Gerobak Tahu Sumedang

Kawan, kalau sesekali kamu bertandang ke Indramayu, coba perhatikan ini. Saat bis mulai berjalan perlahan setelah pertigaan dengan patung perahu itu, cobalah alihkan pandanganmu sesaat ke luar jendela di sisi kanan. Perhatikan baik-baik ada apa saja di trotoar Jalan Sudirman itu. Mungkin, kamu bisa menemukan satu gerobak yang menjual tahu Sumedang. Tentang gerobak tahu Sumedang itulah, aku akan bercerita.

Suatu waktu, saat aku pulang ke rumah, kakak mengajakku untuk pergi jalan-jalan. Kami rindu jajanan-jajanan yang kadang sulit kami temui di tempat perantauan kami. Maka, sore itu, setelah dapat beberapa jenis jajanan, kami berdua mampir di sebuah gerobak tahu Sumedang, yang letaknya di Jalan Sudirman. Tahu Sumedang, seperti namanya, memang bukan jajanan khas Indramayu tapi itu adalah makanan favoritku.

Kami menunggu giliran untuk dilayani. Sembari menunggu, aku dan kakak berdiskusi tentang berapa banyak tahu Sumedang yang akan kami beli. Mata kami berdua langsung tertuju pada selembar daftar harga yang menggeletak. Ini dia foto yang sempat diambil kakakku.

Coba perhatikan!




Kami saling berpandangan membaca daftar harga itu. "Maaf, saya TULI tidak Dengar". Begitu yang kami baca pertama kali di daftar harga. Wah!

Aku dan kakakku sebetulnya mengetahui kalau sejak lama, penjual tahu di situ adalah penyandang tunarungu. Namun ketika membaca itu aku jadi salut. Mengapa mereka harus meminta maaf terlebih dahulu?

Sore itu, seorang bapak juga tengah mengantri membeli tahu Sumedang. Ketika tiba gilirannya, ia mengatakan jumlah pesanannya. Penjual tahu tersebut tidak memperhatikan, asyik dengan apa yang sedang dikerjakannya. Bapak itu berkata lagi dengan nada suara yang lebih tinggi, tetap, penjual tahu tidak langsung tanggap. Kemudian kakakku menunjuk daftar harga yang tengah kami baca. Barulah si bapak tersebut mafhum. Ditepuknya pundak penjual tahu, lalu menunjuk daftar harga. Penjual tahu mengangguk, lalu gesit melayani pesanan bapak tersebut.

Melihat interaksi itu, aku tersenyum. Aku merasa senang, karena komunikasi itu akhirnya berhasil.

Ketika pesananku juga sudah dilayani, aku dan kakak berjalan menuju becak yang menunggu kami. Aku sempat menoleh pada gerobak tahu Sumedang itu, kulihat dua orang penjual tahu itu sedang melempar canda dan tertawa. Ah, aku suka melihatnya.

"Tan, kayaknya dari dulu, yang jualan tahu di situ tunarungu ya..." Kakakku membuka pembicaraan. Aku mengangguk, masih menikmati sketsa yang kulihat tadi.
"Salut ya, sama yang bisa memberdayakan mereka gitu..." Ujarnya lagi. Aku tertegun dan mulai berpikir.
"Dan nggak banyak juga yang bisa berdaya kayak gitu..." lanjutnya.

Benar juga apa kata kakakku. Tak banyak orang yang peduli dan akhirnya membantu teman-teman penyandang disabilitas untuk berdaya. Di kampusku, ada 1 jurusan, namanya Jurusan Pendidikan Luar Biasa, tempat bagi mereka yang diharapkan bisa mengajari teman-teman penyandang disabilitas untuk berdaya. Di jurusan itu, penyandang disabilitas juga bisa ikut proses pendidikan. Bahkan ada dosen yang juga penyandang disabilitas. Tapi berapa banyak yang beruntung seperti itu?

Aku jadi ingat Maria. Gadis berkerudung yang kutemui kala SMA. Ia belajar di sebuah LSB di Indramayu. Kami ikut sebuah workshop yang bercerita kalau setiap anak punya hak yang sama. Tapi Maria, saat itu tak pernah diajak bicara oleh kami, para peserta yang lain. Catatan tentang Maria, bisa dibaca di sini.

Aku juga jadi ingat sesuatu. Kalau teman-teman tinggal di Bandung dan pernah mampir ke salah satu toko buku di Jalan Merdeka, mungkin juga pernah melihat seorang perempuan tunagrahita. Hampir setiap hari, perempuan ini berdiri tegap di depan gerbang masuk, dengan sebuah tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya ia tengadahkan berharap ada yang mau berbagi rezeki.

Seperti siang tadi, sewaktu sibuk membuat tweet dengan hashtag #HariDisabilitas, aku mendapati sebuah berkas menggeletak. Seorang perempuan tunarungu, tunawicara dan mengalami kelumpuhan sekaligus, mengalami pelecehan seksual.

Ah... di antara sedikit yang bisa berdaya, di luar sana, banyak sekali yang perlu dibantu agar bisa berdaya dan tidak dilecehkan, oleh kita yang terkadang menganggap diri paling sempurna.

Dan bukankah, setiap manusia diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan?



*catatan untuk diri sendiri, yang kadang belum peduli.





Comments

Unknown said…
makasih, mak... :D
Ria Rochma said…
saya mengajar di sekolah inklusi yang menerima 24 siswa berkebutuhan khusus. dan bahagia rasanya jika melihat mereka mampu mengembangkan kemampuan diri :)
Unknown said…
waah, mba Rochma... bolehkah sy dengar ceritanya? Pasti sangat menarik yaaa... *jadi penasaran*

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi