Serang : Dari Alun-Alun Menuju Kampung Ciloang

Aku mencari-cari sosok itu. Ya, sosok yang biasa menggunakan celana jeans dan kemeja yang sedikit digulung bagian pergelangan tangannya. Sosok yang tak lepas dari ransel. Mataku mengitari komplek Alun-Alun Serang yang saat itu dipenuhi lapak-lapak pedagang dan beberapa arena bermain. Sepertinya malam tadi ada pasar malam di situ. Namun sosok itu tak juga kutemukan. Kakiku melangkah keluar, menuju arena olahraga yang masih termasuk ke dalam komplek Alun-Alun Serang. Tempat yang setahun lalu sempat kusinggahi dan disuguhi cerita tentang Banten juga Suku Baduy dari seorang bapak yang duduk di sisiku saat itu. Sayang, aku tak ingat menanyakan nama. Wajahnyapun sudah terhapus dari memori.

Kembali ke sosok yang tengah kucari. Kakiku berhenti melangkah. Tepat ketika aku menengok ke sisi kiri, seorang perempuan dengan kerudung berwarna biru, celana jeans, kemeja, serta ransel ada di sana, beberapa meter jaraknya dari tempatku berdiri. Senyumku terkembang. Aha!

Ia menoleh bersamaan saat aku sudah berada di dekatnya. Kami tersenyum dan bertukar kabar. Namanya Yehan. Gadis Lampung yang merantau ke Serang, namun kami bertemu di Lampung hampir setengah tahun yang lalu.

Aku lapar, ia juga. Maka kami berdua mencari makan siang. Buatku ini rapel antara sarapan dan makan siang. Soto tangkar jadi pilihan kami. Di sela-sela lahapnya kami menyantap soto tangkar, kami bertukar cerita. Tentang beberapa rencana berlibur, tentang dunia tulis-menulis yang sedang kami geluti. Ah, kupikir gadis ini selalu terlihat riang. Lihat langkahnya yang ringan itu! Ya, seolah-olah ketika melangkah ia sangat ringan sekali. Orang yang cocok jadi pejalan. Menurutku begitu.

Selepas menyantap soto tangkar, kami menuju Rumah Dunia. Memang Rumah Dunia yang menjadi tujuan kami. Yehan akan ikut kelas Bahasa Jerman. Aku datang untuk ikut Kelas Menulis. Angkot berhenti di Kemang. Diperjalanan, Yehan bercerita tentang seorang nenek penjaga perlintasan kereta. Kami sempatkan mampir sebentar di rumahnya. Kebetulan, Nenek (sapaan akrab untuknya) ada di muka rumah, sedang membersihkan tumpukan gelas air mineral. Sementara itu, dekat perlintasan kereta, berdiri seorang lelaki paruh baya. Yehan bilang, itu adalah anak sang Nenek, biasa disapa dengan sebutan Mang Udin.

Yehan menyalami Nenek. Ditanyainya kabar Nenek lalu duduk di bangku kayu. Aku turut serta. Nenek berbagi cerita sambil mengunyah inang. Aku mendengarkan saja obrolan Yehan dan Nenek. Tak lama, Nenek berteriak. Mang Udin berlari mendekat ke perlintasan sambil membawa papan tanda, lalu diayunkannya papan tanda itu sampai kendaraan dari kedua arah berhenti beberapa jengkal dari perlintasan kereta. Hanya selang beberapa detik, sebuah kereta ekspres melintas.

Kami berdua pamit, melanjutkan berjalan kaki menuju Rumah Dunia di Kampung Ciloang yang tak lagi jauh. Yehan melanjutkan ceritanya tentang Nenek. Katanya, usianya menginjak 80 tahun. Sudah lama Nenek menjagai perlintasan kereta yang tak berpalang itu. Hampir setiap jam ia keluar rumah dan mengangkat papan tanda agar pelintas jalan dapat tahu kalau ada kereta yang lewat. Kalau Mang Udin ada di rumah, biasanya Mang Udin turut membantu. Yang membuatku salut, Nenek tak pernah mendapat upah pemerintah untuk apa yang dikerjakannya itu.

Tuhan menitipkan banyak orang baik di bumi. Pelajaran yang semakin menguatkanku kalau orang-orang ikhlas itu ada dan tidak sedikit jumlahnya. Beruntung aku berjalan bersama Yehan di Minggu siang yang tak cerah itu. Hingga rasanya, aku tak kuat menahan haru.

Perjalanan, nyatanya bukan tentang seberapa banyak tempat yang bisa kita langkahi. Tapi berapa banyak langkah kita mampu semakin melembutkan hati.

Comments

saryahd said…
Semoga nenek dan mang udin selalu dibahagiakan Tuhan :')

Lagi jalan-jalan di blog mak Intar untuk SB 2014. Good luck ya :)
Unknown said…
Aamiin Mak Sary. Tuhan sayang sama orang-orang baik :)
Nenek itu sering kisahnya dimuat di majalah, dan pernah di datangkan ke acara HITAM PUTIH looh mbak

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi