cerita tentang cinta pertama
Kenangan-kenangan akan cinta
pertama akan tetap tinggal di sana, dan tampaknya belum mau pergi…
Ah, apa yang lebih menyenangkan
dari membahas sesuatu yang bersifat merah
jambu? Tiba-tiba saja, saya kembali menyukainya, padahal saya sudah lewat
dua tahun dari kepala dua! Sudah tidak pantas rasanya membahas sesuatu yang
acap terjadi pada masa penuh badai alias remaja. Saya sedang galau tampaknya, kalau meminjam istilah
anak muda sekarang.
Malam itu, saya dan teman-teman
SMA pergi menuju studio foto. Biasalah, acara kumpul-kumpul selalu dianggap
belum lengkap tanpa memasang gaya ter-oke untuk kemudian, jepret. Saya sudah melihat sosoknya beberapa meter sebelum sampai
lokasi, ia sedang di parkiran studio foto, bersiap pergi. Widiww… ada dia, bo! Sudah lama memang kami tidak bertemu. Kabar
yang saya tahu, dia sudah lulus kuliah di politeknik, dan sudah bepergian ke
beberapa kota dalam rangka bekerja. Beberapa bulan lalu ia juga sempat
mengubungi minta dicarikan kamar kosan untuk adiknya yang kini kuliah di UPI. Well, episode-episode masa lalu itu
langsung terpapar.
Kawan, ia adalah seseorang yang
di masa putih-biru sempat membuat jantung saya kembang-kempis. Hahaha, silakan
tertawa! Sayapun sebenarnya ingin tertawa saat ini-dan memang saya tertawa!
Maka, saya mencuri-curi waktu untuk menulis cerita yang tidak penting ini,
sekedar ingin membaginya denganmu, kawan.
Kalau dulu kau mengenal saya,
mungkin kau akan tertawa, sama seperti apa yang dilakukan teman-teman SMP saya.
Dulu saya terkenal galak sekaligus cengeng. Sebagai ketua kelas selama hampir
tiga tahun, rasanya tak pernah terlewat satu haripun tanpa marah-marah di depan
kelas yang dilanjutkan dengan rasa lelah setelah marah-marah, dan diakhiri
dengan curhatan yang dilakukan dengan hampir terisak. Ckck, saya sendiri tak percaya
dulu saya seperti itu, kalau teman-teman SMP tidak menceritakannya kembali pada
saya, parahnya sambil tertawa terbahak-bahak. Saya percaya dulu saya seperti
itik buruk rupa (kalau sekarang? Setidaknya saya mensyukuri), dengan jerawat di
sana-sini dan wajah yang sangat berminyak. Rambut yang ditata sekenanya, cara
berjalan yang tidak feminim, rok yang melebihi lutut… ah, seandainya sayapun
mendapat nilai yang jelek dan bukan adik dari ketua OSIS sebelumnya, mungkin
saya juga tidak akan menjadi anak yang beken
dan menjadi ketua kelas berturut-turut.
Mungkin karena alasan itulah,
mengapa tak ada seorang teman laki-lakipun yang menaruh hati pada saya. Mungkin
karena fisik saya yang kalah jauh dengan teman-teman perempuan lain, mungkin
pula lantaran saya galak jadi mereka takut. Tapi saya mensyukurinya, apalagi
setelah menggunakan jilbab di akhir masa putih-biru. Saya memang tak memikirkan
untuk punya pacar.
Lalu sosok itu hadir begitu saja,
tiba-tiba dan tanpa permisi mengganggu hari-hari saya. Ah, dia memang
pengganggu dengan segenap tingkah laku jahilnya pada saya. Katanya, ia ingin
seperti Indra atau Tyo, sahabat-sahabat saya, yang memang karena dekatnya
sering mengganggui saya. Saya tak pernah menggubris orang ini, tak pernah
menjadi teman apalagi sahabat. Tidak. Tapi ia hadir di sana, di hati saya,
bertahun-tahun. Tuhan, terima kasih tak pernah membiarkan saya mengenalnya, tak
pernah membiarkan saya terlibat pembicaraan dengannya karena yang saya tahu ia
menyimpan rasa itu pada saya sampai SMA. Lantaran saya yang tidak bisa bersikap
manis, atau belajar terbuka terhadapnya, pada akhirnya ia memiliki pacar.
Saya lega sekali saat itu.
Harusnya, saya menyesali atau setidaknya merutukki diri saya sendiri karena tak
pernah mau mencoba memiliki pasangan. Tapi,
perasaan akan kesadaran bahwa ada seseorang yang membuat kehadiran saya
bermakna, rasanya sudah cukup bagi saya. Lebih dari cukup bahkan.
Agak berlebihan memang kalau saya menuliskan tentang ini. Namun rasanya, ketika saya memutuskan untuk menulis, sudah tak ada lagi beban perasaan yang bergelayut. Dulu memang lelaki itu sempat singgah beberapa lama di sana, di satu ruang yang apik tak pernah diketahui orang lain. Dulu memang, jantung saya kembang kempis meskipun hanya melihat sosoknya dari jauh. Dulu memang saya sempat mengagumi sosoknya yang rajin ke masjid, meskipun bukan anak rohis ataupun setipe dengan istilah ikhwan yang saya tahu sekarang. Ia hanya anak biasa, hanya saja memiliki minat lebih pada olahraga basket. Ia hanya anak biasa yang memiliki geng seperti remaja 'nanggung' lain. Ia hanya anak biasa yang nilai-nilai pelajarannya rata-rata. Tapi saya menaruh simpati pada kebiasaannya shalat di masjid dan menaruh hormat pada orang tuanya.
Ah, sekarang saya justru ingin menertawai diri saya sendiri kalau mengingatnya. Kalau mengingat betapa kami dulu sama-sama saling memendam rasa dan tak pernah coba mengungkapkannya, baik dalam ucapan maupun tingkah laku. Ya, mungkin hanya sebatas itu saja yang bisa kami lakukan.
Hm, kenangan-kenangan akan
culunnya masa-masa sekolah menengah saya muncul malam itu, ketika saya kembali
bertemu dengannya. Namun tak seperti dahulu, saya menyapanya dan berbasa-basi
sedikit. Pada akhirnya, kami memang berteman saja dan itu membuat segalanya
lebih baik. Dan perasaan itu sudah tersimpan jauh di sana, kalaupun muncul, itu bukan lagi dalam balutan sensasi merah jambu.
6 November 2011
Comments
hehehe... mungkin tiap orangpun punya, cuma kita aja ga tau