Saya Harus Belajar Terbuka

Memang melegakan, ketika kita mengatakan secara apa adanya, apa yang benar-benar kita rasakan.

Mungkin begitulah yang saya rasakan. Hari ini, rencananya akan ada rapat koordinasi Yayasan. Saya sudah malas sebenarnya, mengingat teman-teman di tim saya hampir semuanya mengonfirmasi tak bisa datang. Lalu apa artinya sebuah rapat koordinasi kalau hanya diikuti oleh saya, sekretaris, staf fundraising dan seorang anggota tim saya? Ah, rasanya tak akan berbeda pembahasannya dengan apa yang terbahas hari Senin kemarin!  Begitu pikir saya.

Maka, saya baru meninggalkan kantor ketika rapat akan dimulai. Ya Tuhan, saya malas sekali melangkahkan kaki! Saya sempat mengulur waktu untuk sampai di Jalan Rereng Adumanis. Sebenarnya, saya tak mau ditagih macam-macam. Rasanya lelah, ketika saya diburu oleh sesuatu yang belum jelas. Bekerja dengan ritme cepat dan kadang sangat tiba-tiba, serba mendadak. Ah, bukan tipe saya sekali! Ditambah dengan penumpukkan tugas di bahu saya. Lelah. Ketika berada dalam kondisi semacam ini, selalu, saya ingin menangis. Payah! Yah, begitulah saya. Tak bisa menolak, tak bisa mengatakan apapun, nrimo. 

Akhirnya, saya mengirim sebuah pesan singkat pada seorang senior yayasan. Ia tahu kondisi saya selama ini di yayasan. Tak disangka, ia menelepon, menyemangati, memberi rasionalisasi-rasionalisasi pada apa yang saya rasakan. Yah, saya semakin lama sampai di Rereng Adumanis demi mendengar petuahnya.

Huft. Saya memang selalu berpikir, mungkin saya memang harus berjuang sendiri. Sebuah pesan masuk, dari seorang anggota tim yang katanya akan datang. Nyatanya ia tak bisa. Oke, harus saya hadapi sendiri mungkin. Saya harus tetap bersemangat dan tidak bisa seperti ini tapi... tetap saja perasaan malas itu hadir.

Rapat koordinasi dimulai, kami ditanya kabar perkembangan yang sudah dilakukan. Tiba giliran saya. Saya tak tahu harus bicara apa, kelelahan itu benar-benar menumpuk. Hingga akhirnya saya bicara juga, entah dapat kekuatan dari mana. Saya mengatakan sejujurnya apa yang saya rasakan, apa kesulitan saya, apa yang bisa saya lakukan, apa yang saya cita-citakan, apa yang saya pikir bisa mengembangkan yayasan ini yang lama telah mati suri.

Ajaib! Saya merasa lega setelahnya! Saya tak memikirkan apa konsekuensi dari apa yang saya sampaikan. Terserah, saya hanya ingin mereka tahu apa yang saya rasakan.

Mungkin, saya memang harus belajar seperti itu. Mengungkapkan apa yang benar-benar saya rasakan bukan suatu hal yang salah. Saya harus belajar bagaimana menyampaikan kekecewaan saya pada orang lain, saya harus belajar bagaimana mengungkapkan ide-ide saya, saya harus mulai belajar menolak apabila amanah itu tak sanggup saya terima, saya harus belajar bagaimana mengatakan "iya" atau "tidak". Begitulah.

Saya hanya harus belajar terbuka.



11 November 2011

Comments

Adit Purana said…
selalu menyenangkan untuk bisa berbagi.. begitu kan?
Unknown said…
iya, tapi kemarahannya jangan dibagi yaak!

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi