Seba Baduy : Hening Di Antara Hiruk Pikuk

Selepas Magrib, aku dan temanku, Yehan, berjalan kaki dari Ciceri menuju Alun-Alun Serang. Butuh sekitar 20 menit untuk meniti trotoar menuju Alun-Alun. Ada banyak hal yang bisa ditemui ketika kita memutuskan untuk berjalan kaki ketimbang menggunakan kendaraan. Seperti yang kutangkap sewaktu menyusuri trotoar di Serang malam itu; udara malamnya yang pengap, tidak jauh berbeda dengan udara Serang di siang hari, trotoar yang berlubang di beberapa bagian juga helaan deru kendaraan bersahutan dengan klakson yang juga sering dibunyikan. Serang malam Minggu kemarin bagiku pengap dan bising.


Tapi kuakui, aku beruntung sekali malam itu. Perjalananku ke Serang dihadiahi kejutan oleh Tuhan. Setelah dua puluh menit perjalanan, aku dan Yehan sampai di Alun-Alun. Di sini, manusia seperti tumpah ruah. Anak-anak asyik mengayuh becak mini, mandi bola atau bermain gelembung sabun, tertawa lepas khas anak-anak. Ada yang hanya duduk sambil bercengkerama, menikmati seni tawar menawar barang yang dijajakan para pedagang, atau menikmati sajian kuliner aneka rupa. Aku dan Yehan melintasi keramaian itu, bergerak menuju Pendopo Provinsi Banten. 

Malam itu, pintu gerbang Pendopo Provinsi Banten dibuka lebar-lebar. Ada bentangan spanduk yang menyapa para pelintas jalan. Bagiku, spanduk itu cukup menyita perhatian : Seba Baduy 2014. Tradisi Seba adalah perwujudan rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil ladang yang melimpah ruah dan dilaksanakan setelah Kawalu berakhir (bulan puasa menurut kepercayaan Baduy yang berlangsung dalam 3 bulan). Biasanya, mereka akan berjalan kaki menuju ibukota Kabupaten Lebak (Pendopo Lebak) dan ibukota Provinsi Banten (Pendopo Provinsi Banten, Serang) dengan membawa hasil ladang mereka. Ini yang kusebut keberuntungan atau hadiah dari Tuhan! Aku beruntung sekali datang ke Serang tepat saat masyarakat Baduy sedang melaksanakan Seba di Serang, yang pelaksanaannya hanya setahun sekali.

Seba Baduy 2014
Di depan pintu gerbang, beberapa orang berbaju hitam dengan ikat kepala dari kain batik warna biru tampak duduk-duduk santai. Beberapa orang lainnya dengan penampilan serupa berjalan agak tergesa masuk ke dalam komplek Pendopo. Aku dan Yehan ragu-ragu untuk masuk ke dalam. Aku tidak tahu apakah acara Seba Baduy bisa dinikmati publik, tapi kalau tidak dicoba masuk maka aku kehilangan momen yang terjadi setahun sekali ini. Jadi kuputuskan untuk turut masuk ke komplek Pendopo. Ternyata, acara Seba ini bisa dilihat masyarakat umum. 

Di dalam, rupanya orang-orang berpenampilan serba hitam dan berikat kepala tidak hanya satu dua jumlahnya, tapi ribuan! Mereka tersebar di sudut-sudut taman juga di tenda-tenda yang disiapkan pemerintah. Tentu saja aku takjub! Orang-orang berpenampilan serba hitam dengan ikat kepala biru tua yang semuanya adalah laki-laki itu adalah masyarakat Baduy. Masyarakat dari Suku Baduy Luar tepatnya. Di antara masyarakat Baduy Luar, juga terlihat masyarakat dari Baduy Dalam. Memang lebih sedikit jumlahnya malam itu. Mereka menggunakan pakaian berwarna putih atau hitam, dengan ikat kepala warna putih. Pakaian khas Suku Baduy Dalam.

Pemimpin Adat Baduy Dalam dan Luar berfoto bersama Rano Karno
Acara Seba dimulai sekitar pukul 19.00 WIB. Dalam acara yang berlangsung malam Minggu (4/5) kemarin, Wakil Gubernur Banten, Rano Karno, tampak hadir menerima kedatangan masyarakat Baduy ditemani jajaran pejabat daerah. Ribuan masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Luar duduk rapi di bawah tenda. Mereka duduk dalam barisan yang teratur, sampai-sampai tampak seperti memiliki wajah yang serupa. 

Apa yang terbayang ketika ribuan orang berkumpul? Keramaian dan hiruk pikuk. Namun di Pendopo Banten malam itu, aku menemukan hal lain. Ribuan masyarakat Baduy duduk dalam hening di acara Seba. Tidak ada yang saling bicara ataupun berbisik. Jauh berbeda dengan aku yang malam itu tak bisa diam; bergerak membidikkan kamera, mengobrol demi melupakan rasa lapar dan mengantuk, bercanda dan tertawa bersama teman-teman yang kutemui malam itu. Jauh berbeda dengan ribuan orang yang malam itu juga tumpah ruah di Alun-Alun menikmati kebersamaan dengan keluarga, teman atau kerabat. Jauh berbeda dengan jalanan Kota Serang yang malam itu hiruk pikuk dengan deru kendaraan bermotor dan raungan klakson yang tak henti-henti. Ya, semacam kemewahan yang tidak aku atau kita miliki di antara hiruk pikuk modernisasi yang kita diami. (Kuswointan)






Comments

ih hebat ya bisa syahdu gini, tan. sopan santun sekali
Santi Dewi said…
waahh.. senangnya bisa menyaksikan acara seba Baduy. Saya sendiri yg org Serang, blm pernah menyaksikan acara ini :)
Anonymous said…
Grrrr...! Ngiri. Hhaa... :D

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi