Di Sisa Kaibon

Menyoal Banten dalam kilasan episodenya yang rumit akhir-akhir ini tampaknya tidak terlalu menarik perhatianku. Justru, bagian yang paling menarik dari perjalananku kali ini di Banten adalah mengenal kilasan-kilasan kejayaan Banten. Pelajaran mengenai sejarah, bagiku tak pernah terasa membosankan.

Kamu tahu Keraton Kaibon? Akupun baru mengenalnya kemarin, itupun hanya sedikit bagiannya saja.  Tak perlu diragukan lagi, Indonesia jarang sekali memiliki transkrip sejarah yang utuh. Seperti halnya dengan Keraton Kaibon yang saat ini bangunan megahnya hanya dapat dikira-kira dari sisa-sisa bangunan yang ada. Apa itu Kaibon? Sedikit cerita mengenai Kaibon dibagi oleh Bang Koelit Ketjil, salah satu fasilitator dalam rangkaian kegiatan Kampung Budaya, Rumah Budaya Nusantara yang diselenggarakan atas kerjasama antara Rumah Dunia dengan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Hari Minggu (10/11) yang terik itu bagiku tak ada apa-apanya, apabila dibandingkan dengan setangkup sejarah yang bisa dinikmati ini. Beruntung rasanya dapat menjejakkan kaki di sisa Keraton Kaibon, meski kondisi kesehatanku waktu itu sedang kurang baik. Namun, ketika sejarah yang bicara, aku sudah tak sanggup berkutik. Sejarah selalu membuat setiap inderaku terseret magnetnya yang kuat. Jadi, di hari Minggu yang terik itu, aku pasrahkan diriku untuk diajak berkelana melintas waktu.

Kaibon berarti keibuan. Itu informasi awal yang kudapat. Terletak di Banten Hilir, tak seberapa jauh dari pintu Tol Serang. Menurut Koelit Ketjil, dahulunya di tempat yang aku dan peserta Kampung Budaya duduki saat itu adalah ruang shalat, semacam mushola besar yang megah. Lantainya masih utuh dan tampak bagus meski atapnya sudah berganti jadi langit sungguhan dan dindingnya tak ada lagi. Beberapa gerbang masih berdiri kokoh, dinamai Gerbang Bentar yang mendapat sentuhan Jawa-Bali dan Gerbang Paduraksa yang kental dengan ciri Bugis. Gerbang-gerbang ini seolah menandakan dahulunya Kaibon adalah bangunan yang besar dan megah.

Areal Kaibon cukup luas. Dahulunya istana megah ini diperuntukkan bagi kaum perempuan. Berdiri di rentang tahun 1526 hingga 1813, menunjukkan bahwa Banten kala itu telah menjadi kota metropolitan, mengingat di dekat Keraton Kaibon terdapat sungai besar yang menurut kabar berita menjadi lalu lintas bagi kapal-kapal besar yang membawa berbagai macam komoditas perdagangan kala itu. Patut dicatat, tak hanya kapal lokal yang melintas, namun juga kapal berbendera asing. Pada masanya, Banten, tak perlu diragukan, memiliki peran sentral bagi kegiatan perdagangan.

Aku jadi membayangkan seperti apa situasi Banten saat itu.

Ketika hari makin beranjak, aku dan teman-teman peserta Kampung Budaya justru diajak makin jatuh cinta pada Banten. Pak Halim HD, seorang networker kebudayaan, mengajak kami menciumi harum masa lalu Banten. Banyak hal yang nyatanya tidak kutahu tentang tanah para Jawara ini. Sebetulnya wajar saja, mengingat aku sendiri orang Indramayu. Namun penjelasan Pak Halim HD membuatku mengenal potongan-potongan Banten. Pak Halim mengatakan, tanah Banten adalah tanah yang bagus untuk bercocok tanam. Ia bahkan menguraikan bahwa dahulu Banten sempat menjadi produsen bawang merah yang memiliki rasa unik dan enak. Begitupun bawang putih, lada dan berasnya yang terkenal enak. Wajar apabila kemudian perusahaan dagang Belanda betah berlama-lama di sini.

Sayangnya, waktu yang tersedia tak begitu banyak bagi Pak Halim HD untuk bisa memaparkan lebih banyak tentang Banten. Tak jadi soal, karena ini bisa jadi alasan bagiku untuk datang lagi ke Banten suatu hari kelak. Seusai Pak Halim mengajak kami berkelana lewat tuturannya yang fasih tentang Banten, kusempatkan diri singgah ke salah satu sisi Keraton Kaibon, yang katanya merupakan kamar tidur dan memiliki sistem pendingin udara tradisional yang terletak di bawah tanah. Rupanya, teknologi pendingin udara sudah dikenal juga pada masa itu. Satu lagi hal yang membuatku menanam cinta pada Banten.

Aih, Kaibon. Di sisa-sisa tubuhnya yang makin tak terurus itu, ia malah menantangku dan mungkin semua peserta yang hadir di acara Kampung Budaya. Mungkin juga sebenarnya ia tengah menantangmu, bahwa di getirnya peristiwa-peristiwa yang melingkup Banten akhir-akhir ini, ada harapan yang harus terus diperjuangkan tanpa henti. Oleh kita.



Photo by : Ahmad Wayang
ditulis di Bandung, oleh orang Indramayu.
13 November 2013





Comments

Nurul Noe said…
sudah berkali-kali menjelajah banten lama, belum sekalipun aku ke kaibon :/
Unknown said…
nah, cakeeeppp... jd alasan sy buat balik ke banten. jd kita bisa nikmatin kaibon bareng2. sy pingin ke surosowan...
Unknown said…
Kerennnn.....:D
Ah sayang tak bisa ikut... :(
Unknown said…
kapan-kapan kita ke sono nyooookk!!! pingin ke Kaibon lagiii
Nurul Noe said…
kalo surosowan aku sering pake banget :D tapi bersama intan belum.. ;)
Unknown said…
artinya, nanti kalau aku ke serang, dikau mesti jd guide di surosowan :D

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi