Jakarta, Flash Trip

Flash, memang perjalanan saya kali ini hanya sekejap saja, one day trip. Dibersamai teman semasa sekolah dulu, Fanny, kami memulainya dari Stasiun Bandung.

Fanny baru saja pulang dari Kalimantan, setelah 6 bulan lalu ditugaskan Total ke sana. Beberapa pekan lalu kami bertemu di Angkringan Mas Jo, dekat gedung MBA ITB itu, dan kami mengenang masa-masa studi wisata kala SMA dahulu. Planetarium, yang terletak di salah satu sisi Taman Ismail Marzuki Jakarta, tak luput dari obrolan kami malam itu, dan kami sepakat akan pergi ke sana suatu hari nanti. Jadi, perjalanan kami kali ini menempatkan Planetarium sebagai tujuan pertama dan utama kami. Bernostalgia.

Kami mendapat tiket kereta yang relatif murah untuk kelas bisnis, meski saya masih harus gigit jari lantaran mengincar tiket kereta kelas eksekutif yang sangat murah, yang berangkat paling pagi hari itu. Fanny bilang jangan yang lepas Subuh, khawatir terlambat. Jadi, kami memutuskan berangkat dengan kereta kedua, yang tiketnya sudah di tangan.

Karena malam sebelum keberangkatan saya masih tugas di luar, maka saya belum menyiapkan itenerary nya. Jadi, saya mengerjakannya dini hari, sambil googling ke sana kemari. Saya ingin ke Kota Tua. Dari dulu, saya tertarik dengan bangunan-bangunan yang menurut saya eksentrik. Kota Tua Jakarta memang masuk dalam wish list saya selain Kota Tua Semarang. Fanny tampaknya sepakat, dan karena waktu yang kami miliki sedikit sekali, jadi dua tujuan itu saja yang akan kami jelajahi.

Kereta terlambat sampai di Stasiun Gambir pukul 10.30, beberapa menit dari seharusnya. Tapi tidak apa-apa, karena pertunjukan di Planetarium yang kami tuju memang akan dimulai pukul 11.30. Tanpa menunggu lama, setelah keluar dari stasiun, kami menyetop bajaj, yang kemudian mengantar kami menuju Taman Ismail Marzuki di Cikini sana. Ongkosnya, cukup Rp 15.000,- saja.

Sesampai di TIM, karena masih memiliki banyak waktu, kami mencari penjual makanan dulu, maklum Fanny belum sempat sarapan, sementara saya sudah menghabiskan dua surabi oncom di kereta tadi. Di deretan warung makan di komplek TIM, Fanny memesan ayam bakar Bandung. Saya bilang, ngapain jauh-jauh ke Jakarta kalau mau makan ayam bakar Bandung. Sementara saya memesan es teler, yang ternyata isinya lebih mirip es campur.

Selepas makan pagi yang dirapel makan siang, kami bergegas menuju gedung Planetarium. Kami berdua sepakat, gedung ini masih sama penampakannya dengan Planetarium yang kami lihat delapan tahun lalu saat studi wisata. Ketika memasuki gedungnya, banyak orang yang duduk di kursi antrean, sementara di loket tertulis kalau tiket sudah habis. Sesaat, saya dan Fanny kecewa. Perjalanan kami untuk mengenang masa lalu harus diganjar dengan tiket yang ternyata sudah ludes. Namun ketika bertanya kepada petugas keamanan, katanya, ikut saja antre dulu. Oke, kami akan mengantre tiket seharga Rp 7.000,- per orang untuk pertunjukan pukul 13.00, yang artinya sedikit meleset dari target kami sebelumnya.

Sambil menunggu pertunjukan yang akan dimulai satu jam lagi, kami mencari masjid untuk melaksanakan shalat. Pilihan kami tertuju pada Masjid Amir Hamzah, yang letaknya masih satu komplek dengan Planetarium. Masih 30 menit waktu yang tersisa, maka selepas shalat, saya mengajak Fanny mengunjungi salah satu kios buku yang ada di TIM. Sedari sampai di TIM tadi, saya sudah kecantol dengan kios buku itu, siapa tahu saya bisa menemukan buku lama yang tidak lagi dijual di toko buku biasa. Benar saja, saya menemukan Patiwangi, buku kumpulan puisi-nya Mbak Oka Rusmini. Buku ini sudah saya cari sejak masa SMA dahulu, gara-gara jatuh cinta pada pandangan pertama dengan potongan puisi berjudul Pulang, yang ada si salah satu buku yang saya baca ketika SMA. Saya juga mencari buku-buku Pak Taufiq Ismail. Yang mana saja bolehlah, tapi kalau ada, saya berharap dapat buku Tirani dan Benteng, tapi tidak ada.

Dengan dua buku yang sudah saya dapat di kios itu, kami bergegas kembali ke Planetarium. Limabelas menit lagi pertunjukan akan dimulai. Ruang pertunjukan sudah penuh, kursi kosong hanya beberapa saja yang tersisa. Kami memilih duduk di sayap kiri, 3 lajur paling depan, meski paling asyik duduk di bagian tengah. Kami menikmati sajian-sajian pengetahuan tentang langit selama hampir satu jam. Hanya saja tampaknya pihak pengelola harus memperhatikan kursi-kursi yang rusak dan media visual yang semakin berkurang kualitasnya, agar Planetarium tetap menarik untuk dikunjungi.

Tujuan kami selanjutnya adalah Kota Tua. Dari Taman Ismail Marzuki, kami berjalan kaki menuju Stasiun Cikini. Sebenarnya, bisa dengan menumpang bis kota 502, tapi menurut penjelasan ibu penyapu jalan, jaraknya memang tidak terlalu jauh jadi kami jalan kaki saja menikmati Jakarta.

Kami memesan tiket Commuter Line menuju Stasiun Jakartakota dan membayar Rp 2.500,- per orang. Alhamdulillaah tak banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Stasiun Jakartakota, jadi kami bisa meregangkan tubuh kami di kereta. Tak sampai 30 menit, kami sudah sampai di Stasiun Jakartakota. Wah, stasiun yang satu ini ramai sekali! Kami sampai pusing melihat lautan orang hilir mudik, berbeda dengan Stasiun Gambir yang tadi pagi sepi, juga Stasiun Cikini yang juga sepi.

Di sini, kami mulai bingung, ke mana kami akan melangkah? Untungnya, papan penunjuk jalan ada tepat di seberang stasiun, sehingga memudahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. Kini, Museum Bank Mandiri tepat berada di hadapan kami. Kami berdua sepakat untuk memasukinya, sambil menunggu kakak saya, yang katanya akan turut dalam perjalanan menyusuri Kota Tua nanti. 

Museum Bank Mandiri cukup luas, dan tidak dipungut biaya untuk dapat menikmati apa saja yang ada di dalamnya. Namun sayang sekali tidak ada guide yang disiapkan oleh pengelola, jadi kami terpaksa harus menikmatinya saja, tanpa buah tangan pengetahuan lengkap dari guide. Di museum ini disimpan beragam alat perbankan, dari uang zaman dahulu, hingga mesin anjungan tunai mandiri. Saat kami berkeliling, ternyata di beberapa titik museum ini sedang ada agenda pemotretan, jadi kami sudahi penjelajahan di Museum Bank Mandiri.

Tepat di sebelah Museum Bank Mandiri, berdiri sebuah museum lain, yaitu Museum Bank Indonesia. Namun Fanny menghentikan langkah saya yang sudah bersiap menuju Museum Bank Indonesia. Rupanya, Fanny tergoda untuk menikmati semangkuk bakso yang dijual di sisian jalan, tepat di samping Museum Bank Mandiri. Oke, ada baiknya kami makan dulu, mengingat makanan yang masuk ke perut saya baru dua surabi oncom, beberapa tablet obat, air putih, dan es teler. Kakak saya datang tepat ketika saya menuntaskan bulatan bakso terakhir saya, dan kami bersiap menuju Museum Bank Indonesia.

Pukul 15.45 kala itu, dan kami harus menerima kenyataan (kayaknya agak berlebihan ya, bahasanya? ehehe) kalau museum ini akan ditutup limabelas menit lagi. Karena tak tahan ingin ke kamar kecil, kakak saya masuk ke museum, mencari kamar kecil. Saya dan Fanny juga turut masuk museum, namun baru sampai di lobby, kami sudah tak diizinkan menikmati apa-apa yang ada di museum, karena jam kunjung sudah habis. Jadilah kami hanya menunggu kakak saya menyelesaikan urusannya di dalam sana.

Kamipun menyusuri jalan menuju Kota Tua. Ternyata sedang ada Festival Wayang di sana. Kota Tua jadi ramai. Hampir setiap sudut jalan dipenuhi pedagang, ada pedagang makanan, sampai peramal nasib. Komplit! Kami jadi merasa sedang berjalan di dekat Alun-alun Kota Bandung. Saking ramainya, kami tidak bisa menikmati jalan-jalan naik sepeda ontel, seperti yang selama ini saya dan Fanny bayangkan. Kakak saya bilang, harusnya kami datang ke Kota Tua saat hari kerja, supaya bisa menikmati dan berfoto sepuas hati karena pasti tidak terlampau ramai seperti sekarang. Akhirnya, kami cukup puas dengan menikmati jajanan yang ada di sana. Kakak saya tergoda membeli tahu gejrot, Fanny pun demikian, sementara saya lebih tergoda membeli es potong.

Saya harus puas mencoret Museum Fatahillah, Toko Merah, Masjid Angke, dan Jembatan Kota Intan dari wish list yang saya buat. Perjalanan kami lanjutkan dengan mencari mushola untuk shalat Ashar. Kami menemukan mushola kecil di dekat Terminal Fatahillah. Selepas shalat berjamaah, saya menunjuk sebuah bangunan dengan kubah merah bata kecil di atasnya. Saya ingin ke sana, penasaran bangunan apa itu sebenarnya. Kami bertiga kemudian menyusuri Kali Ciliwung yang keruh dan berbau menyengat untuk sampai di bangunan tersebut. Sebenarnya, saya cukup menikmati melihat deretan bangunan tua di pinggiran Kali Ciliwung, yang dahulunya adalah semacam dam itu. Saya membayangkan aktivitas Kota Batavia dari tempat saya berdiri. Wah, rasanya megah sekali Batavia kala itu. Ketika mengalihkan pandangan ke seberang jalan, saya menangkap sebuah bangunan yang tidak asing bagi saya. Saya melihat bangunan tersbeut beberapa kali di internet. Warnanya yang mencolok di antara bangunan lain jelas menjadi identitas bangunan tersbeut. Ya! Saya menemukan Toko Merah berdiri anggun diapit bangunan lain! Ah, akhirnya...

Berdasarkan apa yang pernah saya baca, bangunan tersebut dahulunya adalah toko, yang diisi barang-barang dari kapal-kapal yang merapat di hadapannya. Kepemilikan bangunan tersebut beralih ke warga Cina, yang kemudian mengecat seluruh dindingnya dengan warna merah, sesuai warna keberuntungan menurut mitos Tionghoa. Toko Merah kini tidak difungsikan sebagai toko. Di dalamnya masih tersimpan benda-benda jaman dahulu, dan ada kedai kopi tiam di dalamnya. Untuk menikmati Toko Merah, sebenarnya kami bisa dengan membayar Rp 10.000,- namun karena waktu beranjak senja, kami memutuskan untuk segera pulang ke Bandung.

Sembari berjalan, saya googling travel penyedia layanan Jakarta-Bandung. Ada banyak memang, namun kami mencari yang terdekat dari lokasi kami saat ini sehingga tidak membuang-buang waktu. Kakak saya mengusulkan untuk naik kereta saja. Setidaknya akan lebih nyaman untuk kami. Lagipula, kami bisa mengejar kereta jam 18.00 atau jam 19.40. Mana saja, yang masih ada tiket. Jadi kami bergegas ke Stasiun Jakartakota, memesan tiket ke Juanda dan dari Juanda kami menuju Gambir naik bajaj. Namun, di commuter line, ketika saya mengecek ketersediaan tiket Argo Parahyangan, ternyata semua tiket dari kelas bisnis dan eksekutif telah habis tak bersisa. Kami bertiga terdiam. Bagaimana ini? Salah kami, tidak merencanakan perjalanan dengan matang. Semula, kami santai saja karena travel ke Bandung ada setiap waktu, jadi kalau tak dapat kereta kami bisa naik travel atau bis. Hanya saja, waktu sudah semakin petang, kami juga tak ingin ambil resiko.

Saya dan Fanny terpaksa turun di Stasiun Juanda. Kakak saya terlanjur pesan tiket commuter line ke UI dari Stasiun Jakartakota tadi. Jadi kami berpisah. Pilihan terakhir kami adalah naik bisa dari Depok ke Bandung. Sepertinya lebih aman begitu, karena saya pernah beberapa kali pulang malam dari Depok. Maka seperti adegan di film-film, kami memesan tiket commuter line ke UI, dan setengah berlari menuju peron ketika petugas mengumumkan kereta tujuan Bogor akan segera berangkat. Alhamdulillaah kami bisa mencapai gerbong sebelum kereta berangkat. Fanny dapat tempat duduk, saya terpaksa beridiri atau duduk lesehan di lantai kereta, bagi saya tetap sama mengasyikkannya.

Lepas Maghrib, kami baru sampai UI. Bis yang akan kami hadang dari Kober adalah bis MGI jam 19.00 nanti. Rasa lapar sebenarnya sudah tak bisa saya tahan, tapi sepertinya lebih baik bergegas pulang dibanding harus mengisi perut dahulu. Bis pun lewat begitu saja di depan kami, penuh. Jadi kami menunggu bis selanjutnya, yang katanya ada jam 20.00. Kami bertahan untuk tidak makan dulu, khawatir bis yang kami tunggu datang. Tak sampai jam 20.00, bisa lewat di depan kami. Masih ada kursi kosong yang tersisa. Saya dan Fanny bernafas lega. Setidaknya sesuai rencana, kami akan pulang ke Bandung, bukan menghabiskan malam di Depok, di tempat kakak saya, dan pulang ke Bandung keesokan harinya.

Jam 23.00, kami baru tiba di Gerbang Tol Pasir Koja. Saya sudah tak berani naik angkutan kota dan menawarkan naik taksi. Tapi tak ada taksi saat itu, yang kami temui berkali-kali hanya angkot Caringin-Dago, itupun tak akan sampai Dago, karena pengendaranya ngotot hanya melayani trayek sampai Pasar Ciroyom. Syukur, karena ada dua orang lain yang sama-sama akan ke Dago, akhirnya bapak supir angkot mau juga mengantar sampai Cikapayang, dengan tarif melambung jadi Rp 10.000,- per orang. Ya sudah, yang penting bisa selamat pulang. Dalam kondisi lapar, saya dan Fanny memutuskan mengisi perut dulu di satu tempat makan di Simpang Dago, sengaja agar lebih dekat dengan kontrakan Fanny. Kami membayar tambahan Rp 5.000,- ke supir angkot sesuai permintaannya kalau kami mau diantar sampai Simpang. Sudahlah, tak masalah. Jadi pukul 24.00 itu, perut kami baru diisi makanan.

Flash trip kami ditutup dengan menikmati sepoi angin malam Kota Bandung dari atas ojek yang kami naiki. Fanny ke arah Tubagus Ismail, saya ke arah Wastukancana.

Yeah, mungkin kami akan melakukan flash trip lagi bersama-sama. Tak ada yang kami sesali dari flash trip kami yang sebenarnya agak berantakan. Kami justru menikmati ketegangannya. Kami justru ingin berjalan-jalan lagi, berpetualang lagi. Nanti, entah ke mana. Dengan sensasi yang berbeda tentunya. Terima kasih Fanny, sudah jadi teman perjalanan yang asyik. Yang penting dalam perjalanan adalah tidak mengeluh dan banyak bersyukur. Bukan begitu, Fan? And we did it! :)


Menjelang sore, baru menemukan Toko Merah.




Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi