Katanya, Ini Surga [Catatan Perjalanan Krakatau : 3]

Sabtu, 24 Agustus 2013, pukul 13.00, tepat ketika matahari masih garang-garangnya membagi sinar, kami sudah berkumpul lagi di dermaga Pulau Sebesi. Beberapa kapal mesin tertambat, awaknya sigap menunggu kami melompat ke dalam lambung kapal mesin itu. Aku mulai terbiasa melompat ke dalam kapal, yang kunaiki kali ini adalam KM Sunjaya 1. Badan kapal bergoyang sesaat ketika kunaiki. Langsung aku duduk manis di sisi nakhoda, beberapa kawan memilih duduk di bagian atas kapal. Tak lama kapal mulai memecah gelombang, menuju Pulau Sebuku, yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari Pulau Sebesi.

Angin tidak terlalu kencang siang itu, langitpun bersih dan luas. Birunya langit bertemu jernihnya biru lautan di horison sana. Tak ada suara apa-apa selain deru mesin kapal dan celotehan kami. Hal ini membuat hati menjadi damai dan lapang. Bebas. Apalagi kata yang bisa dipadankan untuk menggambarkan betapa leganya hati ini? Aih... seandainya Bandung bisa setenang ini setiap hari, tentu aku makin cinta padanya.

Kapal bergerak tak terlalu cepat, membuatku kenyang menikmati suguhan yang ditawarkan Teluk Lampung. Beberapa pulau kecil terlewati, air yang kami lewati berganti dari biru pekat, menjadi lebih pudar, kemudian bening dan jernih, membuat kami dapat mengintip sedikit kehidupan bawah laut. Burung-burung camar bermanuver, menjajal kemampuannya menjemput rizki di lautan lepas. Pepasir di hadapan kami berkilauan disapai matahari. Mesin kapal dimatikan. Gelombang mendadak menjadi ramah. Kami sampai di Pulau Sebuku.

Pernahkah kau lihat surga dalam mimpimu?

Aku belum pernah melihat surga. Membayangkanpun baru sanggup sampai pada apa yang diterangkan dalam kitab suci. Katanya, surga diairi sungai-sungai, tamannya memukau dan syahdu. Aku mengimani itu. Namun, pantaskah bila kusebut apa yang baru saja kulihat ini sebagai surga dunia?

Dibantu awak kapal, aku turun dari kapal dan disambut entakan gelombang. Di bawahku, pasir-pasir pantai menggoda, membuatku sedikit kesulitan menapak. Aku memegang pundak Mba Isti, kawanku yang juga baru turun dari kapal. Bersama, kami berhasil menginjakkan kaki Pulau Sebuku.
Aku girang sekali. Belum pernah kulihat pulau seindah ini. Vegetasi mangrove menyapa. Batu-batu kecil seakan mengucap selamat datang pada kaki-kakiku yang mulai melangkah masuk ke Sebuku. Sebatang pohon yang tumbang menjadi aksesori alamiah yang melengkapi panorama indah pulau yang tak berpenghuni tersebut. Aku melangkah menjauh dari tempat kapal tertambat. Pilihanku tepat. Tak seberapa jauh dari tempatku berdiri, hamparan pasir nan putih menyambut kedatanganku.

Siang itu aku dihadiahi surga oleh Tuhan. Mataku terus menjelajah. Ada gradasi biru di lautan sana, sementara di sini, pasir-pasir putih berpadu dengan jernihnya air laut. Beberapa terumbu karang terlihat. Ikan-ikan kecil terjebak di antara karang. Aih, harus dengan kata seperti apa kulukiskan keindahan ini? Aku jadi menyesal selalu membolos setiap kali diajak belajar renang. Padahal, kekayaan Sebuku bisa kulihat kalau aku bisa renang dan ber-snorkeling ria bersama teman-teman lain. Namun bagiku, menikmati Sebuku sembari berjalan-jalan saja sudah anugerah yang patut disyukuri.

Hampir satu jam kami menikmati keindahan pulau yang memiliki luas 17,71 km² tersebut. Tak puas rasanya. Kalau dapat, aku ingin merasakan panorama malam yang ditawarkan Sebuku. Tak terbayang bagaimana indahnya menatap langit malam penuh bintang sembari tidur-tidur di pantai. Amboi, romantisnya!

Namun mesin kapal sudah kembali dinyalakan. Derunya seolah memanggil kami untuk kembali melanjutkan penjelajahan. Ombak masih tenang, angin berhembus semilir, langit yang cerah, serta dzikir-dzikir rasa syukur kami yang terbang melampau horison. Maka nikmat apalagi yang bisa kudustakan, Ya Rabb?

Ah di sini, surga itu Pulau Sebuku.





















Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi