Berjalan Lagi, Berjalan Terus. Terus Saja!

Siang itu kuputuskan untuk berjalan lagi. Sejak kemarin, kegiatanku tak jauh dari kamar kosan. Agak penat sebenarnya, jadi kupikir ada baiknya kalau aku menengok matahari. Selepas shalat dzuhur dan melahap makan siang, aku meninggalkan kosan, menyusuri lagi Wastukancana-Braga-Naripan hingga Banceuy. Kakak keduaku, yang suka kopi itu, beberapa menit yang lalu mengirim pesan minta dibelikan kopi Aroma. Katanya, ingin membekali suaminya yang akhir bulan nanti terbang ke Belanda. Pastinya, ia juga menitip untuk dinikmatinya sendiri di rumah.

Beberapa hari yang lalu, aku juga berurusan dengan kopi Aroma yang membuatku melakukan perjalanan pagi hari menyusuri rute yang serupa dengan hari ini. Yang berbeda dengan perjalananku ke Aroma tempo hari adalah kali ini aku berjalan kaki di siang bolong dan berjalan di trotoar sebelah kiri. Selain itu, perbedaan lainnya adalah aku menggunakan jaket dan sandal crocs bukan sandal gunung. Taspun kupakai tas oranye kesayanganku, bukan eiger. Sudahlah, tampaknya tak begitu penting untuk dibahas.

Di Balai Kota Bandung, suasananya ramai. Ada Paskibra yang sedang berlatih PBB. Ada juga yang nongkrong dan mengobrol di selasarnya, ada pula yang berfoto di antara pepohonan, atau bercanda di antara patung Dewi Sartika. Tak lupa, ada banyak spanduk yang dipasang di pagar-pagar yang turut membuat Balai Kota semarak. Ya, tentu saja spanduk itu memampang foto duet antara Kang Emil (Ridwan Kamil, red) dan Mang Oded (Oded M. Danial, red) yang Senin (16/9) lalu dilantik sebagai orang nomor 1 dan nomor 2 di Kota Kembang.

Aku menyeberang menuju Braga. Di sisi kiriku menjulang bangunan Bank Indonesia. Aih, tak pernah bosan rasanya kalau memandang bangunan ini! Bangunan bergaya neo-klasik yang dibangun tahun 1918 itu menyita perhatianku. Sejenak, kupandangi kegagahannya. Sejenak saja, karena matahari semakin menampakkan tabiatnya membuat Bandung semakin panas. Tak jauh kulangkahkan kaki dari Bank Indonesia, ketika seorang perempuan paruh baya dan seorang gadis yang kuterka usianya dua atau tiga tahun lebih muda dariku sibuk memperhatikanku. Aku risih dipandangi seperti itu. Beberapa detik kemudian, perempuan paruh baya itu berkata,
"Kayaknya pernah ketemu ya? Kok familiar..." Aku kikuk sendiri. Otakku bekerja keras untuk mengingat. Sambil mengulur waktu, kusalami perempuan itu sambil tersenyum canggung.
"Iya... P2TP2A ya?" tanyanya lagi. Aku mengangguk. Lantas kami berbincang sebentar meski ingatanku tentang perempuan itu masih samar-samar. Ketika rel kereta api sudah kulewati dan aku berada tepat di seberang Gedung Landmark, baru kuingat siapa perempuan itu. Ya, dalam rekaman ingatanku, beliau adalah pengurus P2TP2A Kabupaten Bandung yang dua tahun lalu pernah serombongan dalam kegiatan pemantauan. Aih, terlambat benar aku me-recall informasi!

Kutertawai diriku sendiri. Kulewati Braga yang ramai. Hari Minggu begini, biasanya banyak yang jalan di Braga. Ada yang sekedar iseng sepertiku, ada yang hunting foto, atau tengah foto pre-wedding, atau nongkrong di cafe dan resto yang bertebaran di sisi kanan-kiri Jalan Braga. Beberapa turis asing tampak bercengkrama di salah satu sudut cafe terkemuka di jalan tersebut. Mobil dengan plat T, B dan lain-lain tampak terparkir di sisian jalan. Toko Sumber Hidangan tutup, Braga Huis menggoda siapapun untuk berfoto di depan bangunannya yang klasik. Sementara para penjual lukisan duduk sembari menghisap rokoknya pelan-pelan.

Aku menyeberang jalan, mulai masuk ke "potongan" Jalan Naripan. Beberapa pemuda yang berdandan ala punk -yang didefinisikan sekenanya oleh mereka- duduk menyelonjorkan kaki, bergantian menghisap rokok. Rambutnya kemerahan, beragam aksesoris menempel di tubuh, lengkap dengan jeans belel dan kaus hitam. Tak lupa, beberapa tindikan di beberapa bagian tubuh. Yang perempuan, menempel ke tubuh laki-lakinya. Si laki-laki merangkul, kemudian mereka tertawa bersama. Mau tahu umurnya? Kukira masih belasan tahun. Aku berjalan bergegas melewati rombongan yang sedang rehat itu. Ada sedih yang tiba-tiba menyerang, tapi tak bisa kulukiskan seperti apa.
Kulintasi kios-kios pembuat plakat yang berjejer di sisian Cikapundung. Penjara Banceuy-pun kulewati begitu saja. Dua orang bapak duduk berhadapan di bawah rindang pohon. Di antara mereka, terhampar papan catur. Salah satu dari mereka menghisap rokok sembari memandang bidak-bidak catur, mungkin sedang mengatur strategi. Tak jauh dari mereka yang asyik bermain catur, kubelokkan langkah ke kanan, menyusuri Jalan Banceuy. Tak tercium aroma kopi sangrai siang itu. Ketika kulihat jendela-jendela Pabrik Kopi Aroma tutup, aku tak begitu kaget. Sudah kuduga pabrik itu tutup kala tak kucium aroma biji-biji kopi begitu aku melangkahi Banceuy. Kupikir, perjalananku hari ini berakhir begitu saja.

Namun kaki ini berbalik arah dan terus melangkah mengarah ke Masjid Agung, tapi aku tak singgah dan naik ke menara kembarnya itu. Langkahku berbelok ke kiri. Ada monumen kecil di sisi kiriku, tepat di hadapan Gedung Markas Resimen (Gedung Nilmu) yang kini beralih fungsi menjadi Gedung Asuransi Jiwasraya. Kuteliti. Tertulis di sana lirik lagu "Halo-Halo Bandung". Di balik monumen tersebut, tercetak pula peta Kota Bandung. Aku baru tahu tentang monumen kecil ini.

Kakiku melangkah lagi menyusuri Jalan Asia-Afrika. Tepat sebelum sampai di Museum Konferensi Asia-Afrika, mataku tertuju pada barisan tenda putih di sisian Cikapundung. Terpasang spanduk besar di depannya "Selamat Datang di West Java Tea Festival 2013". Aih, kopi tak dapat malah teh yang kutemukan! Penasaran, aku masuk ke arena festival. Beberapa tenda sudah ditutup. Ternyata festival berlangsung sejak hari Jumat lalu dan hari ini adalah hari terakhir.

Aku melangkah terus, menyambangi tenda-tenda yang masih buka. Nyatanya, tak hanya teh yang dipamerkan di sini. Ada juga tenda yang menawarkan produk kopi. Setelah bertanya harga kopi di tenda itu, aku berlalu. Di salah satu tenda, seorang bapak beserta istri dan dua anaknya berkerumun di depan meja pamer. Aku menyelip di antara mereka. Mereka bertanya ini-itu ke petugas, kemudian ditawari mencicipi berbagai jenis teh dari jenis teh yang ada di Jepang namun dibiakkan di Cianjur. Aku tertarik ingin mencoba. Mataku melirik ke arah sebungkus teh. Namanya Genmaicha. Ada celah tembus pandang di kemasannya, yang bisa kulirik. Genmaicha rupanya tak sekedar daun teh kering, namun ada butiran-butiran berwarna cokelat. Entah apa. Kutanya petugas. Petugas berjilbab itu sigap menjelaskan bahwa Genmaicha merupakan biakan teh Jepang di Cianjur yang diolah sedemikian rupa sehingga muncul aroma beras pandan wangi. Kita tentu tahu beras yang aromanya sangat menggugah selera itu! Petugas menawariku minum Genmaicha. Hangat, sedikit pahit dan sepah, namun aromanya enak. Kutanya berapa harga sebungkus Genmaicha. Petugas itu menjawab harganya Rp 25.000,- untuk sekantung Genmaicha 200 gram. Jenis teh lain yang ada di tenda itu, harganya dibandrol di atas Rp 20.000,- per ons, maka Genmaicha ini termasuk murah meriah. Uang yang tadinya hendak kugunakan untuk membeli kopi Aroma akhirnya kupakai untuk membeli Genmaicha sebungkus. Besok, akan kuseduhkan untuk teman-teman di kantor.

Ada tenda lain yang masih ramai dikunjungi, Arafa namanya. Teh yang dipamerkan di sini, menurutku seperti helai daun rosemary , panjang dan runcing. Kutanya, teh apakah gerangan. Petugas di sana menjelaskan kalau itu Teh Putih, harganya di atas Rp 100.000,- perkaleng kecil. Katanya, cukup seduh 10 lembar teh putih dengan 200 ml air panas, teh putih sudah enak untuk diminum. Dan katanya, bisa diseduh sampai 3 kali penyeduhan. Lumayan menghemat daun tehnya. Terakhir, petugas menjelaskan kalau daun teh putih bisa dimakan. Bagi anak-anak, daun teh putih bagus untuk imunitas tubuh.

Di tenda itu, aku ditawari green-tea rice cracker , kue beras yang dilapisi teh hijau. Alamak! Senang aku dibuatnya! Aku suka teh hijau, ocha polos saja sudah nikmat bagiku, apalagi yang sudah dibuat jadi frappe. Hmmm... Nah, bagaimana kalau si teh hijau dibuat lapisan kue beras? Ternyata nikmat sekali. Teh hijaunya dicincang kasar, berbaur dengan cream juga sudah dicampur bubuk teh hijau. Enak! Ketika sedang menikmati kue beras, tak sengaja aku menoleh dan tak kukira aku bertemu atasanku! Beliau senyum-senyum melihat tingkahku. Aku dibuatnya terkejut bukan main. Kami berbincang sejenak dan tertawa bersama. Tak lama, aku pamit setelah lebih dulu membeli kue beras teh hijau itu sebungkus.

Aku masih terus berjalan melewati Museum Konferensi Asia-Afrika di sisi kiriku dan Gedung De Vries (sekarang OCBC) di sisi kananku. Aku mengambil belokan ke kiri, masuk kembali ke Jalan Braga, jalur terpendek untuk kembali ke kosanku dengan jalan kaki. Di ujung Jalan Braga dekat Landmark, aku malah berbelok ke kanan masuk ke Jalan Tamblong, alih-alih berjalan lurus. Dari Jalan Tamblong aku menyeberang, masuk ke Jalan Merdeka. Kakiku seolah tak mau dikontrol. Ia berjalan saja terus melewati SDN Merdeka yang berarsitektur jaman dulu. Kulewati rel kereta api, melangkah di pinggiran Bank Indonesia. Didepanku dua orang anak muda bermain skateboard. Biasanya, trotoar di depan Bank Negara Indonesia (BNI) dekat Gedung Indonesia Menggugat (GIM)-lah yang jadi arena anak muda berlatih mengendalikan papan luncur. Dua anak muda ini memilih trotoar yang agak sepi tampaknya.

Di taman yang memisahkan tiga bangunan penting di Bandung (BI-Polrestabes Bandung-Kantor Wali Kota), hatiku kembali teriris. Sejak kapan taman bunga ini jadi basecamp para tunawisma? Kulihat beberapa orang tidur-tiduran di sana. Ada tali-tali tempat menggantung cucian, juga barang-barang yang ditumpuk sekenanya. Salah seorang dari mereka melirik ke arahku. Aku melanjutkan langkah.

Bandung Indah Plaza ramai. Maklum, hari ini hari Minggu, waktu yang tepat untuk hangout. Aku memilih terus berjalan, masuk ke Jalan Ir. H. Juanda yang lebih dikenal dengan sebutan Dago. Sebenarnya di perempatan antara Jalan Merdeka dengan Jalan Ir. H. Juanda, aku bisa berbelok ke kiri dan berjalan lurus. Kosanku, hanya beberapa ratus meter dari perempatan itu. Tapi sekali lagi, kakiku seolah belum sampai ke titik lelahnya. Jadi kupilih rute yang panjang ini. Rencananya, tepat setelah melewati Gampoeng Aceh, aku akan berbelok ke kiri ke Taman Flexi, masuk ke Jalan Tamansari (Unisba) kemudian menyeberangi Wastukancana dan sampai di kosan.

Sebelum sampai di Jalan Tamansari, tiba-tiba saja si kaki berbelok ke Jalan Sawunggaling, masuk ke sebuah coffee shop. Ia sudah lelah. Kupikir begitu. Maka aku mengizinkannya menyelonjorkan kaki di sana. Aku duduk di sofa panjang yang berhadapan dengan halaman. Aku hanya memesan minuman. Kuprediksi, aku hanya akan minum-minum di sana sambil membaca novel yang kubawa, yah... istirahat sekitar 20 sampai 30 menitlah sebelum akhirnya melanjutkan target jalan kakiku hari ini.

Pesananku belum juga datang ketika seorang bapak berbadan kurus memintaku bertukar meja. Aku mengiyakan saja dan mengemasi novel serta ranselku, kemudian duduk di tempat Bapak Kurus itu semula duduk. Pesananku datang, tiramisu frappe. Kubaca lembar demi lembar novel sambil menyeruput frappe-ku. Rupanya, seorang bapak berbadan besar yang datang bersama Bapak Kurus memperhatikanku, kemudian menyapa. Setelahnya, kami bertiga terlibat obrolan panjang, dari soal politik, wisata, hingga pekerjaan. Kupikir mereka orang baik, meski tak kutahu nama mereka di awal obrolan kami. Yang kutahu, Bapak Kurus berasal dari Lampung, sementara Bapak Besar berasal dari Kroya Jawa Tengah, namun logat bicaranya seperti orang Sumatera karena sudah 20 tahun tinggal di Lampung, Mereka yang akhirnya tahu aku belajar psikologi, menyuruhku lekas lulus agar bisa jadi HRD. Kubilang aku lebih suka bekerja di lembaga swadaya yang bersifat sosial. Obrolan kami terus berlanjut sampai tak terasa, 30 menit kami mengobrol. Aku pamit, kembali melanjutkan jalan kakiku.

Di Unisba (Universitas Islam Bandung), kulihat banyak orang berpakaian oranye. Yang laki-laki kepalanya plontos, yang perempuan rambutnya diikat. Mereka adalah mahasiswa baru yang mungkin baru mengikuti ospek di jurusan. Aku tak begitu memperhatikan karena aku ingin segera sampai di kamarku. Langit sore mulai membias. Udara mulai dingin terasa. Kusebrangi Wastukancana, masuk ke Gang Merdekalio hingga hampir ke ujungnya.

Sampai di sini, bahkan lelahku tak terasa sama sekali. Mungkin sudah habis lelahnya di perjalanan tadi. Mungkin sudah dilatih sejak SMP dulu karena sering pulang dari sekolah ke rumah jalan kaki. Mungkin juga sudah terlatih sejak SMA, dua tahun pergi dan pulang sekolah mengayuh sepeda. Atau mungkin, karena semasa kuliah juga jalan kaki. Kosan di bawah sementara kampus di atas, berasa naik-naik ke puncak gunung kalau pergi ke kampus. Atau mungkin juga dua tahun terakhir pergi dan pulang kantor jalan kaki. Wahai kakiku, terima kasih ya! Moga kamu tetap kuat, supaya bisa kuajak berjalan. Berjalan terus, entah sampai kapan!



*curhatan hari Minggu*
Langit sudah gelap. Udara Bandung juga dingin sekali. Sudah saatnya kakiku istirahat.
Kurang foto ya? Nanti kulampiri deh :)

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi