Yang Ditelan Waktu

Kau sudah seperti sinyal operator seluler yang tiba-tiba hilang!

Di perjalanan kita yang terakhir saat menuju perkampungan Baduy, kau berulang kali mengajakku bicara hingga aku lupa akan rasa lelah yang menggelayuti kakiku. Katamu, aku aneh lantaran di pertemuan kita yang pertama, aku langsung berkata, kalian yang tinggal di sini beruntung sekali. Padahal kita belum saling mengenal nama. Waktu itu aku yang lebih banyak bicara. Kau diam saja. Mungkin mendengarkan, atau bahkan mungkin mengacuhkan aku, orang asing yang aneh itu.

Pertemuan kitapun masih bisa dihitung jemari tangan dengan sedikit obrolan ringan. Kau tak banyak bicara, namun aku tahu, kau memikirkan banyak sekali hal. Betul seperti itu, kan? Kau mengirimiku satu atau dua tulisanmu, meminta masukan dari aku yang sama baru belajarnya denganmu. Namun seenaknya saja kupreteli tulisanmu, mengoyak kalimat demi kalimat yang bisa jadi susah payah kau sulam. Namun di suatu hari, aku disadarkan bahwa kualitas tulisanmu jauh berkembang melebihi tulisanmu yang pertama kali kau perlihatkan padaku. Kau berbakat menulis. Katamu, kau menikmati membaca buku-buku cerita. Dan dari situlah kau belajar bagaimana bercerita.

Karena aku tak tahu itu hari terakhir kita jumpa
Ah, entah mengapa, saat kau bercerita ringan tentang rencanamu menikah, aku merasa ada kesedihan yang terselip. Kau mulai berbagi tentang kehidupan pribadimu padaku dan beberapa orang teman seperjalanan sewaktu kita menuju perkampungan Baduy. Kau bercerita tentang adat yang hingga kini masih belum kupahami. Tentang setelah kau menikah, maka kau akan hidup di perkampungan adat istrimu. Tentang sinyal operator seluler yang tak sampai di sana. Tentang cita-citamu membangun taman bacaan.

Tunggu, apakah kau akan berhenti mengusahakan impianmu? Kuharap tidak, karena itu membuatku, membuat teman-temanmu akan bersedih. Kami akan kehilangan seorang teman seperjuangan. Tidak akan seperti itu, kan?

Namun ketika malam tadi kau mengucap salam perpisahan di beberapa jejaring sosial dan hanya dalam beberapa menit, kau hilang seolah ditelan waktu, rasa sedihpun langsung menyeruak di hatiku, juga di hati teman-temanmu. Entah apa yang membuat kami merasa begitu kehilanganmu. Secepat itukah? Ah, seandainya aku tahu bagaimana rupa takdir, tentu sudah kumanfaatkan waktuku kemarin untuk kita berbincang.

Tapi bagaimanapun, aku senang pernah mengenal orang sepertimu. Sudahlah, aku tak perlu bicara lebih banyak karena kaupun mungkin tak membaca ini. Aku tak tahu kapan kita bisa berjumpa dan berbagi cerita lagi, tapi kalau kau ada kesempatan, singgahlah ke tempat kita selalu bertemu. Di sana, akan selalu ada teman-teman yang menunggumu datang.

Selamat menempuhi hidup yang baru, kawan!


Dan persahabatan bukanlah satu hal yang bisa diukur dari satu atau dua pertemuan, atau seberapa sering kita melangkah bersama, atau seberapa lama saling mengenal. Meski sedih, aku yakin tidak ada yang sia-sia dari pertemuan kita yang singkat.

Untuk seorang kawan, Abdul Mulky.




Comments

rudirustiadi said…
Abdul Mulky, we miss U, pertemuanku dengannya juga lebih banyak dari jari yang ku punya. tapi berkesan banget.
Unknown said…
terharu sangat aku membacanya? biarlah takdir yang akan mempertemukan kita. Aish.. aku lebay banget ya.!! maaf, saya teh. lagi belajar ilmu menghilang dan kudu bertapa di tempat yang sunyi. heheh Miss U All..
Mugniar said…
Semoga memperoleh banyak berkah di tempat yang baru dan persahabatan kalian menjadi kenangan indah :)
SERIUSSS kak Uky mau nikah? waah barakallh ya kak, bakal kangen kakak

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi