Catatan dari Rumah Sakit


Gagal lagi saya berangkat ke rumah sakit pagi-pagi. Ini kali ketiga saya kontrol secara rutin dan mengambil obat, dan untuk ketiga kalinya saya harus ikut dalam antrian panjang itu di bagian administrasi. Ok, ini sudah jadi hal yang biasa untuk saya, maka harusnya saya bisa menikmatinya. Maka itulah yang saya coba : menikmati hiruk-pikuk rumah sakit.

Di Poliklinik Pulmo, saya juga kurang beruntung karena antriannya cukup mengesankan. Baru saja lewat satu jam dari waktu pembukaan Poliklinik, namun luar biasa! Pasien sudah antri berjajar di kursi-kursi tunggu. Ya, berbeda dengan Poliklinik lain, di Poliklinik ini, kontrol dan pemeriksaan dokter memiliki jadwal sendiri-sendiri. Pasien baru biasanya dilayani setiap hari Senin. Hari Selasa dan Rabu biasanya untuk pasien tuberculosis, sementara Kamis dan Jumat untuk pasien asma. Itupun antara pasien perempuan dan laki-laki dibedakan harinya. Jadi tidak heran kalau pasien di Poliklinik ini selalu banyak, lha wong pasiennya pasien tetap kok… Hehe.

Satu persatu pasien dilayani oleh dokter. Biasanya tak pernah lebih dari sepuluh menit pelayanan. Dokter akan menanyakan pertanyaan seperti ini kepada setiap pasien (hasil observasi tiga kali, hehe), “Ini bulan ke berapa ya?” kemudian dilanjutkan dengan, “Keluhannya apa?”. Kalau sudah ditanya keluhan, biasanya giliran pasien yang cuap-cuap cerita. Ceritanya ini kadang suka macam-macam, bahkan ada yang cerita cucunya. Suka lucu kalau mendengar cerita mereka. Kemudian, para pasien yang kebanyakan adalah pasien TB Paru itu menunjukkan beragam hasil laboratorium yang disuruh dokter pada pekan sebelumnya, juga berlembar-lembar hasil foto rontgen paru-paru mereka. Nah, setelah beragam hasil dan curhatan pasien dicatat oleh dokter, dokter akan menuliskan resep obat. Resepnya hampir selalu sama (menurut saya begitu, karena saya selalu mendapat resep obat yang sama): empat sekawan obat TB ditambah vitamin B 6. Kalau diperlukan, dokterpun akan menyuruh cek laboratorium. Kalau tidak salah, namanya cek hematologi macam SGPT dan SGOT, tes untuk mengecek kondisi hati dan ginjal untuk melihat apakah hati dan ginjal para pasien masih bagus untuk menerima obat berdosis tinggi itu. Lantas biasanya, setelah prosesi pemeriksaan itu selesai, pasien pamit, meminta stempel dokter di bagian administrasi, kemudian pergi ke Poliklinik DOTS yang berada di depan Poliklinik Pulmo, mengambil obat yang telah diresepkan. Begitu selalu yang saya perhatikan. Kadang saya yang melihatpun suka kelelahan sendiri menyaksikan pemandangan ini.

Karena giliran saya masih lama, saya sengaja mencari tempat duduk yang memungkinkan saya untuk menyenderkan kepala. Akhir-akhir ini saya suka kelelahan kalau berlama-lama menegakkan kepala. Sambil menunggu panggilan, saya kembali mengobservasi proses kontrol itu, lumayan, saya jadi belajar sedikit ilmu kedokteran. Hehe.

Beberapa pasien diperiksa. Ada yang baru saja didiagnosis terinfeksi TB berdasarkan gejala dan serangkaian hasil laboratorium yang dilakukan. Ada juga yang sudah masuk bulan ke delapan pengobatan, seorang nenek. Saya membayangkan, luar biasanya sang nenek bertahan menjalani pengobatan selama itu! Ada juga seorang ibu muda yang baru memasuki bulan kedua pengobatan, tidak mengeluhkan apa-apa, tidak membawa hasil laboratorium maupun hasil rontgen. Usut punya usut, ia tidak mengalami TB paru yang sampai saat ini paling banyak diderita. Ia terinfeksi TB kelenjar, seperti saya, katanya tidak terlalu berbahaya.

Kemudian, sampailah pada salah satu pasien. Ibu muda juga. Usianya saya kira tak kurang dari tigapuluh tahun. Ketika melihatnya, mantap! Foto rontgen yang dibawanya banyak sekali, seperti barang koleksian saja. Mungkin ia sudah lama menjalani pengobatan. Setelah diperiksa oleh dokter, ia dinyatakan sudah sembuh, tak perlu lagi mengonsumsi obat empat sekawan itu. Sang pasien gembira sekali, mungkin telah menunggu lama momen ini. Ia menyalami dokter sambil tersenyum bahagia, kemudian melangkah ringan ke Poliklinik DOTS. Saya nyatanya ditakdirkan bertemu kembali dengan ibu ini di Poliklinik DOTS. Subhanallah… Ia tengah pamitan dengan petugas-petugas di Poliklinik tersebut. Para petugaspun menyambut gembira kesembuhannya.

***

Kesembuhan. Kesehatan. Bagi mereka yang sehat mungkin terlihat sebagai sesuatu yang biasa saja. Kita selalu seperti itu, bukan? Kita tak merasa nikmat ketika makan segala makanan yang sedap, rasanya ya biasa saja. Kitapun merasa biasa saja ketika bisa tidur dengan nyenyak. Namun bagi sebagian orang lagi, bagi mereka yang tengah diberi ujian sakit, ketika sanggup makan makanan yang memiliki rasa sedap, itu suatu kebahagiaan luar biasa. Ketika bisa minum air putih dengan mudah, bagi mereka yang sakit, itupun sangat luar biasa. Ketika bisa menikmati tidur dengan sangat nyenyak seperti orang yang sehat, itu juga merupakan karunia.

Maka di sini, hari ini, saya menyaksikan itu. Menyaksikan seseorang yang kembali dipertemukan dengan kesehatan setelah hampir setahun penuh bergulat dengan rasa sakit dan rasa bosan mengonsumsi obat. Hari ini, saya dipaksa melihat seseorang yang bertemu kembali dengan kebebasan: kebebasan menikmati tidur tanpa nyeri yang mengganggu, menikmati dapat mengunyah dan menelan dengan nyaman, menikmati udara yang masuk ke paru-paru tanpa halangan. Subhanallaah walhamdulillaah walaa ilaaha ilallaah wallaahu akbar!


7 Maret 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi