Surat tentang Rasa Damai Itu

Pernahkah engkau merasai damai, hingga engkau tak tahu ia mengajak satu keping hatimu pergi?

Aku baru saja memikirkanmu di beberapa waktu terakhir ini Pak. Tentang banyak hal yang tak bisa kita nikmati bersama dan seringkali tentang impianku yang tak bisa kau saksikan. Aku bukan anak yang bisa memenuhi janji atau benar katamu dulu, aku tak punya gairah untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi impianku. Kurasa, kata-katamu dulu itu ada benarnya. Ah, andai hikmah itu sesuatu yang bisa langsung kita baca, tentu kita semua menjadi manusia yang bijaksana!


Sungguh setiap kali aku duduk di pinggir jalan itu, wajahmu seolah menyapaku lewat udara yang pekat. Seolah ada yang memutar pita memori 3 tahun yang lalu, saat hujan turun dengan deras dan air mataku yang turut meleleh di penghujung hari itu. Ingin rasanya kulakukan apapun demi bisa berada di dekatmu segera. Namun bukankah aku tak bisa melawan Tuhan? Maka Tuhan mengantarku pulang dan disisipkanNya perasaan damai itu di hatiku. Hujan masih turun, kendaraan masih lalu lalang dan aku dininabobokan perasaan damai yang baru pertama kali kurasai.

Di sepertiga malam, Tuhan memenuhi janjiNya membangunkanku, menyiapkan satu mobil yang bisa memangkas waktu perjalanan Bandung-Indramayu. Tiga setengah jam kulalui ditemani perasaan damai yang lagi-lagi tak bisa kuartikan. Kau tahu Pak, rasanya seperti ada yang berbisik bahwa semua akan baik-baik saja dan itu membuatku sedikit tegar melawan ketakutanku sendiri. Kau tahu Pak, rasanya seperti ada potongan puzzle yang akan diambil dari hatiku namun aku tak perlu menimbang keikhlasan untuk melepaskannya pergi. 

Pagi di kampung kita bagaikan hendak menyambut hari raya; langit yang cerah, keciap burung yang merdu, pekarangan yang bersih dan rumah yang kau tempati dua bulan itu kurasai begitu berbeda. Rumah sudah sangat rapi sepagi itu. Sekar berangkat mengikuti ujian masuk SMA. Aku mengisi bak air hingga penuh. Tanpa perlu banyak bicara, kami siapkan kasur untukmu di ruang tengah. Kami seperti hendak menyambut hari yang besar.

Lalu kudengar sirine ambulans di kejauhan. Tak lama ambulans itu berhenti di hadapanku yang sedang mengangkuti air sumur. Ini seperti sebuah mimpi. Aku ingin bangun dan memastikan ini memang hanya mimpi. Namun tak bisa. Melihatmu terbaring di tandu memaksaku memahami kalau ini bukan alam mimpi. Aku tak pernah ingin kepulanganku adalah untuk merelakanmu pergi begitu jauh.

Pak, apakah waktu itu engkau masih mendengar suaraku? Tentu tidak. Perjuanganmu mempertahankan tauhid jauh melampaui keinginanmu membersamaiku hingga aku menghadiahi impian-impian kita. Aku terlalu cengeng hingga menangisimu saat kau dibaringkan di kasur yang telah kami siapkan. Aku terlalu cengeng hingga menangisimu di sela tilawahku yang masih belum bagus menurutmu. Aku terlalu cengeng untuk menghitung ikhlasku melepasmu. Namun sungguh Pak, aku merasa begitu damai hingga aku tahu inilah saat terakhirku menatap wajahmu, menggenggam tanganmu, pun memelukmu tanpa ragu. Aku pernah merasa akan kehilanganmu berkali-kali dalam tahun-tahun yang berat itu. Maka aku tak perlu ragu untuk ikhlas ketika Izrail betul-betul menjemputmu kali ini, bukan?

Ah Pak... di hari-hari belakangan ini engkau menyapaku. Dalam hembusan angin di jalan itu, dalam bunga tidurku, dalam renungan-renunganku akhir-akhir ini. Dan aku tak pernah menduga akan merasai kedamaian serupa ini lagi, tepat di tahun ketiga engkau pamit dari hidup kami. Pak, adikmu telah turut dijemput. Tepat di tiga tahun kami kehilanganmu.

Pak, ingin rasanya menemuimu nanti. Kuharap, Tuhan bisa menghimpunkan kita di suatu hari kelak, di tempat segala harap menemui pemilikNya.

Comments

johanurma said…
>_<

Saya selalu belajar banyak dari Intan

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi