Belajar Memahami

Kali ini, Tuhan memaksa saya untuk belajar memahami (lagi).

Saya sedang mengantri di salah satu outlet roti ketika membaca iklan itu. Sebuah toko roti terkemuka sedang membutuhkan karyawan untuk ditempatkan di beberapa outlet nya di Bandung. Persyaratannya cukuplah sederhana, hanya menyertakan ijazah SMA saja selain usia maksimal adalah duapuluh lima. Mudah sekali, bukan? Saya langsung teringat seorang kawan yang waktu itu pernah mengatakan, "Saya mau tinggal sama Intan aja ah. Kerja di Bandung!". Maka saya langsung mencatat persyaratan tersebut kemudian mengirimkan pesan singkat ke teman saya nun di Indramayu sana. Mudah-mudahan, memang ada bagian rezeki teman saya ini di toko roti tersebut.

Dalam sekejap, telepon selular saya bergetar tanda pesan masuk. Oops, dari teman saya rupanya. Awalnya ia bertanya tentang batas usia. Saya katakan ia masih cukup umur. Kemudian ia bertanya tentang ijazah, saya bilang ya tinggal sertakan saja.
"Saya ga punya ijazah, Tan!" Kening saya berkernyit. Kita kan lulus di sekolah dan di tahun yang sama!
"Lho kok bisa?"
"Iya, kan ijazah saya belum diambil." Nah, ini cukup bikin saya pusing juga. Sudah lima tahun berlalu.
"Hm, masih bisa diambil kok." Balas saya. Masih bisa diusahakan, toh?
"Adik saya masih butuh biaya banyak Tan..." Deg. Di sini saya baru mengerti.

Saya jadi ingat, sewaktu dulu mengambil ijazahpun perlu biaya yang tidak sedikit. Apalagi sekarang, entah biayanya masih akan sama seperti lima tahun lalu atau bagaimana, ditambah entah itu ijazah masih tersimpan baik atau tidak. 

Hf. Sebuah perkara yang awalnya menurut saya mudah. Tadinya saya berpikir seperti ini, ia tinggal buat surat lamaran, melampirkan ijazah, kemudian mengantarkannya ke Bandung. Di Bandungpun ia tak perlu repot memikirkan tempat tinggal. Ia bisa tinggal di kamar saya. Namun ternyata perkaranya tidak sesederhana itu. Ia ingin bekerja. Namun ijazah ia tak punya. Uang untuk mengambilnya pun tak ada. Jadi bagaimana?


Kawan, saya hanya ingin menyampaikan satu hal saja dari cerita kawan saya ini. Terkadang, suatu persoalan menurut kita begitu mudah penyelesaiannya. Namun, tidak seperti itu bagi orang lain. Mereka memiliki dinamika persoalannya sendiri, kadang ini yang belum kita pahami. Mungkin sering kita egois memaksakan jalan keluar atas suatu persoalan menurut pola pemikiran kita, menurut kondisi kita, yang pada kenyataannya mungkin tidak begitu cocok kalau diterapkan oleh orang lain. Begitulah hidup yang diciptakan Allah, tak satupun jalannya sama. Tak satupun rasanya sama. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah belajar, belajar memahami dan terus seperti itu. Belajar memahami orang lain, dari sudut pandang orang tersebut. Dan itu bukan sesuatu yang mudah.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi