Kenangan

Jatibarang

Kereta Ciremai Ekspres yang baru beroperasi 3 hari itu perlahan melambatkan lajunya. Suara derit roda dengan rel bagiku terdengar pilu. Aku menarik ranselku, berjalan menuju pintu yang masih tertutup. Perlahan, dari balik jendela, kulihat petugas berseragam berdiri dengan tegap seolah tengah menanti kedatangan kami, disusul deretan kursi yang rapi menghias peron. Beberapa orang dengan beragam barang bawaan duduk di sana, menunggu gerbong-gerbong yang akan mengantar menuju tempat yang dituju. Kemudian sebuah papan nama yang menempel di dinding tembok tanpa ragu memastikan, bahwa inilah Stasiun Jatibarang, satu stasiun terakhir sebelum Ciremai Ekspres sampai di Stasiun Cirebon. Gerbong yang saling terkait itu kini benar-benar telah berhenti, seiring sambutan selamat datang dari pengeras suara berbunyi. Stasiun Jatibarang, Indramayu.

Aku diajak memunguti kenangan tentang bapak-ku di sini. Pilar-pilar peron masih kokoh berdiri, hanya saja bangku-bangku di sana telah berubah rupa. Palang pembatas dibuat lebih modern yang memberi batas antara pengantar dan calon penumpang. Bapak sering mengajakku duduk-duduk di peron ini sewaktu aku kecil. Meski kami sering mudik ke Jakarta dengan menumpang kereta dari stasiun ini, bapak sering pula mengajakku menjemput mamah atau sekedar duduk-duduk menghabiskan waktu sembari memandangi kereta yang hilir mudik. 

Tukang-tukang becak berdiri menawari mereka yang baru turun dari kereta, mengharap kalau-kalau ada bagian rezeki Tuhan yang dititipkan dari para penumpang kereta. Berbeda dengan 15 tahun lalu ketika aku masih sekolah dasar, kini mereka bersaing dengan saingan yang tidak sepadan : tukang ojek. Dan tanpa ragu, aku menumpang satu becak yang ada di sana, bergegas mengarah ke Indramayu.

Perjalanan pulangku kali ini melemparkanku ke masa lalu. Becak yang kunaiki menembus Pasar Jatibarang. Dahulu, di ujung depan pasar ini, berbelok sedikit ke kiri, aku bisa menemukan bapak-ku di salah satu kantor yang berderet di sisian jalan raya. Kini bahkan jejak kantor bapak-ku pun sudah tak ada, tertutup barisan kios yang kian menjamur. Kami berbelok ke kanan. Tak jauh dari pasar, dekat dengan kantor pos Jatibarang, ada juga kenangan yang tersisa. Di dalam Gang Kantor Pos itu, ada juga rasa yang menjadi kenangan masa kecilku, tempat bapak dan mamah sering mengajakku makan ketika kami berkunjung ke Jatibarang. Gerobak bakso itu masih serupa seperti dulu. Ibu penjualnya masih yang dulu, hanya bertambah saja usianya. Kutengok dari becak yang kunaiki, tak ada yang berubah di sana. Ingin rasanya menikmati semangkuk bakso panas dengan sebungkus kerupuk rambak dan sepotong lontong. Namun tidak bisa kali ini, mungkin nanti. Aku harus segera pulang.

Becak yang kunaiki berjalan perlahan, membuatku bisa memanggili kenangan di tempat ini. Jalan protokol yang kami lewati kemudian membelah menjadi dua, sisi jalan yang di kiri mengarah ke jalur Pantura Jawa Barat sementara sisi jalan yang ada di sebelah kanan mengarah ke jantung Kabupaten Indramayu. Kami berbelok ke kanan, melintasi rel kereta api di atas kami. Bertahun-tahun yang lalu, aku dan bapak suka sekali mengamati jembatan kereta ini. Kami suka menerka, apakah yang lewat adalah kereta yang membawa mamah pulang dari Jakarta. Ah, sudah lama sekali semua itu berlalu!

Bapak tukang becak yang usianya makin tergerus waktu itu menepikan becaknya. Kami telah sampai di tempat angkutan kota menuju Indramayu. Aku menjejakkan kaki ke tanah, di sini, seolah semua kenangan kembali menyatakan perpisahan dan pelan-pelan menutup pintunya hingga aku datang lagi ke Jatibarang, suatu hari nanti.


ketika pulang kemarin, yang membawa kenangan. bahkan aku dilahirkan di tanah ini.

Comments

Nurul Noe said…
Selalu suka sama tulisannya Intan :)
Unknown said…
Makasih Mba... beruntung saya bisa ketemu sama Mba Nurul jd semangat lagi nulis setelah mogok beberapa bulan lalu >.<

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi