Being Different

Kau tahu bagaimana rasanya menjadi berbeda? Aku tidak tahu, sampai (Akhirnya) saat itu tiba juga.

Saya ini memang mellow, saat menuliskan ini pun sedang mellow sekali. Jadi, siapapun yang baca tulisan saya kali ini, harap maklum saja ya? Hehehe.
Begini, saya akan mulai cerita saya hari ini. Saya tiba-tiba ingat, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Saya sudah nyaman dengan kondisi saya saat ini. Ya, kondisi harus konsisten datang kontrol ke rumah sakit dan kondisi konsisten minum obat sampai tuntas dua bulan terakhir ini. Saya nyaman, toh kawan-kawan yang tahu kondisi saya ini tak pernah kelewat perhatian, begitupun keluarga saya. Adem ayem. Mereka paling hanya mengecek apa saya sudah minum obat atau kapan jadwal saya kontrol lagi. Itu saja. Saya tidak merasa berbeda dan dibedakan.

Sampai suatu hari, tanpa saya kehendaki dan tanpa bisa saya hindari, semakin banyak yang menyadari kejanggalan yang ada pada diri saya. Itu membuat orang-orang bertanya, "Intan kenapa? Sakit?" atau "Intan kok agak aneh ya?" atau "MasyaAllah... Intan ga kenapa-kenapa? Itu sakit ya? Udah ke dokter?". Pada akhirnya, saya harus menjelaskan apa yang saya pahami tentang sakit saya. Reaksi yang muncul tentu berbeda-beda tiap orang. Itu yang barangkali beberapa waktu ini tidak saya antisipasi. Toh selama ini saya enjoy saja kok, masih ketawa-ketiwi, masih bercanda dan beraktivitas layaknya teman-teman yang sehat lainnya karena saya merasa sehat saja, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Dan baru setelah dua bulan kehidupan tenteran itu saya jalani, saya menerima perlakuan yang berbeda.

Beberapa orang terdekat baik di kantor maupun di rumah menyuruh saya lebih banyak beristirahat. Perjalanan ke luar kota dikurangi. Mamah lebih mantap lagi, beliau menyuruh saya mengambil cuti dan pulang ke rumah agar beliau bisa merawat saya (padahal saya masih bisa beraktivitas). Kemudian, ternyata kantor bersedia meng-cover biaya pengobatan saya, tanpa saya minta. Orang-orang kantor tak pernah saya beritahu tentang apa yang saya alami. Kemudian, peralatan makan dan minum saya dipisahkan. Hal ini sih dari awal sudah saya pahami, bahkan sejak bertahun-tahun lalu sebelum saya seperti ini. Saya tidak bisa bermain-main lagi dengan anak kecil, begitu maklumat yang saya terima kemarin. Oh, baiklah.  Tapi saya tahu saya tidak berpotensi menularkan sakit saya. Itu yang dokter bilang, itu yang google bilang pada saya berbulan-bulan lalu yang membuat hidup saya terasa normal-normal saja.
Bahkan untuk persoalan makan, seolah-olah orang-orang turut andil dalam hal tersebut. Mereka selalu bilang, "Intan makan yang banyak!", atau "Ih, Intan mah bandel disuruh makan teh..." Padahal, berat badan saya naik dua bulan terakhir ini.

Saya memaklumi, itu semua karena mereka sayang terhadap saya. Seorang rekan memberi saya sebotol obat herbal. Rekan lainnya menawari mengantar ke pengobatan alternatif. Bahkan rekan lainnya bersedia mengantar saya berobat ke dokter spesialis nun di Bekasi sana dan menyiapkan tempat untuk saya menginap di sana. Saya jadi berpikir, ini juga salah satu bentuk perbedaan perlakuan, bukan? 

Saya mencoba memahami dan betul-betul memaklumi kalau mereka memang menyayangi saya. Namun saya dididik untuk mandiri, berdiri sendiri. Makanya, terkadang saya merasa risih ketika menerima perhatian yang begitu besar. Ok, sekarang saya memang sedang berbeda, tapi bisa kan engkau memperlakukan saya seperti dulu saja? Itu lebih membuat saya nyaman.

Saya jadi teringat teman-teman yang diperlakukan berbeda, menerima pandangan-pandangan tak ramah dari orang-orang sekitar. Begini saja saya merasa tidak nyaman, bagaimana dengan mereka?
Duh Gusti, nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan??



Ok, sekarang saya memang berbeda. Saya terinfeksi TB alias tuberculosis tepatnya limfadenopati tuberculosis yang artinya saya harus menjalani pengobatan minimal enam bulan agar benar-benar bisa sembuh. TB bisa menular, sangat mudah menular, kadang apabila tidak diobati secara tuntas bisa menyebabkan kematian. Namun kini, pengobatan TB sudah semakin canggih, sehingga kesembuhan itu bisa dicapai. TB termasuk penyakit yang paling banyak diderita orang Indonesia bahkan oleh warga dunia. TB lebih sering identik dengan penyakit paru-paru, namun saya juga baru tahu kalau jenisnya banyak sekali dan yang saya alami, tidak memiliki potensi untuk menularkan. Jadi saya tetap aman bagimu kawan, kalau kau mau tahu. :)



13 Maret 2012
pengakuan. harus diakui. meski kadang sulit mendapati diri berbeda.

Comments

Adit Purana said…
syafakillah in!
lekaslah sembuh.. supaya bisa bermain seperti sedia kala, ceria seperti semula.. menikmati langit senja, secangkir teh hangat, jalan-jalan menyusuri bumi-Nya, dll. :)
Unknown said…
Saya masih bisa menikmati semuanya, alhamdulillaah

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi