Surat Untuk Anakku (1)

Untuk engkau, yang lahir dari rahimku.

Anakku, sebelum tuntas membaca ini, ijinkan aku minta satu hal saja darimu. Sebutlah nama Allah banyak-banyak.

Hari masih pagi ketika aku memikirkanmu. Memikirkan, apakah kelak akan ada seorang manusia yang akan lahir dari rahimku? Usiaku 24 tahun saat menulis ini. Beberapa sahabat bahkan sudah bisa mengajak anaknya berlari. Aku masih menunggu, kapan kiranya Tuhan mempercayaiku.

Matahari pagi ini bersinar cerah sekali, semoga engkau dapat merasakannya juga nanti. Angi pelan saja berhembus, sampai-sampai tak ada tanda yang ditinggalkannya di kulitku. Dedaunan sesekali bergoyang. Beberapa kendaraan melaju, menyisakan suara gesekan antara aspal dengan roda. Berisik? Tentu. Aku sedang berada di halaman, merasai matahari. Di pelukanku, seorang bayi berusia beberapa hari, tengah tidur terlelap. Sesekali bibir mungilnya bergerak lucu. Ia juga menggeliat saat merasa tak nyaman dengan gendonganku yang belum ahli. Matanya terpejam, beberapa kali ada kerut di keningnya. Mungkin silau, kuterka. Ia sengaja sedang kumandikan dengan cahaya. Begitu para dokter merekomendasikan padaku, agar mengajaknya bertemu matahari setiap pagi.

Tentu, itu bukan engkau, Nak...

Ingin kuceritakan padamu tentang bayi ini, salah satu dari banyak hal yang kuingin engkau tahu. Aku memanggilnya Fahri. Sebetulnya, aku sendiri tak tahu namanya. Semalam, ia juga tidur bersamaku. Gelisah sekali tidurnya! Beberapa kali terbangun. Aku memberinya susu botol, ia menyedotnya dengan lahap. Kelak, kalau kaupun sudah punya anak, kau akan bahagia sekali melihatnya lahap seperti itu, Nak! Ketika ia menangis tengah malam, kuayun-ayunkan dia hingga lelap, kemudian kuletakkan kembali di kasur. Kutepuki badannya dengan lembut dan kuelusi rambutnya hingga aku sendiri terlelap. Berulang kali aku melakukan aktivitas yang serupa malam tadi.

Kemudian ia membangunkanku shalat Subuh. Ia tak menangis, hanya gelisah sedikit. Selepas shalat, kuhadiahi ia dengan shalawat-shalawat. Ia tak tidur lagi setelahnya. Aku yang mengantuk, terpaksa mengikuti ritmenya saja.

Nak, ada banyak sekali manusia di bumi ini. Dan, ada banyak pula bayi yang seperti Fahri. Bayi laki-laki yang ada dalam gendonganku ini, tak pernah mengenal kedua orangtuanya. Akupun sama tak tahunya dengan Fahri. Sebentar, Fahri menggeliat... ia hampir menangis. Aku jadi berpikir, apakah anak yang baru berusia tak kurang dari sepekan ini sudah bisa merasakan sakit dan kehilangan? Ketika berpikir seperti ini, beberapa air mataku jatuh. Aku menangis untuk Fahri.

Nak, orangtua Fahri sepertinya belum mampu untuk merawat dan mengantarkan Fahri sampai dewasa. Mereka bahkan pergi begitu Fahri melihat dunia. Tak perlu kaget, Nak. Di masaku ini, banyak bayi yang seperti Fahri. Aku menontonnya di beberapa berita di televisi dan membacanya di koran-koran, bahwa banyak bayi yang dibuang oleh orangtuanya. Aku sendiri tak pernah menyangka, salah satu dari bayi-bayi itu, kini ada dalam pelukanku. Oo, Fahri... apa kau merasakan kesedihan? Mungkin aku saja yang sedih saat ini.

Anakku, apakah kau memikirkan apa yang kupikikan? Aku memikirkan bagaimana Fahri melalui hari-harinya setelah ini. Dapat kau bayangkan serupa apa? Akalku tak sanggup menembus tabir takdir itu.

Anakku, entah ketika engkau membaca ini, kita masih bersama atau tidak. Namun aku harap, kelak engkau dapat menjadi pengasih bagi bayi-bayi seperti Fahri. Beri ia kehangatan orangtua yang tak pernah mereka dapatkan. Mereka memang bukan yatim-piatu, namun rasanya... kalau aku ada di posisi mereka... menjadi yatim-piatu adalah lebih baik dibanding kehadiranku tak pernah diharap oleh orangtuaku sendiri.

Sebentar, kubawa dulu Fahri masuk ke dalam. Fahri mulai menangis lagi, namun sekarang sudah tenang. Sebotol susu sedang dinikmatinya. Aku bersiap berangkat ke kantor.

Anakku, bersyukurlah banyak-banyak... dan jadilah pengasih penyayang, seperti Tuhan mengisyaratkan dalam nama-namaNya yang Agung.



25 September 2013
Ada lagi rasa sakit itu.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi