Danang

Hujan masih turun rintik-rintik. Suaranya yang bergemericik membuat hati mengurai benang-benang penat. Tetes-tetes air yang turun, konon akan mengantar setiap doa yang diucap sampai ke langit. Danang sungguh-sungguh mengamini hal itu. Dengan langkah terburu ia menjejak genangan, membuat percikan air bercampur tanah membekas di celana panjangnya. Beberapa meter lagi rumah dengan pagar kayu setinggi dada orang dewasa itu akan terlihat. Mengingat hal tersebut Danang mulai memelankan langkahnya, mengatur nafasnya yang sedari tadi memburu. Dilipatnya lengan kemeja biru panjangnya yang basah. Ditegapkan tubuhnya yang tinggi menjulang, kemudian menyisir potongan rambut pendeknya dengan jemari. Rambut itu basah. Tetesan air dari helai rambut meluncur turun dan membasahi bahu kemeja yang baru dibelinya siang tadi. Ditepuknya perlahan bahu jenjang itu, lalu mengelap wajahnya yang berpeluh juga tersapa gerimis. Baginya malam ini adalah penentuan. Ia akan mengusahakan doa-doanya sepanjang tahun ini di rumah itu. Serupa orang tengah bertaruh, ia memang mempertaruhkan semua yang dimilikinya malam itu.

Malam makin merangkak. Adzan isya terdengar bersahutan. Danang menghela nafas. Rumah itu hanya berjarak 500 meter lagi, namun apa dayanya ketika panggilan itu datang? Maka ia memaksa kakinya berbelok menyusuri jalanan yang digenangi hujan menuju tempat di mana suara adzan berasal. Sebuah masjid beratap tumpang, tanpa menara maupun kubah berdiri di hadapannya. Masjid kecil yang sederhana juga rupawan. Danang menyelonjorkan kaki sejenak di undakan masjid, meregangkan tubuhnya yang lelah. Ah, rasanya nikmat bila saat ini ada di rumah, dengan teh hangat dan ubi ungu rebus buatan ibu. Begitu pikiran yang berkelebat di benak Danang. Pikiran itu  segera diusirnya. Malam ini lebih penting dari sekedar teh hangat dan ubi ungu rebus. Ia laki-laki, oleh karenanya ia harus tetap berjalan maju malam ini. Biar ibu di Semarang sana membantu dengan doa. 

Diurainya ikatan tali sepatu kets. Bila melihat penampilan Danang malam itu, maka rasanya selera fashion Danang belum cukup baik. Danang memang tak mengerti bagaimana seharusnya berpenampilan. Kemeja biru terang yang baru dibelinya teramat rapi bahkan tampak sangat formal, beradu dengan warna kulitnya yang gelap. Sementara celana panjangnya berwarna krem lembut. Sebetulnya masih serasi dengan kemejanya. Namun sepatu kets hitam, dengan jelujur garis berwarna kuning itu mengganggu penampilannya yang necis.

Seorang bapak tampak berlari-lari kecil memasuki halaman masjid. Sebelah tangannya menaunginya dari gerimis yang masih turun, tangan lainnya mengangkat sedikit sarung agar tidak terkena cipratan genangan air. Bapak itu berumur sekitar enam puluh tahun namun wajahnya tampak cerah sekali. Dagunya ditumbuhi janggut yang memutih, kepalanya menggunakan peci yang juga berwarna putih. Tubuhnya ditutup sweater berwarna marun yang melindunginya dari udara dingin. Langkah Bapak Tua itu terhenti tak jauh dari Danang. Ia memandangi Danang yang mengibaskan air dari sepatu. Semula bapak itu terkejut melihat Danang sampai secara perlahan, sebentuk senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai senja. Bapak Tua itu berjalan sebentar kemudian melepas sandal di dekat Danang yang masih sibuk dengan sepatunya. 

"Segera, Nak! Jangan mengurusi sepatu saja! Ambillah air wudhu!" Danang terkejut mendengar sapaan yang tak biasa itu. Ia mendongakkan kepala dan bergegas bangkit.
"Iya, Pak!" Danang menyalami Bapak Tua itu dan dibalas dengan tepukan ringan di punggung Danang.
"Ayo, sebentar lagi iqomat..." Bapak Tua melepaskan genggaman tangan Danang perlahan. Dengan hati-hati, ia berjalan memasuki pintu masjid. Danang melangkah cepat ke tempat wudhu.

Jamaah shalat Isya tak banyak. Hanya dua shaf laki-laki yang terisi. Shaf perempuan, bahkan satupun tak penuh terisi. Danang mengikuti imam yang mulai melakukan takbiratul ihram. Bapak Tua, yang ternyata menjadi imam itu melafalkan ayat suci dengan syahdu, masuk dan menyusuri hati Danang. Danang merasakan hatinya koyak mendengar suara lembut itu, Seolah ada sebilah pisau yang lancang mengirisi hatinya. Danang merasakan rasa sakit di hatinya. Tak tertahankan sakitnya hingga ia menangis. Tubuhnya terguncang seirama tangis yang coba dibendungnya. Lambaian masa lalu terpapar pada sajadah yang menghampar di hadapan. 

Ia hampir melupakan tempat ini.

Suatu hari empat tahun lalu. Saat malam mulai menjejak bagian tergelapnya, seorang laki-laki berpenutup wajah masuk dengan tergesa ke dalam masjid beratap tumpang yang sepi. Keringat sebesar biji jagung memenuhi keningnya. Nafasnya tak teratur. Tubuhnya gemetar, sementara tangannya menggenggam erat kotak kayu kecil berisi perhiasan emas.

Laki-laki itu berjingkat masuk ke balik mimbar, mengurung diri di sana. Ditajamkannya pendengaran. Suara-suara kaki samar terdengar, sama samarnya dengan suara-suara orang yang memaki dan meneriakinya. Kemudian senyap sama sekali. Petugas ronda yang mengejarnya mungkin sudah menyerah saat sampai di batas desa. Sudah tak mungkin lagi mengejar laki-laki berpenutup wajah warna hitam. Laki-laki itu menarik nafas lega. Ia menyenderkan kepala kelelahan. Perlahan dibukanya penutup wajah, membiarkan angin yang masuk lewat celah-celah jendela menyapa wajahnya yang basah. Dini hari yang terasa damai, hingga laki-laki itu tak menyadari dirinya tertidur pulas.

Laki-laki yang tampak masih berumur kepala dua itu terbangun ketika mendengar ayat-ayat suci dibacakan. Ia terkesiap, berjaga. Kakinya membentur kayu mimbar, menimbulkan suara mencolok di subuh yang sepi. Suara lantunan ayat suci berhenti, berganti suara langkah yang mengarah ke mimbar tempatnya bersembunyi. Laki-laki itu merapatkan diri, berjaga. Dikeluarkannya pisau lipat dari saku. Ia tak akan membiarkan seorangpun menemukannya di situ. Laki-laki itu terlampau siaga hingga tak menyadari bahwa seraut wajah tengah memandanginya sembari tersenyum.

"Sudah bangun? Ayo, masih ada waktu untuk shalat subuh..." suara itu memecah keheningan, mengembalikan kesadaran laki-laki yang sedang bersembunyi itu. Ia terkejut mendapati seorang Bapak Tua berpeci putih tengah menatapnya dengan teduh.

"Saya tidak tega membangunkan kamu waktu adzan tadi. Maafkan saya... kamu jadi terlambat shalat..." Bapak Tua bangkit, melangkah meninggalkan laki-laki muda itu kebingungan. Perlahan ia bangkit dan keluar dari mimbar, memperhatikan Bapak Tua itu berjalan ke arah pintu.

"Laki-laki itu harus berjuang... Pilihan jalannya banyak. Pilihlah yang kira-kira hatimu merasa tenang menjalaninya." Bapak Tua itu menoleh, tersenyum lagi. Kemudian benar-benar berlalu meninggalkannya di dalam masjid yang sepi. Di timur, matahari perlahan naik, menghangatkan pagi yang damai itu.

Tangis Danang sudah tak terbendung lagi. Di rakaat kedua ia utuh menangis tersedu. Bahunya berguncang dengan hebat. Kilasan-kilasan hidupnya empat tahun lalu merangsek ke permukaan. Di balik mimbar dalam masjid inilah, dahulu dirinya bersembunyi dari kejaran petugas ronda. Masjid inilah yang menaungi dan memberinya keselamatan atas dosa yang dilakukannya. Dan suara itu... suara imam itu adalah suara Bapak Tua yang mengaji selepas shalat subuh empat tahun lalu. Suara yang setelah malam itu sering menghinggapi telinganya, membuatnya tak bisa tertidur dengan pulas, juga membuatnya tak bisa berkonsentrasi saat berada di meja judi.

Tuhan... mengapa malam ini Engkau ingatkan lagi aku tentang masa-masa itu?

Danang terus bersimbah air mata hingga rakaat selesai sepenuhnya. Ia bersujud kembali. Jiwa laki-lakinya tak bisa berbohong bahwa dirinya memang lemah. Tangisan Danang makin dalam dan pilu. 
"Nak..." Bapak Tua meraih kedua lengan Danang, mengajaknya duduk berhadapan. Danang tak bisa menatap wajah Bapak Tua yang demikian teduh, maka dirangkulnya Bapak Tua erat-erat. Bapak Tua menepuk-nepuk punggungnya penuh kasih hingga kemudian Danang merasakan tepukannya kian melemah, dan lengan Bapak Tua dirasainya turun ke sisi tubuh Danang. Danang melepaskan pelukannya. Bapak Tua justru jatuh ke hadapan Danang. Danang menangkapnya bingung.

Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari jamaah yang mungkin masih ada di dalam masjid. Namun tak ada seorangpun di sana. Danang putus asa. Diguncangkannya tubuh Bapak Tua, namun tak ada reaksi apa-apa. Danang menjerit, berharap ada yang bisa menolongnya. Dengan tergopoh, seorang pemuda yang bertugas menjaga masjid datang menghampiri.

"MasyaAllah... Innalillaah..." pemuda itu terkejut melihat Bapak Tua.
"Bapak kenapa, Mas?" tanya Danang tak mengerti.
"Hayu Mas, kita bawa Haji Furqon ke rumahnya!" Danang masih tak mengerti. Ia menurut saja apa kata pemuda tadi. Berdua, mereka memapah Haji Furqon menuju rumahnya.

Hujan sudah utuh berhenti. Gugusan bintang mulai menampakkan diri. Hati-hati, Danang dan pemuda itu memapah Haji Furqon. Jalanan masih basah, percikan-percikan air yang bercampur tanah menodai celana panjang mereka, juga menodai sarung Haji Furqon. Mereka tak peduli. Bagi mereka, lekas sampai di rumah Haji Furqon adalah pilihan terbaik. Mereka berbelok ke jalan kampung yang lebih lebar. Jalan yang kini dilalui mereka sudah dicor, tak banyak genangan air.
"Kang, bukain pagarnya!" pemuda itu memerintah Danang. Danang memandang si pemuda, kebingungan.
"Pagar yang mana?" tanyanya.
"Itu! Pagar yang kayu itu! Cepetan kang!" Danang menurut. Ia membuka pagar yang tak dikunci dan membiarkan si pemuda dan Haji Furqon melewatinya.

Danang berdiri terpatung. Dipandanginya si pemuda memapah Haji Furqon melintasi halaman. Pemuda itu mengucap salam. Tak lama, dari balik pintu kayu dua orang perempuan muncul. Wajah mereka terkejut, berganti cemas. Yang seorang, mengenakan kerudung putih, langsung menyambut Haji Furqon sambil melafadzkan nama Allah, seorang lagi yang berkerudung biru, berlari ke dalam rumah, sama paniknya. Danang masih memandangi rangkaian kejadian di hadapannya.

Tuhan... sebenarnya apa maksudMu? 

Lima menit berlalu. Empat orang itu sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Danang yang masih mematung di depan pagar.
"Punten Nak" seorang bapak melintas di sisi Danang, ia menyingkir beberapa jengkal. Bapak itu berhenti beberapa langkah di depan Danang, keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu, memperhatikan Danang dengan seksama. Danang juga memandangnya, namun kemudian melempar pandangan matanya ke sisi, agak risih diperhatikan seperti itu. Danang ingat siapa laki-laki paruh baya di depannya. Setahun lalu, bapak inilah yang pernah ditemui Danang di sini. Orang yang pernah menantang Danang membuktikan diri sebelum berani melamar Ardini. Orang yang pernah ia kira ayah Ardini.

"Kamu... laki-laki gondrong pengangguran yang dulu pernah datang ke sini, kan?" tanyanya. Danang diam. Ia ingin menjawab kalau kini ia sudah mandiri, namun urung dilakukan. Ia menunduk, tak tahu harus bagaimana.

"Mamang!" suara bening itu memecah keheningan. Danang mengangkat wajahnya. Beberapa meter di depannya, seorang perempuan berkerudung biru berlari kecil, mendekati mereka. Jantung Danang berdetak lebih cepat. Rasa nyeri yang lama dipendamnya, kini menguat kembali.

"Kang Danang ini yang tadi bantu bawa Bapak pulang...." suaranya terdengar ditegarkan, namun mata perempuan muda itu tak bisa berbohong. Ada luka di sana. Ada kesedihan yang pilu dan dalam. Danang menangkapnya dengan jelas. Laki-laki yang disebut Mamang itu menoleh ke arah Danang, mengamatinya lagi. Danang menunduk kembali. Hatinya lebih perih kini. Ada yang berkecamuk di dalam jiwanya, menggelegak dan meronta. Danang tak tahan lagi. Jiwanya betul-betul bergejolak. Ia tak tahu harus bagaimana dalam situasi seperti saat ini.

Danang melangkah mundur. Ia tak bisa berada di sana lebih lama. Ada sesuatu yang tak bisa dimengertinya.
"A... aku... assalamu'alaikum..." dengan risau jiwa yang masih tersisa, Danang melangkah keluar, menutup pagar kayu rumah itu, berjalan menjauhi Ardini dan laki-laki yang disebut Ardini sebagai mamang-nya.

Malam kian gelap. Gemintang masih menghias langit. Semilir angin mengabarkan duka. Beberapa orang berjalan bergegas ke rumah berpagar kayu itu, tak mempedulikan Danang yang berjalan gontai. Danang terus melangkah, masih tak mengerti apa yang dirasakan hatinya. Ada sedih yang menumpuk, ada pilu yang menyusup, juga rindu yang menyelip di antara gelisah hatinya. Ia tak mengerti permainan takdir untuknya kali ini. Perlahan, butiran bening jatuh dari matanya yang layu.



20 September 2013
Judul yang pas apa ya? Heu~

Comments

Unknown said…
"malaikat maut dipelukanku"
Unknown said…
ini sebetulnya cerita lama yg di-recycle, ditambah bumbu sedikit.
Unknown said…
Testimoni : "Ceritanya misteri religi mencabik-cabik sisi habluminallah n habluminannas..excellent"
Unknown said…
sipp...kadang2 emang tulisan itu dibiarkan dulu untuk beberapa lama, lalu suatu saat dibaca lagi pasti akan tumbuh ide-ide baru yang jadi bahan tambahan tulisan yang lama itu

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi