Ini Hari Pahlawan, Saya Tahu

Setiap orang, siapapun itu, layak kita sebut pahlawan.

Hmm, sebenarnya saya agak bingung bagaimana membuat pembuka untuk 'celotehan' ini, namun tiba-tiba... entah dari mana datangnya, begitu saja saya menuliskan setiap orang, siapapun itu, layak kita sebut pahlawan.

Hari ini, secara kebetulan saya bangun cukup pagi. Dipaksa oleh keterkejutan saya lantaran ketiduran dan belum menyelesaikan sisa tugas, saya tahan-tahan rasa kantuk yang benar-benar tak tertahan. Dua hari ini memang saya tidur lepas tengah malam, yang diawali dengan itu tadi: ketiduran. Maka, sebelum muadzin memanggil-manggil untuk shalat Subuh, saya sudah anteng duduk di hadapan teman setia saya Kirakira, sebuah nama yang saya berikan bagi netbook saya.

Pahlawan. Saya berkutat dengan berlembar-lembar tulisan karya teman-teman. Aih, pahlawan! Siapakah gerangan orang yang layak disebut pahlawan? Ah, saya tidak tahu! Kalaupun memang pahlawan dapat saya katakan secara sekenanya sebagai seseorang yang memiliki jasa atau memberi kemanfaatan bagi kita -dalam kasus ini adalah saya senidiri- maka banyak sekali rupanya pahlawan di sekitar saya! Hm, mungkin lebih baik saya tetap dalam pandangan saya tersebut sehingga saya bisa lebih arif dan mensyukuri kebaikan mereka, yang dikirim Allah untuk saya.

**********

Ah, ketika mengerjakan sisa tugas yang membuat saya berkutat dengan kata pahlawan itu, saya galau. Galau lantaran tulisan saya yang bernafaskan pahlawan tidak juga selesai sampai tenggat yang telah ditetapkan. Hm, ya sudahlah, mungkin memang saatnya mengistirahatkan pikiran dulu. Terlalu banyak hal yang tercecer dan ingin dikumpulkan dalam bentuk tulisan berbau pahlawan, yang membuat synaps saya terlilit (hanya imajinasi).

**********

Hari ini, kantor memang lengang sehingga saya bisa dengan leluasa menyelesaikan beberapa tugas, termasuk tugas menyunting tulisan-tulisan pahlawan. Karena kebetulan tidak sedang kedapatan jadwal piket, maka sore itu saya dan seorang kawan merehatkan pikiran sejenak untuk menonton film. Hm, rupanya Allah masih menginginkan saya untuk bergelut lagi dengan kisah yang berkarakter heroistis. Saya 'dipaksa' untuk menikmati lagi satu sajian heroistis, tentang seorang anak yang berayah seorang bajing loncat. Tentang seorang ayah yang menjalani takdir sebagai seorang bajing loncat, ditakuti, dibenci, diburu, dan dianggap tak manusiawi. Namun, di balik hitam harinya, ia telah memberikan bekal bagi putranya, bekal tentang arti keberanian, bekal tentang arti perjuangan dan bekal tentang bagaimana memiliki jiwa pahlawan. Di tengah-tengah saya menikmati tontonan tersebut, saya tergelitik untuk menuliskan sesuatu, tentang apa yang kita sebut pahlawan.

**********

Saya jadi teringat seseorang yang pernah menjalani satu bagian takdir yang bagi saya tak mudah. Menjadi wanita penghibur itu tak mudah, setidaknya bagi seseorang yang saya ceritakan ini. Setahun bahkan lebih ia menjalani 'profesi'nya tersebut. Ia bilang, hidupnya sudah hancur saat itu. Mengonsumsi obat seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya, terutama ketika banyak persoalan yang ia hadapi. Ia hancur, dengan gelimangan harta hasil pemberian pengguna jasanya.

Kini, ia menyibukkan diri dengan mengelola bengkel miliknya. Ia telah meninggalkan sisi hidupnya yang hitam. Memulai kembali untuk menyambung kehidupan dari titik terendah: diri yang sudah hina, harta yang sudah tak ada, keterampilan tak ada lantaran pendidikan dasar tak tuntas ia tempuh, serta sakit yang dibawanya.

Saya menemuinya beberapa bulan lalu, tengah menjagai kakaknya yang tengah terbaring sakit karena mengalami sakit yang sama seperti dirinya. Kakaknya itu kurus, sangat kurus apabila harus dibandingkan dengan saya. Wajah kakaknya sudah tak lagi berseri, padahal usianya baru diawal tiga puluh, dengan bekas gigitan nyamuk yang tak hilang bertahun-tahun.

Ia di sana, tertidur di lantai saat saya menemuinya di rumah sakit, menunggui kakaknya. Dan ia terbangun ketika mengetahui kedatangan saya.

"Beberapa hari ini bengkelnya nggak buka."
"Lho kenapa?" tanya saya.
"Ya ini, teteh harus ada yang jagain." Hm, terbayang bagi saya. Penghasilan kawan saya ini tak seberapa banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya yang terdiri atas ibu, kakaknya yang sedang sakit itu, dan dua orang anak kakaknya yang kini turut menjadi tanggungannya. Terbayang, bagaimana ia harus menanggung semuanya, termasuk biaya rumah sakit sementara ia tidak membuka bengkelnya beberapa hari?

"Kemarin habis dari kota, ambil darah di PMI. Ke sana naik ojek, habis tujuh puluh ribu buat ongkos ojeknya." Ujarnya lagi.
"Wah? Mahal amat?" celetuk saya.
"Ya gitulah. Mau gimana lagi? Hari inipun harus ambil darah lagi di kota. Kamu tau nggak, kalau naik kendaran umum, arahnya ke mana? Naik apa aja?" Saya lalu menjelaskan rute yang harus ia tempuh. Kebetulan, dulu sekolah saya dekat-dekat PMI.

Hening. Saya tak tahu harus mengobrol apa lagi.

"Kamu takut?" saya bertanya.
"Ya, kalau liat kondisi teteh sih saya jadi takut juga." Ia berjalan membawakan makan untuk kakaknya. Menanyakan apakah kakaknya tersebut akan makan sekarang. Tak lama, mereka bercanda, sepertinya menikmati hidup. Sederhana sekali pemandangan itu bagi saya.

"Mam, cari makan yuk!" Ajaknya pada Hamam, putra kakaknya. Sembari mengantar saya pulang, ia menggamit lengan Hamam yang masih duduk di sekolah dasar itu.

**********

Saya melihatnya sebagai pahlawan, pahlawan bagi keluarganya. Ia memang tak mengangkat senjata atau membela negara. Ia hanya seorang perempuan muda yang sedang mengelola sebuah bengkel yang ia bangun. Ia sakit dan masih mengurusi kakaknya yang sakit. Ia tak berkecukupan, namun ia masih mau menjajani keponakannya dan membantu membayar sekolahnya. Ia memang pernah hina, tapi kini ia berusaha mengangkat derajat keluarganya dari usaha yang halal.

Mungkin, di luar sanapun ada orang-orang seperti kawan saya ini. Seseorang yang sempat menjadi noda hitam bagi masyarakat, namun tiba-tiba bangkit, mencoba menghapus noda hitam tersebut, dan menebar kebaikan. Mungkin orang-orang seperti itupun layak disebut pahlawan, yang tak pernah mengenal bagaimana cara agar dapat dianugerahi bintang jasa. Mungkin masa lalunya pernah kelam, tapi bukankah untuk menjadi pahlawan seseorang tak hanya memerlukan kebeningan hati dan tekad yang kuat saja, tapi juga ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik dan memberikan kebaikan?

**********

Ini hari pahlawan, saya tahu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, setiap orang berhak menjadi pahlawan, berhak menjadi individu yang berarti bagi orang lain, bahkan ketika orang tersebut pernah menjadi penjahat sekalipun. Dan sering kali, kita tak menyadarinya karena orang-orang tersebutpun tak pernah menyadari keberartiannya bagi orang lain, di balik kisahnya yang pernah hitam.

Ini hari pahlawan, saya tahu. Dan pahlawan, seringkali akan terlupa oleh waktu, namun jasanya akan tetap terasa. Ini hari pahlawan, saya tahu. Dan pahlawan, akan selalu ada di sekitar kita, tanpa pernah kita mencoba untuk menyadari hal-hal baik, kecil maupun besar, yang ia berikan pada kita.

**********




Selamat menghayati Hari Pahlawan, sahabat....
10 November 2011
12.22 am

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi