Pulang

Kidang Kencana, 8

Angkutan kota berwarna biru menyala yang menghubungkan Jatibarang dengan Indramayu berhenti tepat di Simpang Lima. Udara panas khas pesisir langsung menyengat begitu aku turun dari dalam angkutan yang penuh sesak itu. Di hadapanku, berdiri patung buah mangga cengkir, buah khas kabupaten tempat aku dilahirkan. Inilah pintu masuk ke jantung Indramayu.

Di depan gedung SMAN 1 Indramayu, aku berdiri menunggu angkutan kota 04. Beruntung, aku tak perlu menunggu terlalu lama. Betul kiranya, seperti yang kutulis dalam tulisanku sebelum ini, perjalanan pulangku kali ini, seperti memunguti lagi kenangan. Akhir-akhir ini aku memang jarang pulang. Selama enam bulan lalu, aku utuh jarang pulang karena jadwalku meliput jatuh di hari Sabtu, ditambah Mamah dan adikku lebih sering menghabiskan waktu di Depok atau Sukabumi kalau adikku tengah libur sekolah. Jadi memang tak ada gunanya pulang kalau mamah dan Dede tak ada di rumah, tho?

Semalam, sewaktu aku baru pulang dari Ciwidey, suara BoA mengalun merdu dari ponselku. Mamah menelepon. Aku diberinya kabar tentang adik semata wayangku yang malam itu masuk rumah sakit. Kalau saja bis Bandung-Indramayu beroperasi 24 jam, tentu sudah kupanggul ranselku menuju terminal meski tubuhku masih menyisakan bau belerang. Namun apa daya? Akhirnya baru pagi tadi aku bisa pulang, setelah menyelesaikan tugas kantorku dulu. Dan disinilah aku, duduk di angkutan kota dengan gelagat tak sabar. Aku ingin cepat sampai di rumah sakit.

Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu. Aku sudah sampai di muka pintu. Tiga tahun lalu, ya tepat tiga tahun lalu, aku berdiri di tempat yang sama. Kembali ke Indramayu padahal baru saja melangkah di Bandung. Tiga tahun lalu, bapakku yang dirawat di sini. Bangunan rumah sakit ini tak banyak berubah. Masih serupa seperti tiga tahun lalu. Aku melewati koridor rumah sakit. Tampak orang-orang yang tengah duduk di sisi koridor, beberapa ada yang rebah, menggulung diri dengan kain sarung, terlelap. Yang lain, berjalan hilir mudik membawa termos air panas, bantal dan rupa-rupa barang bawaan lainnya. Rumah sakit daerah, sepertinya punya ciri khas seperti itu.

Kidang Kencana, paviliun tempat adikku dirawat itu, terletak di pojok, agak di belakang. Oo Tuhan... bukankah paviliun ini adalah paviliun tempat Bapak dulu dirawat? Aku bergumam sendiri dalam hati. Seketika, bayang bapak muncul di hadapan.

Malam itu aku tengah menjagai Bapak. Di kejauhan, terdengar hingar bingar dari perhelatan Pameran Pembangunan Indramayu, sebuah event tahunan menyambut hari jadi Kabupaten Indramayu. Bapak sudah dirawat beberapa hari di ruangan kecil bercat hijau itu dan kondisinya masih belum membaik. Aku duduk di sisinya, memandangi wajahnya yang layu. Bertahun lalu, bahkan Bapak memiliki tubuh yang kekar, tinggi dan besar. Namun malam itu, semua dayanya seolah dicuri waktu. Bapak terbaring dengan juntai-juntai infus yang terpasang di telapak tangannya.

"Kamu mirip anak saya..." ujarnya pelan, menyadarkanku dari lamunanku tentang bapak. Kugenggam tangan Bapak sembari mencoba tersenyum. Ingin rasanya kukatakan kalau aku adalah anaknya, namun lidahku mendadak kelu, hatiku bahkan seolah membeku sementara air mata sekuat tenaga kutahan agar tak jatuh di hadapan Bapak.
"Anak saya itu... dia kuliah di Bandung... mirip mukanya dengan kamu..." genggaman tanganku makin erat, namun tak lama sebab aku tak dapat menahan lagi bendungan air mataku. Aku pamit keluar. Di kursi tunggu paviliun, aku menangis sejadi-jadinya malam itu.

Ah, masa lalu.

Kubuka pintu kamar nomor 8, adikku terbaring di sana ditemani Mak Yati, tetangga kami. Kutanya di mana Mamah. Mak Yati yang menjawab, katanya Mamah sedang membeli makan untuk kami. Kusapa Dede, adikku, kutanya kenapa ia sampai masuk rumah sakit. Kemudian Dede bercerita jenaka. Katanya, semalam ia panas kemudian jatuh di lantai dan ketika bangun ia sendiri tak tahu sedang ada di ranjang rumah sakit, hilang ingatan. Yang perlu kita tahu adalah, ceritanya itu adalah reyakasa. Kami tertawa mendengar cerita Dede. Meski sedang terbaring, ia masih bisa bercanda dan berimajinasi.

Aku membawakannya buku "A to Z by Request", buku yang sebenarnya kubeli untuk diriku sendiri. Namun sepertinya Dede pasti bosan ada di rumah sakit tanpa buku dan internet. Jadi kuberikan padanya buku itu. Ia langsung berkomentar, "Apa ini?! Penerbit macam apa ini? Dede bakal lapor ke polisi! Harusnya nama Dede ada di sini, kenapa nggak ada?!" Dede obsesi jadi penulis, memang. Aku dan Mamah tertawa saja sambil geleng-geleng kepala. Kubilang, nanti tahun depan kalau Dede dapat rezeki kuliah di Bandung, ia bisa bergabung di Reading Lights, komunitas yang menulis buku itu.

Kulirik ada sebuah buku di samping Dede, buku yang beberapa bulan lalu juga kubelikan untuknya. Judulnya "The Faults in Our Stars". Aku tak percaya kalau ia belum mengkhatamkan buku itu karena biasanya, ia bisa menghabiskan sebuah buku dalam waktu satu hari.
"Di buku itu, tokohnya juga sakit, Kak... Sakit paru-paru." Dede menjawab keherananku. Hatiku bergetar seketika. Mungkin, Dede ingin menguatkan hatinya, maka ia membaca ulang buku itu dan menyimpannya dekat di sisi tempat tidur.

Menjelang malam, ia menikmati cokelat putih kesukaannya. Aku rebah di sisinya.
"Kak, foto dong..." aku meraih ponselku, mengaktifkan kamera dan mengambil gambar kami berdua yang tengah tidur bersisian. Kami tertawa melihat hasilnya yang kurang bagus. Ketika tak sengaja kusentuh pergelangan tangannya, aku terkejut karena badannya panas sekali. Ia tahu perubahan reaksiku, lalu berkata,
"Ini paling baru 39 derajat, Kak... biasa juga begini. Kalau sampai naik 1 derajat, waaaah... Dede kayaknya udah begini deh!" katanya sembari bergoyang menggerakkan badan, membuat ranjang itu ikut bergoyang. Kami tertawa lagi, meski hati kami sama-sama kelabu.

Tak lama, ia tertidur. Aku juga mencoba tidur di lantai beralas selimut, sementara Mamah tidur di sofa. Pikiranku melayang menembus langit-langit.

Kau tahu apa yang paling kutakuti?

Aku selalu takut pulang dan menghadapi situasi seperti ini.



-ketika pulang kemarin.
Oktober.
Bulan yang sama, meriahnya pesta hari jadi kota yang sama, juga paviliun yang sama.



Comments

Nurul Noe said…
ini bisa dikirim ke event #MyDream.. :)
Risma Hikmawati said…
Hmm mbak,, smoga dedekmu cepat sembuh ;)
Unknown said…
mangga cengkir indramayu :)

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi