Judulnya... Pindah

Tepat rasanya memilih waktu ini untuk menulis tentang pindah. Setidaknya untuk bernostalgia, bahwa pada tanggal 3 Maret-lah, kami sekeluarga (pada akhirnya) hijrah setelah menempati rumah kami yang dulu selama 22 tahun, wakktu yang tidak sebentar untuk menyatukan dirimu dengan air, udara, dan tanah di tempat tinggalmu. Waktu yang tidak sebentar untuk mengumppulkan kenangan yang telah kau buat sedari kau lahir. Iyapp, saya harus mengucap selamat tinggal dengan "kekasih" saya. Haha, lebay.

Hari itu, setahun yang lalu. Tiba-tiba Mamah memberitahu saya bahwa kami akan pindah rumah. Saya agak shock juga karena menurut perhitungan saya, masih beberapa bulan lagi sampai kami bisa menempati rumah yang baru. Namun begitulah adanya, Bapak yang meminta. Saya sampai di Kepandean malam hari. Saat itu, beberapa tetangga berkunjung ke rumah kami. Bukan sekedar berkunjung ternyata. Mereka membantu Mamah mengosongkan rumah. Saya bengong. Kami pindah malam-malam, katanya, supaya besok bisa agak santai karena sekedar melanjutkan saja. Bapak duduk mengawasi. Di hatinya, Bapak mungkin merasa tak enak karena tak membantu apa-apa. Sejauh ini, menurut saya, Bapak sudah banyak membantu kok. 

Saya mengemasi beberapa barang dan membawanya ke mobil pickup. Mamah minta ditemani ke lokasi rumah yang baru, sementara adik saya mengurung diri di kamar. Ia butuh waktu yang lama untuk bisa merelakan, tampaknya.

Perjalanan dari rumah lama ke rumah baru tak memakan banyak waktu. Secara, rumah kami yang baru berjarak dua desa saja dari rumah yang dulu. Pindah ke desa sebenarnya bukan masalah bagi saya. Saya cukup menikmati hari-hari KKN saya dulu. Namun ketika harus menghadapi ini semua, saya jadi merasa sedih. Hari sudah malam, namun itu tak membuat saya "kabur" dalam melihat. Malam itu tak akan pernah saya lupakan. Seperti dugaan saya, rumah kami yang baru belum siap huni. Belum ada lantai, bahkan plesteran semen pun belum ada. Masih benar-benar tanah berbatu. Aliran listrik juga belum ada, begitu juga air PAM. Sudah pasti belum dipasang. Saya berjalan melihat-lihat rumah kami, menengok kamar yang satu ke kamar yang lain. Kondisinya sama saja. Dinding-dinding kami masih terlihat susunan batu batanya. Katanya dalam beberapa hari akan disemen. Kamar mandi yang berada di pojok tak luput dari pengamatan saya. MasyaAllah... Kamar mandinyapun belum selesai dibuat. Terasa seperti rumah-rumah yang saya tonton pada program reality show di televisi. Tuhan... haruskah kami tinggal di sini saat ini? Saya bertanya dalam hati, dan sesungguhnya hati saya teriris.

Sekembali ke rumah kami di Kepandean, yang telah kami tempati sejak saya lahir, memori mengenai rumah besar tersebut langsung muncul kembali. Betapa menyenangkannya masa-masa itu. Mengapa Bapak begitu ingin cepat pindah, padahal akan lebih baik kalau beliau tinggal di rumah ini? Beliau tak akan kesulitan beraktivitas di rumah, kalaupun kesulitan berjalan, beliau bisa menggunakan tongkatnya di permukaan lantai yang datar. Sementara di sana? Saya tak sanggup membayangkan bagaimana Bapak harus melewati hari-harinya nanti.

Pagi harinya, kami (saya, adik saya, Bapak, dan Mamah) menikmati sarapan terakhir di rumah bercat hijau kesayangan kami itu. Sengaja saya menghidangkan nasi jamblang, hidangan istimewa bagi keluarga kami, kesukaan kami semua. Semua saling diam, tak sanggup mengeluarkan kata-kata.

Saya ikut mobil pertama yang mengangkut sisa barang, diikuti adik saya. Kami berdua sedih harus pindah. Mungkin terbayanglah olehmu, bagaimana ketika kau harus melepas seseuatu yang sudah begitu lekat denganmu. Begitupun saya, rumah saya ini merupakan bagian memori awal saya di dunia. Di rumah ini, Bapak membuatkan kolam ikan secara khusus. Ya, namun kami tetap harus pindah. Toh kenangan akan tetap terasa manis di sini, di hati. Kenangan tak berwujud fisik, jadi bisa dinikmati selamanya, selama kita mampu mengingat. Jadi tidak masalah.

Adik saya, Sekar, tampak begitu berat untuk pindah. Raut wajahnya tidak ceria.
"De, ke belakang yuk! Ada saung sama sawah lho! Yuk kita ke sana!" Ajak saya. Ia mau. Ia senang berada di saung dekat kebun itu. Syukurlah, semoga bisa jadi pelipur laranya.

***
Selang dua bulan setelah kepindahan, kondisi rumah sudah lebih baik. Setidaknya lantai telah diplester, listrik telah ada, dan kamar mandi telah ada, meskipun air mesti mengangkut dari sumur tetangga. Selang dua bulan, jawaban dari Allah itu datang. Bapak mengnhembuskan nafas terakhirnya pagi itu, di bulan Mei, dua bulan setelah kepindahan kami. Inilah jawaban atas permintaan Bapak pindah secara terburu-buru.

***
Hari ini, tepat setahun. Meski belum banyak perubahan dari rumah yang Bapak persiapkan untuk kami ini, kami bersyukur. Bersyukur masih memiliki tempat berteduh setelah kepergian Bapak. Di sini, kami merajut kenangan-kenangan baru : kenangan-kenangan indah bersama Bapak, pernikahan kedua kakak saya, juga hari raya pertama tanpa Bapak.

Bapak, terima kasih telah membuat kami bahagia. Terima kasih telah menitipkan kami di sini.


3 Maret 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi