Bersediakah Aku Menikah dengan Diriku?
Pagi itu, selepas shalat
Shubuh, aku menarik lagi selimutku, berusaha menghindari hawa dingin. Seperti
biasa, tenggorokkanku ini tak bisa kompromi maka segera kuambil minyak kayu
putih untuk menghangatkannya, juga untuk meredakan batukku. Kusisipkan earphone dan bergegas memejamkan mata. Ya Allah, aku ingin tidur sebentar saja, tak
apa kan?
Namun pada akhirnya aku
hanya memejamkan mata saja, tidak bisa tidur sepenuhnya. Meskipun telingaku
kusumbat dengan earphone, aku tetap
dapat mendengar apa yang terjadi di sekitarku. Salah seorang rekanku di shelter sibuk mengepaki
barang-barangnya. Namun aku tak berminat berbincang. Udara dingin memaksaku
untuk mempedulikan diriku sendiri saat ini. Batukku tak kunjung berhenti.
Seorang lagi kawanku masuk, mungkin ia kaget dengan apa yang dilihatnya,
kuterka. Kemudian pembicaraan di antara mereka mengalir. Sayup-sayup kudengar.
Tergelitik juga aku ingin mendengar pembicaraan mereka. Tidak, bukan hakmu untuk mendengar, Intan. Maka akupun semakin
merapatkan selimut dengan tubuhku.
“Teteh bilang saya bisa cerita ke Intan
atau Ely, tapi saya butuh orang yang lebih tua yang bisa kasih tau saya harus
bagaimana dengan semua masalah ini…” namaku disebut. Aku jadi menyangsikan diriku.
Harusnya, sebagai seorang
calon sarjana psikologi, aku bisa melakukan sesuatu atas permasalahan si Ibu,
rekanku ini. Setidaknya, dengan sedikit ilmu yang kupelajari beberapa tahun ke
belakang, aku bisa mempraktekkan konseling, tapi aku tidak melakukan apa-apa.
Keberadaanku di shelter ini pun
akhirnya kuharap tak dikaitkan dengan latar belakang pendidikanku. Aku hanya ingin jadi seorang relawan.
Aku memaksakan diri bangun
dan berpura terkejut melihat barang-barang Ibu sudah rapi berjejer di depan
pintu kamar. Ibu akan pergi. Ibu kembali bercerita, mungkin mencoba menjawab
keherananku. Complicated, aku
menyimpulkan dan seperti biasa, aku hanya diam mendengarkan Ibu bercerita,
sesekali kuelus pundaknya. Hingga beberapa saat, Ica, putri si Ibu terbangun.
Lucunya anak ini, selama beberapa kali aku menginap di shelter, aku mengamati kalau setiap kali bangun tidur, Ica tidak
pernah menangis. Ia hanya duduk dan mengucek-ucek matanya. Karena Ibu masih
bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya yang menurutku kurang dapat
disimak oleh Ica, maka aku mendekatinya, memberikan segelas susu yang sudah
diseduhkan bundanya kemudian mengajak Ica bermain di luar. Hanya itu yang bisa
kulakukan, kawan!
“Mba Ica cuci muka dulu ya! Kita mau
jalan-jalan…” ujar Ibu. Jalan-jalan,
kupikir itu pilihan kata yang tepat untuk Ica, padahal yang kutahu, Ibu pergi
untuk waktu yang lama, mencoba mencari penyelesaian atas masalahnya.
“Asyikkk
jalan-jalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!” Ica bersemangat untuk cuci muka. Ia kemudian
mengenakan jaket dan kelomnya. Aku sedih melihat Ica.
“Selamat tinggaaal…!” ucap Ica
tiba-tiba. Aku dan Ely terkejut, tak menyangka Ica akan mengucapkan itu.
“Selamat tinggal? Emang apa artinya,
Ca?” tanyaku.
“Iya, supaya aku bisa kembali lagi ke
sini.” Ica tersenyum. Aku dan Ely juga tersenyum mendengar jawabannya. Ely dipeluknya.
Aku mengajak Ica toast, kemudian ia menggelayuti
tanganku. She knows she will go for a
long time, she knows she will go far away from here. Kupikir seperti itu
akhirnya.
Sepanjang pagi ini,
setelah kepergian Ica dan Ibu, aku memilih untuk diam. Begitupun Ely, seolah
kami sepakat untuk tidak membahas ini. Namun aku berpikir, sulit sekali menjadi
manusia dewasa. Pelik. Aku bahkan
tiba-tiba ingin memilih, kalaupun boleh memilih, aku memilih untuk menjadi
anak-anak saja.
Kejadian pagi ini
menyadarkanku bahwa kehidupan akan berjalan atasku sebentar lagi. Aku akan
tumbuh menjadi dewasa; bekerja, bertemu dan bekerja sama dengan lebih banyak
orang baru dan tentu saja akan lebih serius dibanding yang selama ini kujalani.
Aku akan memilih pasangan hidup dan menikah yang tentu saja bukan persoalan
mudah dan aku akan memiliki anak. Pikiran-pikiran itu mengingatkanku akan buku
yang sempat kubaca, pada seuntai kalimat yang terus membayang…
Bersediakah
aku menikah dengan diriku?
Suatu hubungan, baik
hubungan pekerjaan maupun pernikahan, bukan hanya dibangun atas dasar
penyesuaian diri dengan orang lain. Bagiku bukan begitu. Bagiku, hubungan
seperti itu hanya akan membawa kekecewaan. Pekerjaan akan berakhir dengan rasa
bosan, jenuh. Pernikahan akan berakhir dengan perceraian yang menyakitkan.
Namun menurutku, kita sepatutnya memiliki penerimaan diri yang kuat atas diri
kita. Kita seringkali terlalu banyak menuntut orang lain menjadi seperti apa
yang kita mau dan seringkali ini membuat orang lain merasa tidak nyaman.
Pernahkah terpikir, maukah kita menikah dengan diri kita? Dengan sederetan
sifat yang kita miliki? Dengan keadaan diri kita? Dengan kelebihan dan
kekurangannya? Apakah kita akan hidup nyaman dengan diri kita sendiri? Atau
maukah kita menikahi orang yang mirip dengan kita? Mirip dari setiap sisi. Atau
maukah kita berteman dan menjalin relasi dengan diri kita?
Ketika
kau bertanya hal itu padaku, kawan… aku ragu untuk menjawab. Sulit, rasanya
pertanyaan itu sungguh sulit kujawab dan jawaban yang paling memungkinkan
buatku adalah mungkin saja, sembari
aku menggaruk ujung alisku. Saat kita pun ternyata tak mau berkawan dengan diri
kita sendiri, atau tak mau mencintai diri kita sepenuh hati, maka siapakah
gerangan yang akan mau berkawan dengan kita?
Wallahua’lam
bishshawaab.
Kamis, 30 Desember 2010
Sepulang kembali ke kamarku tercinta.
Comments