Di Rawa-Rawa

Sungguh, percayalah padaku. Bisa jadi, di dalam hutan belukar atau di rawa-rawa yang tak terurus, dahulunya pernah ada bangunan tempat orang-orang berbagi cerita atau juga cita-cita.

gambar milik: www.henzr.blogspot.com
It did happened. Suatu kali, kalau ada kesempatan, aku ingin mengajakmu menginap di tempatku. Kemudian di suatu pagi yang cerah, aku akan menemanimu menyusuri satu jalan yang ditumbuhi palem botol di salah satu sisinya. Jalan itu tak lebar, tapi juga tak sempit. Cukup untuk dua mobil ukuran sedang saling berjajar, dan satu becak yang menyempil di antara keduanya. Tak terlalu lebar, bukan? Tapi bukan tentang jalan itu yang ingin kuceritakan meski banyak kenangan yang ingin kupunguti lagi setiap melintas di atas aspalnya. Juga bukan tentang rumah yang duapuluh tiga tahun lalu pernah kuisi dengan cerita. Ini tentang sebuah rawa, dengan ilalang setinggi orang dewasa. Belasan tahun lalu, guruku mengajariku menulis di sana.

Dulu ada sebuah jembatan dari semen, seolah menjadi pintu gerbang yang mengucapkan selamat datang pada kami, siswa-siswi SDN Kepandean II Indramayu, setiap pagi. Sungai di bawahnya berwarna cokelat susu. Setiap musim kemarau, tanah di bawahnya retak dan hampir tak ada kehidupan. Namun ketika hujan baru sedikit menyapa, beberapa ikan kecil, yuyu*, kecebong, dan bunga-bunga kangkung bermunculan gembira. Ada juga rumpun kembang sepatu yang menjadi pagar hidup, beberapa batang tanaman kecipir menyelip di antaranya. Setiap kali musim bunga datang, kembang-kembang sepatu tanpa malu merekah, membuat pagar itu jadi berwarna merah dan hijau.

Dua pohon trembesi kokoh berdiri di sisi utara dan selatan lapangan. Akar-akarnya menonjol keluar. Saat menunggu pergantian kelas atau jam pelajaran, di akarnya aku dan beberapa teman duduk-duduk sambil menguji hapalan perkalian. Ada sebatang pohon kapuk, yang setiap kali masanya berbunga, kami punguti guguran bunganya. Bentuknya yang mirip seperti sontong** kami jadikan bahan untuk bermain masak-masakan. Dan setiap kali kapuk-kapuknya matang, kami bisa bermain seolah-olah sedang berada di negeri bersalju.

Lapangan sekolahku luas. Dipakai upacara bendera untuk siswa 6 kelas masih juga menyisakan tempat kosong. Cukup untuk dua atau tiga sekolah dasar melakukan upacara bersama. Dipakai bermain sepak bola, masih bersisa separuh lagi. Tapi seluas apapun lapangan itu, aku dan teman-temanku tak pernah lelah berlarian mengitari lapangan kalau sedang bermain bonbonan***. 

Sekolahku menempati bangunan dengan 5 ruang kelas. Biasanya siswa kelas 2 harus bergantian menggunakan ruang kelas dengan siswa kelas 1. Bentuk sekolahku seperti huruf L, dengan undakan di sudut siku-sikunya. Di situlah tanaman-tanaman yang kami bawa untuk tugas sekolah dijejerkan oleh ibu guru. Ada sebuah lonceng besi yang digantung kepala sekolah di depan ruang guru. Kami suka berebut untuk membunyikannya dengan tongkat kecil yang juga dari besi. Seiring berjalannya waktu, saat aku naik ke kelas yang lebih tinggi, lonceng itu kemudian dipensiunkan dan hanya berfungsi sebagai hiasan. Tugasnya digantikan oleh bel yang bunyinya mirip bel penjaja es krim.

Di sekolahku hanya ada satu warung yang menjual makanan; aneka snack, nasi kuning, rumbah****, es loli, limun, bahkan potongan semangka, tebu atau kacang kedelai kerap juga menghiasi meja besar tempat Yu Dat berjualan. Kalau sedang musim kemarau, kami asyik menghisap cairan manis tebu sambil ngaso***** di bawah pohon trembesi.

Banyak hal yang menarik dari sekolahku. Pak Ato, guru olahraga yang merangkap sebagai guru seni kerap mengajak kami, murid-muridnya, menjelajah. Berjalan berkilo-kilometer, masuk semak-semak, hanya untuk mengunjungi Taman Makam Pahlawan. Beliau juga kerap membuat pertunjukan kecil. Kami satu sekolah disuruhnya berkumpul membuat lingkaran. Beliau lalu menaruh sebuah kurungan ayam di tengah-tengah kami. Tak lama, suara musik tarling berkumandang diiringi seorang anak kecil (aku yakin itu adik kelasku) yang asyik menari, kemudian ia masuk ke dalam kurungan dan secara ajaib, dalam waktu beberapa menit saja, sudah berganti penampilan! Belakangan aku tahu kalau apa yang Pak Ato gelar waktu itu adalah pertunjukan sintren, salah satu kesenian khas daerah pantura.

Ya, banyak hal yang menarik dari sekolahku. Saat ada jeda pelajaran atau saat tak ada guru, aku dan teman-teman bisa berlarian ke halaman belakang sekolah yang langsung berbatasan dengan sawah. Hanya berlari dan tertawa saja sudah membuat kami senang. 

Ah, seandainya kenangan bisa dipanggil kembali dalam bentuknya yang nyata, aku ingin mencatat banyak hal tentangnya. Tak ada yang tersisa sekarang. Bangunan sekolahku sudah rata dengan tanah dan ditumbuhi ilalang dengan genangan air di mana-mana. Tidak ada rumpun kembang sepatu, pohon trembesi dan kapuk. Tidak ada warung Yu Dat dan cita rasa masakannya yang tersisa di lidah. Bahkan tidak ada satupun foto yang masih kusimpan tentang sekolahku, dulu ataupun sekarang, karena ketika aku pulang terakhir kali, aku bahkan tak ingat untuk bisa mengabadikan rawa dengan ilalang itu.

Percayakah kamu kalau suatu rawa bisa jadi dahulunya adalah sebuah istana? 





Daftar istilah :
*          : sejenis kepiting sungai
**        : sejenis cumi-cumi, hanya lebih kecil dan gemuk
***      : permainan tradisional di mana ada dua tim yang saling memperebutkan wilayah kekuasaan
****    : mirip seperti pecel di Jawa, namun dengan bumbu kacang yang lebih encer, pedas, dan                   asam
*****  : istirahat



Tulisan ini diikutsertakan dalam A Place to Remember Give Away nya Emak Nurul Noe.


Comments

noe said…
Eh... Aku ikut membayangkan sekolah SD ku dulu...
Ini yg aku suka dari sebuah seskripsi, imajinasi pun meliar...
Santi Dewi said…
saya kira kepandean di kota saya hehehe... soalnya di kota saya juga ada daerah namanya kepandean :)
Unknown said…
Mba Santi di kota mana gitu? Curiga di Serang... hihi. Soalnya kaget pas ke Serang ada nama daerah Kepandean juga. Kayak di kota sendiri jadinya :D
Unknown said…
Mba noe: ahihi... selamat meliarkan imajinasi!
Yehan Minara said…
rindu dan Inget kampung jadinya pengen pulang ..... hihi
Aih, anganku pun ikut mengembara ke masa lalu seperti ini :)

Terima kasih sudah berpartisipasi dalam GA ini. Good luck.
Ninik Setyarini said…
selamat ya mbak sudah menang, sukses teruss :)
kuswointan said…
@Yehan : Pulanglah, Han. Selagi bisa :)

@Mak Uniek : Makasih Mak Jur udah singgah ^^

@Mak Ninik : Terima kasih, Mak doanya :) Sukses juga utk Mak Ninik :)

Popular posts from this blog

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...