Surat Untuk Kamu

Bahkan waktu, tak bisa mengelabui.

Kamu kah, anak kecil yang dulu kulihat sedang mengencangkan tali sepatu di mushola kecil itu? Yang kemudian kuajak bicara dan aku terpaksa meminjam kartu perpustakaanmu agar aku bisa meminjam buku di perpustakaan. Lalu setelahnya, ada beberapa hari yang kita lalui bersama-sama.
Aku kelas tiga SMA, berseragam abu-abu dan mengendarai sepeda. Kamu kelas tiga SMP, terkadang mengendarai sepeda, lebih sering berjalan kaki. Almamater SMP kita sama. Maka tak ada yang ragu kita ceritakan. Aku menuntun sepedaku, sementara kamu terus bercerita ; tentang kamu yang membenci sekolahku, tentang pemerintah yang tak bisa dimengerti apa maunya, tentang ayahmu, tentang rencana-rencanaku, tentang mimpimu, tentang Pariaman, tentang ibu yang kamu takzimi, tentang kakak-kakak laki-lakimu, gelisahmu... ah... banyak yang kita bagi, meski sesaat itu.

Teman-temanmu menjadi teman-temanku. Di masjid, kita belajar bahasa bersama, karena itu yang kubisa dibanding pelajaran SMP lainnya. Dan, aku senang mendengarmu lulus sekolah.

Seorang teman berkata, selepas kelulusan, kamu pernah datang ke sekolahku yang kamu benci itu. Mencariku. Dan aku tak ada saat itu, aku sedang menikmati kebebasanku sebelum resmi menjadi mahasiswa. Ah, rasanya hari itu ingin kuulang lagi : saat kamu tiba-tiba datang mencari, dan ingin mengatakan akan pergi jauh.

Dan kita tak jauh benar. Aku dapat PMDK di UPI, kamu mendapat beasiswa SMA di SMA Plus, di Cisarua sana. Tak jauh, sungguh. Dan, kita masih bertukar cerita : kehidupanmu di asrama, kehidupanku kala itu. Ah, sungguh benar aku merasa kamu adikku. Beberapa kesempatan kita bersua lagi, kamu yang datang ke kampusku yang sering kali untuk berlomba, aku yang menengokmu satu atau dua kali.

Saat ini, aku tidak tahu bagaimana kabarmu. Sesekali saja, seorang teman yang sekaligus pengagummu menghubungiku, meminta bertemu ; bertanya beberapa hal tentangmu. Tahu apa aku tentangmu? Tak banyak, terlebih aku tak ingin masuk dalam "urusan masa mudamu", masa merah muda-mu itu. Lucu rasanya melihatmu memasuki masa dewasa awal. Kegalauan yang coba kaututupi, impian-impian yang kian terlihat garisnya, garis-garis hidup yang mulai mewarna separuh wajahmu. Ah, menyenangkan melihat kamu, anak yang tengah menyimpul tali sepatu, kini mulai menjadi dewasa.

Apa kabarmu sekarang? Sungguh-sungguhkah kamu belajar ekonomi? Aku ingin, melihatmu suatu hari kelak, dengan beberapa impian yang sudah kamu genggam. Aku ingin, melihatmu tanpa percik-percik kebencian. Apa aku bisa mendapat kesempatan itu? Melihatmu berhasil melewati masa-masa sulit yang hadir sepanjang hidupmu itu, kemudian menjadi gemilang...

Apa kamu baik-baik saja, adikku?
Kakakmu, yang tak tahu lagi kabarmu, atau di mana kamu saat ini.


 R. Anshori J.
anak laki-laki yang menyimpul tali sepatu, yang di pertemuan pertama telah kumanfaatkan kartu perpustakaannya.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi