Ketika Angkot Jadi Gratis

Dengan malas, aku keluar dari kosan. Sudah pukul 08.00 lebih beberapa menit. Mungkin begitulah derita anak kosan, yang belum habis bulan sudah habis uang jajan. Rencananya, pagi itu aku akan pergi ke bank. Seingatku, aku masih punya simpanan di bank, jadi lebih baik kuambil untuk menyambung hidup dan menjalankan kembali usaha pulsaku yang seminggu ini terbengkalai. Di tas, tersisa uang Rp 15.000,- cukup untuk ongkos kendaraan ke bank, Masjid Salman, kemudian ke kantor dan kupikir masih cukup untuk membeli sepiring sarapan.

Kulangkahkan kaki sembari mengecek twitter. Dari timeline aku dapat informasi kalau hari ini di Bandung akan dilangsungkan Angkot Day, di mana pada hari ini, angkutan kota trayek Kalapa-Dago (PP) akan dibebas-biayakan alias gratis. Wah, kebetulan sekali! Bank yang kutuju letaknya di Dago, ke Masjid Salman-pun angkutannya adalah Kalapa-Dago. Maka aku tersenyum senang.

Dari kosanku menuju bank swasta itu, tak ada angkot Kalapa-Dago. Yang ada hanya angkot Stasiun Hall-Dago. Jadi aku harus membayar tarif seperti biasa, Rp 2000,-. Setelah beberapa lembar uang kuambil di bank, kulanjutkan menuju Masjid Salman, yang terletak satu kawasan dengan ITB di Jalan Ganesha sana. Kebetulan, angkot Kalapa-Dago yang lewat. Hap! Aku duduk manis di dalam angkot. 

Suasana dalam angkot hari ini berbeda sekali. Di samping sopir duduk manis seorang Teteh bersyal oranye, tersenyum ketika aku menaiki angkot. Di belakang sopir, ada dua orang, laki-laki dan perempuan, juga dengan syal oranye, mengulurkan selembar kuesioner untuk kuisi. Rupanya mereka adalah para relawan yang terlibat dalam gelaran Angkot Day hari ini. Angkot berjalan dengan kecepatan sedang, tidak ugal-ugalan seperti biasa. Ketika hendak berhentipun gesekan ban ke badan jalan terasa halus sekali. Angkot tidak ngetem menunggu penumpang dan hal yang menyita perhatianku adalah, ketika seorang penumpang turun, maka si sopir angkot akan berkata "terima kasih"! Wah!

Di depan Rumah Sakit St. Borromeus, aku meminta Pak Sopir menghentikan laju angkot. Kuucapkan terima kasih dan iapun mengucapkan hal serupa. Kulangkahkan kaki menuju Masjid Salman, mengisi deposit pulsa-ku yang habis dan membeli dua bungkus kacang goreng seharga Rp 1000,-. Kemudian aku berbelok masuk ke Kantin Salman, mengambil segelas jus alpukat dan memasukkan dua buah es batu ke dalamnya. Cukup merogoh Rp 2.500,- untuk meneguk jus alpukat yang manis-gurih tersebut.

Jam sudah menunjuk pukul 09.00, aku harus segera ke kantor. Kulangkahkan kakiku kembali ke Jalan Ganesha, menyeberang tepat di depan Borromeus, menunggu angkot Kalapa-Dago. Sekelompok anak muda turut naik ke dalam angkot. Mereka menyiapkan uang untuk membayar ongkos, sebelum akhirnya seorang ibu paruh baya mengatakan,
"Hari ini angkotnya gratis! Sampe jam 7 malem gratis!!" kemudian ia tersenyum. Kelompok anak muda seolah tak percaya, sampai tim relawan yang mengawasi Angkot Day menjelaskan hal serupa. 
"Ah! Asyik bener! Coba kalau tiap hari kayak gini!" seloroh salah satu dari mereka, yang disambut tawa dari penumpang lainnya. Pak Sopir tersenyum saja mendengar keriuhan di angkotnya. Aku sendiri sibuk mengamini kata-kata anak muda itu. Nasib angkoters macam aku pasti makmur sejahtera kalau itu sampai terjadi.

Aih, Bandung. Kota ini memang kadang kala ajaib. Setelah gagasan penyewaan sepeda, kini Angkot Day muncul di Bandung dan entah gagasan ajaib apalagi yang akan lahir di bumi parahyangan. Angkot sebagai sarana transportasi umum selayaknya jadi seperti ini. Bukan gratisnya, tapi kenyamanan yang dihadirkan di dalam ruang-ruang angkot yang kecil. Angkot yang tidak ngetem lama, tidak berjejalan, tidak saling kebut dan aman dari tindak kriminal di jalanan... Aih, mungkinkah kelak sopir angkot digaji dan tidak lagi mengandalkan jumlah tarikan yang kian hari kian sedikit sementara premium semakin melonjak harganya?

Mengembalikan semangat menggunakan transportasi umum, sepertinya itu ide yang brilian di antara maraknya kredit motor tanpa uang muka dan cicilan yang sebegitu ringan. Mengembalikan semangat menggunakan transportasi umum macam angkot, sepertinya akan jauh lebih menekan pengeluaran pemerintah, ketimbang harus membangun sarana transportasi baru macam busway, monorel dan sebagainya yang biayanya tentu tidak sedikit. Mengembalikan semangat menggunakan angkot, tentunya juga bisa jadi alternatif mengurangi kemacetan yang sudah merajalela di mana-mana. Meski, bukan pekerjaan yang mudah pula membenahi kemampuan saling menghormati dan menghargai antara penumpang dan sopir angkot, antara sopir angkot dan pengguna jalan lainnya.

Selamat bekerja, Pak Walikota! Kurasa, aku mulai optimis Bandung Juara!



Jumat berkah lainnya, 20 September 2013
Empat hari setelah Ridwan Kamil dilantik.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi