kondisi sosial-ekonomi sebuah kelompok bisa berbeda sangat radikal dengan kelompok lain, yang kemudian mendorong praktek-praktek praktis untuk bertahan hidup.

Tak banyak lapangan kerja yang tersedia saat ini untuk mereka dengan jenjang pendidikan dasar atau bahkan tanpa pendidikan dan keterampilan sama sekali. Namun kenyataan bahwa (bahkan) dua orang mantan PSK yang terinfeksi HIV masih bisa berdayapun tak dapat saya tutupi. Saya mengenal ODHA (orang dengan HIV-AIDS) dengan track record penggiat lokalisasi di Jakarta pada tahun 2000 hingga 2006. Saya seringkali merasa terharu saat bersama salah satu di antara dua kenalan saya itu.  Ia berkomitmen untuk bisa membantu orang lain dengan menjadi tenaga lepas di pusat konseling rumah sakit di salah satu kabupaten pesisir di Jawa Barat. Di sisi lain, ia mengelola sebuah bengkel kecil di kampungnya dengan uang modal yang diberikan oleh pengguna jasanya dulu saat masih menjadi PSK. Sementara itu, seorang ODHA lagi yang memiliki track record serupa justru memulai usahanya sebagai pedagang jajanan kecil untuk anak-anak SD. 

Ketika kita membangun unconditional positive regards (penerimaan positif tanpa syarat) dan compassion (kasih sayang) pada penggiat lokalisasi untuk bisa membangun konsep diri mereka, meski butuh waktu dan kesabaran yang panjang, bukan tidak mungkin persoalan sosial ini bisa diatasi. Dengan catatan, kita mau memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman pendidikan formal yang cukup untuk bisa berkembang. Maka, kompensasi berupa uang serta kontrak kerja yang diberikan pemerintah bagi waga Dolly dan Jarak jika dibantu perencanaan pengelolaan modal serta pemberian keterampilan bisa membantu penggiat lokalisasi untuk kembali berdaya sebagai individu yang utuh.

Lebih dari itu, pengalihfungsian Dolly dan Jarak dari lokalisasi prostitusi menjadi sentra industri rumahan, sentra pedagang kaki lima, perpustakaan, dan ruang komputer justru saya pandang sebagai penyelamatan satu generasi. Namun dengan catatan, pemerintah serta kita sebagai masyarakat konsisten untuk menutup pintu prostitusi baik yang terlokalisasi maupun tidak.

Saya tertarik dengan pandangan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang saya kutip dari Harian Kompas hari ini (18/06). Ia berkata:
"Saya terutama ingin mengembalikan hak anak-anak di lokalisasi yang juga ingin masa depan yang cerah."
Saya pikir ini gebrakan yang sangat berani dari seorang pemimpin. Saya memandang Ibu Risma memahami benar betapa berartinya anak-anak dan masa depan yang dimilikinya. Dalam arti yang lebih luas, ia mencoba memandang Indonesia di masa depan dari teleskop anak-anak di lokalisasi Dolly. 

Ingat apa saja hak-hak anak yang perlu dipenuhi oleh kita, orang dewasa? Ada 4 hak dasar yang termaktub dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dan, ketika Dolly ditutup, bukan berarti tuntas semua persoalan. Justru tugas kita menjadi lebih besar. Lalu mengapa kita tidak bersatu agar tugas itu menjadi lebih ringan ditunaikan? Wallahua'lam bishshowaab. (Kuswointan)



---
Sumber buku:
Madyan, Ahmad Shams. (2009). AIDS dalam Islam: Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan. Bandung: Penerbit Mizan



Comments

rudirustiadi said…
bagus, kirim aja ke rumahdunia.com buat rubrik essai.
Anonymous said…
"Dengan catatan, kita mau memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman pendidikan formal yang cukup untuk bisa berkembang. Maka, kompensasi berupa uang serta kontrak kerja diberikan pemerintah bagi warga Dolly dan Jarak jika dibantu perencanaan pengelolaan serta pemberian keterampilan bisa membantu penggiat lokalisasi untuk kembali berdaya sebagai individu yang utuh."

Satuju sama pernyataan itu. Penutupan Dolly mesti disertai pemberian kesempatan dan pelatihan keahlian bagi mereka. Jangan cuma dikasih kompensasi berupa uang terus pemerintah lepas tangan. Pemerintah mesti membantu mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan kita sebagai masyarakat perlu ambil andil juga buat membantu.

Kalau kata Rendra, dalam puisinya yang berjudul "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta":
menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong

Tentu yang dimaksud Rendra "mengawini" di situ, bukan benar-benar mengawini dalam arti harfiahnya.

Intinya mah, suka sama tulisan ini...! ^^"
kuswointan said…
Bang Rudi: Heuheu, pantaskah?

Teh Putri: Iya sepakat sama teteh. PR besar sekali. Kalau kata Pak Esack di buku AIDS dalam Islam mah :
Kita mengajak semua orang peduli terhadap AIDS untuk bersama-sama meletakkan sesuatu pada tempatnya. Mengajak masyarakat untuk memiliki hidup yang sehat, bersama-sama memberikan dukungan dan pertolongan bagi orang-ornag yang tidak memiliki kekuatan untuk hidup seperti yang mereka inginkan.
Lusi said…
Tutupnya Dolly adalah untuk memutus mata rantai prostitusi karena makin hari makin terbuka & bisa diakses siapapun juga. Otomatis itu akan mematikan trafficking. Uang milyaran itu hanya biaya hidup sementara, selanjutnya mereka harus dikasih kesempatan seluas-luasnya untuk bertobat & mencari nafkah dijalan yg benar. Memang jumlah bantuan pemerintah itu tidak sebanding dg penghasilan dulu tapi semua pekerjaan halal memang butuh kerja keras. Jangan mau berkompromi dg orang malas, sudah bagus dikasih modal. Kalau ada yg gak mau tobat & nekad melacur dijalanan spt yg dikhawatirkan byk orang, ya ditangkap saja & dihukum dg UU yg sesuai.
noe said…
Pemikiran cerdas. Sering2an menulis yang semacam ini. Eh tp aku kangen fiksimu jg sih.
kuswointan said…
@Mak Lusi: Sepakat Mak.. mungkin media juga perlu memaparkan profil mantan PSK yang berdaya, sehingga PSK-PSK bisa meneladani kesulitan yang harus dihadapi ketika ingin menjadi sukses. Mental instan harus diubah dengan mental mau berusaha. Ini yang sulit. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin kan ya? Hehe.

@Mak Noe: Tergelitik dengan komentar teman-teman ttg penutupan Dolly ini. Dan sebetulnya saya juga kangen fiksi.
Unknown said…
Suka sama tulisannya Mbak. Keputusan Bu Risma ini memang luar biasa, nggak nyangka kita memiliki pemimpin wanita setegas, seteguh,dan sebebarni beliau. Puisi Rendra dari Teh Putri itu juga bener banget. Pas untuk kasus penutupan Dolly.
kuswointan said…
@Mba Sofia: Iya keputusan Ibu Risma ini out of the box sekali. Ketika yang lain mengatakan sulit, ia menunjukkan kalau bisa. :)
Unknown said…
Memang penutupan sebuah lokalisasi harus disertai dengan antisipasi, PSK itu hrs diberi tempat tinggal,pekerjaan lain/modal yang cukup untuk usaha. kalau tidak akan jadi semacam bumerang. Contohnya telah saya lihat sendiri beberapa tahun yang lalu di lokalisasi Kramat tunggak,jakarta Utara. Waktu itu digusur dan dirubah menjadi islamic Centre, tapi apa yang terjadi? Para PSK-nya pindah , mereka nge-kos/ngontrak ke tengah-tengah kampung. Dan mereka membawa pengaruh-pengaruh buruk terhadap ABG dan pemuda-pemudi setempat. Ini menurut penuturan warga setempat dan informasi dari koran lokal, Priok Pos. Mereka (para PSK) masih mencari nafkah dengan beroperasi di hotel-hotel melati di daerah Rawa Badak, Tugu Utara dan Tugu Selatan. Tapi saya lihat ada juga yang memasang terpal bongkar pasang di samping Islamic Centre dan membuka praktek prostitusi. Sungguh memprihatinkan.

Popular posts from this blog

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi