dan seperti biasanya...

Entah apa yang salah dengan diri saya!

Ada seseorang yang ternyata membohongi saya dan rekan-rekan saya selama hampir dua bulan. Seorang anak berusia enambelas tahun. Saya bertemu dengannya pada suatu malam, sesaat setelah menerima telepon dari Pak Satpam bahwa ada tamu yang datang. Hampir jam dua dini hari. Dengan langkah kaki yang berat dan mata yang masih belum bisa dibujuk agar awas, saya bertemu dengannya, di antar oleh dua orang pihak berwajib. Saat itu, ia tak membawa apa-apa. Hanya menggunakan sehelai kaus, bercelana pendek, dan bersandal. Itu saja. Tak ada aksesoris yang dipakai. Dari nafasnya yang tersengal-sengal, saya tahu kalau dia habis berlari.

Lantas, saya melalui hari bersama gadis ini. Merangkul pundaknya ketika ia berteriak ketakutan, sesekali mendengar ceritanya, menungguinya masak, menonton tv bersama, melaksanakan shalat berjamaah, memarahinya lantaran ia tak bisa tenang, mengacuhkannya lantaran tugas yang menumpuk.

Hingga datanglah hari ini. Dengan sangat sulit, ia mengakui kalau ia telah membohongi saya dan rekan-rekan saya. Rekan saya yang telah mengumpulkan bukti atas kebohongan gadis ini terlihat naik pitam. Kata-katanya jadi tak terkontrol. Mungkin akhirnya lega, telah meluapkan segenap kedongkolan atas ulah bocah kecil ini. Saya diminta tak lagi membelanya. Setelah mengetahui kebohongannya, saya memang sudah tak lagi membela anak ini. Saya hanya bersikap seperti biasa, dengan sesekali menegaskan suara dan membelainya sewaktu-waktu ketika kami-saya dan rekan saya- tengah menuntut kebenaran darinya.

******

Puas. Itu yang saya baca dari reaksi rekan-rekan setelah acara interogasi itu selesai. Saya tetap seperti biasa. Adem ayem.
Apa yang saya rasakan? Saya sendiri tidak mengerti, kenapa saya tidak bisa mengungkapkan kemarahan atau kekesalan seperti rekan-rekan saya tersebut. Saya sendiri tak tahu, apakah yang saya rasakan ini adalah kemarahan.

Saya hanya kecewa pada gadis itu, mungkin seperti itu. Dan mungkin, saya masih menyisakan rasa sayang terhadapnya. Atau mungkin itu hanya suatu sikap yang terkristalisasi dalam diri saya. Saya tahu ia jahat, jahat sekali, tapi saya selalu yakin ia punya sisi baik yang bisa jadi tidak saya miliki. Saya meyakini itu sejak lama.

Saya hanya...
Ah. Apa memang saya yang aneh? Saya harus marah, memang selayaknya begitu. Tapi saya tak pernah tahu, bagaimana caranya, bagaimana bahasanya karena saya tak pernah diajarkan untuk mengungkapkan kemarahan secara gamblang, dengan nada yang tinggi hingga harus menjerit, atau mengeluarkan kata kasar. Apa memang saya yang salah, karena tak bisa seperti itu?


10 November 2011

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi