Di Sela Waktu : Jakarta

Syukur, Sabtu 14 September lalu aku tidak terlambat bangun. Alarm menyuruhku membuka mata tepat ketika suara-suara orang mengaji mengalun dari masjid yang terletak di belakang rumah kost-ku. Subuh bahkan belum datang. Segera aku bersiap. Kereta Argo Parahyangan akan berangkat pukul 05.00 nanti. Beruntung, aku sudah menyiapkan semua bekal yang harus kubawa hari itu. Aku mematut diri di depan cermin, sepotong kaus hitam, rok kain warna hitam, dibalut jaket warna kelabu, dengan kerudung hitam bermotif bunga dan finishing touch berupa kacamata serta heels setinggi 3 cm. Kupikir, setelanku hari itu sama sekali bukan setelan seorang backpacker atau traveler. Aku memang tak benar-benar hendak traveling, melainkan akan menghadiri acara keluarga di Depok. Namun, di sela-sela waktu yang hanya beberapa jam, rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan. Maka hari itu aku akan singgah sebentar di Jakarta, menuntaskan rasa penasaran pada kota yang sempat kuingini jadi tempat bagi dadu takdirku. Ya, Jakarta.

Pukul 08.00, kereta melambatkan lajunya. Aku bangkit meraih ransel dan berjalan ke pintu bersama beberapa penumpang lain. Stasiun Jatinegara. Ketika derit roda kereta berhenti berbunyi, aku melompat turun, bergabung bersama kerumunan orang di dalam peron, kemudian mengarus keluar. Namun, karena tujuan persinggahanku di Jakarta hari itu adalah Kota Tua, maka aku kembali masuk ke dalam stasiun, mengisi deposit kartu commuterline, kemudian melompat naik ke commuterline yang telah tiba di jalur 2. Saat-saat berada di dalam commuterline seperti ini yang paling kusuka, karena aku bisa mengobservasi. Beberapa anak muda sibuk dengan gadget-nya, dengan earphone terpasang di telinga. Terkadang, mereka menggoyangkan kepala atau mengetukkan ujung telapak kaki mereka, mengikuti irama yang keluar dari pemutar musik. Beberapa perempuan setengah baya mengelusi kepala anaknya yang mulai terlelap. Bapak-bapak, sebagian membaca koran pagi, sebagian lagi menikmati pemandangan di luar jendela. Di beberapa stasiun, commuterline berhenti, menaikkan atau menurunkan penumpang. Tak sampai satu jam, aku sampai di pemberhentian terakhir : Stasiun Jakarta Kota.

Stasiun ini sebenarnya dikenal juga dengan nama Stasiun Beos, yang merupakan salah satu stasiun tertua di Indonesia. Arsitekturnya terkesan megah. Konon dirancang oleh arsitek Negeri Kincir Angin yang lahir di Tulungagung, Jawa Timur. Aku menikmati langit-langitnya yang menurutku menawan. Stasiun ini ramai sekali. Beberapa kereta ekonomi jarak jauh memang berangkat dari sini, jadi pantas kalau stasiun Beos selalu ramai. Ketika melangkah keluar, lalu lintas Jakarta padat seperti biasa. Kuhela nafas. Ah... akhirnya aku kembali ke sini!

Kuseberangi jalan, berjalan bergegas menuju Museum Bank Mandiri. Museum masih tutup karena saat aku tiba di sana, waktu masih menunjukkan pukul 08.50. Sepuluh menit lagi museum baru bisa dikunjungi. Tepat di depan pagar museum aku duduk melahap sepotong donat sebagai sarapan pagiku, sembari menunggu seorang kawan yang akan membersamai perjalananku. Tak lama, Bang Rama, seorang pekerja media di Banten datang. Kebetulan, ia sedang ada keperluan di ibu kota. Aku mengenalnya ketika ikut Krakatau Writing Camp tempo hari. Semalam, aku agak ragu juga menjelajah ibu kota seorang diri, jadi kulepas topik ke group Krakatau Writing Camp, siapa tahu ada yang belum punya tujuan nge-trip esok hari.

Setelah bertukar kabar sejenak, kami melangkah menuju Museum Fatahillah. Tempat ini ada di list pertama tujuanku. Selepas membaca novel The Jacatra Secret, aku penasaran dengan bangunan nomor wahid semasa Batavia berjaya. Dahulunya Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta ini disebut Stadhuis , balai kota dalam bahasa kita. Kota Batavia yang berbenteng-benteng itu, memiliki satu jantung yaitu Stadhuis yang serupa dengan Stadhuis di Belanda. Di sinilah komando VOC di wilayah Hindia-Belanda berpusat. Bangunan ini masih kokoh berdiri, lengkap dengan ruang bawah tanah yang menyempit dan digunakan sebagai ruang tahanan. Sempit dan pengap, dengan beberapa batu bulat besar ditaruh di dalam ruang kecil tersebut.

Melangkah ke bagian belakang, terdapat patung Hermes, yang diyakini mitologi Yunani sebagai keturunan Zeus dan Maia, serta diduga dewa pelindung bagi para petualang. Patung ini merupakan patung asli, sisa-sisa peninggalan masa lalu Jakarta. Dahulunya terletak di salah satu sisi dekat Jembatan Harmoni. Di Harmoni masih berdiri patung serupa, namun itu hanya duplikasinya saja. Patung Hermes yang asli sengaja dipindah ke Museum Sejarah Jakarta.

Selepas menikmati Stadhuis dengan membayar sebesar Rp 5.000,- , aku dan Bang Rama memutuskan untuk pergi ke Taman Prasasti yang terletak di Tanah Abang. Petugas museum memberitahu kami cara untuk sampai ke sana. Maklum, kami berdua buta Jakarta.

Dengan menaiki angkutan kota, kami sampai di Taman Prasasti. Sesungguhnya ini adalah makam orang-orang Belanda. Untuk masuk, kami dikenakan tiket sebesar Rp 5.000,- . Bising suara mesin potong menyambut kami. Taman Prasasti sedang dipugar. Beberapa patung tergeletak di jalan setapak. Beberapa lainnya masih utuh berdiri. Apa yang bisa dinikmati di sini? Nama-nama yang tertulis di nisan tidak ada yang kukenal. Hanya satu tujuanku kala itu. Aku penasaran dengan makam Maria Magdalena. Aku menemukan namanya di buku. Ia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, dan termasuk orang penting di zamannya. Namun sayang, makam Maria Magdalena yang terletak dalam satu bangunan rumah tidak bisa kulihat karena rumah tersebut dalam kondisi terkunci. Jadi, hari itu aku hanya memutari jalan setapak, menengok rupa-rupa nisan dengan berbagai bentuk. Di salah satu sisi, dua orang fotografer asyik memotreti patung-patung, sementara di pojok lainnya, serombongan muda-mudi asyik bergaya di depan kamera, berfoto di antara jejeran patung penanda makam.

Aku dan Bang Rama melangkah keluar. Hari sudah semakin siang, tandanya sisa waktuku hanya sekitar satu jam lagi. Jam 13.00 nanti, aku akan menjemput mamah dan adikku di Stasiun Gambir, kemudian bersama mereka, aku akan melanjutkan perjalanan menuju Kota Depok. Aku memilih naik kereta menuju Stasiun Juanda dan berjalan kaki ke Gambir. Namun ketika bertanya ke Bapak Tukang Parkir, aku diberi tahu bahwa Monumen Nasional (Monas) tidak jauh dari Taman Prasasti. Artinya, Gambirpun tidak jauh.

Atas saran Bapak Tukang Parkir, aku dan Bang Rama berjalan melintasi Monumen Adipura, berbelok ke kanan dan melewati Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dari sana, kami berbelok ke kiri dan terus berjalan. Ada Museum Nasional dan kami singgah sebentar menyelonjorkan kaki. Setelah lelah sedikit hilang, kamipun kembali berjalan menuju Monas. Sebetulnya, sudah lama aku ingin melihat Jakarta dari puncak Monas namun waktuku tidak banyak. Mamah sudah sampai di Jatinegara, tak sampai 20 menit akan sampai di Gambir. Aku bergegas melangkah. Bang Rama menuju shelter Trans Jakarta, aku berbelok masuk ke Stasiun Gambir.

Aih, singkat sekali. Tapi aku bersyukur, akhirnya bisa kembali menjejaki Jakarta. Beberapa bulan lalu, meski ke Kota Tua, tak sempat aku berkenalan dengan Stadhuis. Nanti, kalau waktuku agak longgar dan bisa seharian menjelajah, aku ingin ke Pelabuhan Sunda Kelapa, merasai kegagahan masa lalu Jakarta. Nanti.



dilanjutkan 20 September 2013.
Jadi ingin berdendang, ke Jakarta aku, 'kan kembaliiiiii~~
no photos, mau diupload kameranya ketinggalan di kantor.


Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi