Monokrom

Di sini, semuanya mendadak menjadi monokrom; hitam dan putih. Atau di antara keduanya; kelabu.


Matahari sudah bergeser ke barat beberapa derajat dari titik tengahnya ketika saya dan teman-teman turun dari elf. Perjalanan dari Terminal Pariuk Aweh di Kabupaten Lebak- Banten, menuju Terminal Ciboleger kami tempuh dalam waktu satu jam, cukup untuk istirahat menyimpan energi. Akhirnya kami sampai di Ciboleger siang itu (29/03), terlambat satu jam dari perkiraan semula. Ciboleger adalah terminal terakhir menuju perkampungan Suku Baduy. Semacam entry point sebelum memulai perjalanan sepanjang 13 kilometer dengan berjalan kaki. Di sinilah tempat segala sesuatunya dimulai dan dicek kembali.

Starting point menuju Baduy bisa dimulai dari Stasiun Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Ada kereta dari Jakarta atau Serang untuk menuju stasiun ini. Namun, untuk sampai di Ciboleger, kita harus naik angkutan kota (angkot) ke Terminal Pariuk Aweh. Angkot ke Terminal Pariuk Aweh bisa mudah ditemukan di depan stasiun. Tarifnya Rp 4.000,-. Hal yang perlu diperhatikan ketika hendak ke Baduy adalah, elf menuju Ciboleger atau Pariuk Aweh hanya ada sampai pukul 13.00 WIB, jadi harus betul-betul memperhitungkan waktu. Pariuk Aweh ke Ciboleger ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan tarif elf Rp 20.000,-. Siapkan kesabaran ekstra ya, karena elf baru akan berangkat ketika sudah terisi penuh.

Udara siang itu pengap; panas dan membuat gerah. Kami langsung menuju salah satu warung nasi. Ketika kami masuk ke dalam warung sederhana itu, beberapa rombongan tampak sedang bersiap. Mereka akan naik lebih dulu. Sementara rombongan kami yang jumlahnya kecil itu menggeletakkan ransel kami di lantai lalu duduk menggelosor agar bisa sedikit bersantai. Saya langsung menuju meja saji. Sejak pagi, baru beberapa potong biskuit yang masuk ke dalam lambung. Teman-teman saya, Mba Isti, Maris, Mas Fajar, Alimin, Saddam, dan Bang Uky sudah sempat mengisi bahan bakar di Terminal Pariuk Aweh sewaktu menunggu elf berangkat. Tinggal saya dan Bang Jack yang harus mengisi bahan bakar.

Namun Bang Jack tampak sibuk mengobrol dengan dua orang laki-laki berpakaian putih dan hitam, dengan ikat kepala berwarna putih. Belakangan, kedua laki-laki itu saya ketahui bernama Idong dan Yayat, dua orang Suku Baduy Dalam yang akan mengantar kami menuju Cibeo, kampung mereka. Keduanya masih cukup muda, berumur 18 tahun. Idong sudah berkeluarga, sementara Yayat masih single. Mereka ikut makan bersama kami dengan lauk pauk yang sederhana; nasi dan telur goreng, ditambah sayur tahu yang diganjar harga Rp 7.000,- saja per porsinya.

Bisa merasakan "nuansa" nya?
Setelah mengepaki ulang bawaan kami yang bertambah dengan bahan makanan, kami bersiap dan berdoa bersama. Perjalanan kami nanti mungkin akan sangat menyenangkan, mungkin juga berat meski kami tak mengharapkannya. Idong dan Yayat kami minta bantuannya untuk membawa beberapa barang. Mereka adalah guide sekaligus porter yang dididik alam. Percayalah, dalam perjalanan yang mungkin akan memakan waktu 5 jam dengan berjalan kaki melintas bukit, tak akan ada satupun keluhan keluar dari mulut mereka.

Dan saya mulai merasakan nuansa monokrom, bahkan sejak pintu gerbang menuju perkampungan Baduy ada di depan mata.

TIPS : trekking menuju Kampung Cibeo membutuhkan kesiapan fisik dan mental. Jalan setapaknya naik-turun, kadang berbatu dan tanah yang basah. Pakailah sepatu atau sandal gunung dengan kaos kaki kalau bisa. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari kulit luka karena tergores ranting atau duri. Jangan lupa siapkan plester penutup luka dan balsem untuk menghindari kram ya! Perhatikan juga kenyamanan alas kaki. Ukuran yang tidak pas atau bahan yang tidak nyaman bisa membuat perjalanan semakin berat. Siapkan juga air minum yang cukup meski di sepanjang perjalanan mudah sekali menemukan sumber air bersih yang jernih. Untuk menjaga energi, tak ada salahnya mengantungi permen manis atau cokelat. Tak lupa, sisipkan jas hujan di dalam tas ya, karena hujan bisa saja turun tiba-tiba.

Gajeboh , jembatan pertama menuju perkampungan Baduy
Lima jam perjalanan dengan berjalan kaki. Cukup mampukah saya melintasi medan yang katanya berbukit-bukit itu? Syukur, tak sampai 5 jam, kami sudah masuk Kampung Cibeo, perkampungan Baduy Dalam tempat kami akan menikmati penghujung hari. Saya cukup kelelahan bahkan sempat hampir tak bisa berjalan karena kram yang tiba-tiba menyerang di tengah perjalanan. Saya juga ingin menyerah ketika harus melintasi Tanjakan Cinta yang seperti tak ada ujungnya. Namun di sinilah saya, berdiri tepat di depan jembatan yang memisahkan perkampungan terakhir Suku Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Saya berhasil. Kami berhasil.


Tanjakan Cinta oleh penduduk lokal disebut Tembong Kanjut. Ada mitos yang beredar tentang tanjakan ini, yang datang dari penduduk luar Baduy. Katanya, ketika menaiki tanjakan bersama pasangan, maka jangan lepaskan gandengan tangan dan jangan sesekali melihat ke belakang agar cerita cintanya langgeng. Namun faktanya, tanjakan ini hampir bersudut 90 derajat. Siapkan tongkat kayu yang bisa diperoleh di sepanjang perjalanan untuk menopang beratmu saat meniti tanjakan. Tak usah berpikir tentang berapa lama akan sampai di ujung paling atas tanjakan. Yang kau perlukan hanyalah terus melangkah dengan nafas yang teratur.

Cibeo merupa di hadapan saya sebagai perkampungan yang asri. Rumah-rumah sederhana dari anyaman bambu tanpa paku berjejer rapi. Tidak ada hiruk pikuk. Heningnya perkampungan hanya diisi suara tonggeret di kejauhan. Beberapa penduduk melongokkan kepala dari pintu, melihat ke arah kami. Mereka tersenyum sedikit, lalu kembali beraktivitas di dalam rumah. Tidak banyak bicara. Tidak banyak penduduk Baduy Dalam di kampung ini yang kami lihat. Bahkan perempuannya hampir-hampir tidak menampakkan diri. Selebihnya, di hari yang beranjak senja, kami mengisi keheningan dengan berbincang-bincang di antara kami, sambil menunggu Idong dan Yayat yang rupanya sigap menyiapkan makan malam di dapur yang menyatu dengan ruang utama, tanpa sekat.

Jembatan Akar. Kamera kamipun tak bisa menangkap banyak warna ^^
Saya baru merasa seperti ini; ketika nuansa menjadi begitu berbeda dari dunia yang saya diami selama ini. Bukan soal sunyi yang menjadi hal dominan di perkampungan ini. Lebih dari itu, saya merasa dunia tiba-tiba hanya memiliki dua warna yang harmoni; hitam dan putih, atau di antara keduanya. Rumah-rumah serupa dari bentuk, luas maupun tatanannya, tanpa cat sebagai pewarna. Tak hanya baju Idong dan Yayat yang berwarna hitam dan putih, namun semua penduduk di perkampungan ini menggunakan warna yang serupa, seragam. Tentu dengan ikat kepala yang juga berwarna sama. Saya bahkan sampai merasa pepohoan hijau yang mengelilingi kampung mendadak ikut menjadi kelabu. Seperti tidak ada dimensi lain untuk warna. 

Saya seperti ditarik ke dalam dongeng atau masuk ke dalam perkampungan para hobbit. Seperti ditarik ke dalam film era Charlie Chaplin; just black and white, jadul. Di sini arah gerak jarum jam menjadi tidak penting dan semua berjalan seirama alam. Entah bagaimana membahasakannya. Indah, damai dan kelabu dalam satu adonan sekaligus. Ya, hitam dan putih bahkan kelabu tak memberi ruang bagi sesuatu yang berasosiasi dengan dingin, kesedihan atau misteri. Di sini, kombinasi dan harmoni di antara warna-warna monokrom justru menghadirkan rasa damai sekaligus keindahan. Gambaran yang jauh dari kota yang sudah mengenal banyak warna, sesuatu yang terkadang bersifat sangat artifisial. Ah, seandainya aturan adat Suku Baduy Dalam yang melarang pengunjung untuk mengambil gambar itu tidak ada, tentu sudah saya sematkan gambar dalam tulisan ini agar rupa perkampungan itu bisa dinikmati berulang kali. Namun setiap keindahan tak mesti harus diabadikan lewat lensa kamera, bukan?

Dan seandainya dunia hanya memiliki sedikit warna, tentu tak akan mengurangi sedikitpun keindahan yang disisipkan Tuhan di dalamnya, kan? (Kuswointan)



(Foto-foto yang ditampilkan berasal dari kameranya Mas Fajar dan Saddam)

Comments

noe said…
Cakep.
Copas ke word email ke saya
pring said…
andai bisa kembali ke bintaro, aku mau ke sini dong...
Joe Ismail said…
saya tertarik dengan jembatan akarnya, unik sekali

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi