Kesabaran Itu Berat

Awal tahun ini, saya meniatkan diri untuk menengok salah seorang rekan yang HIV positif juga penderita TBC aktif. Hari itu, akhirnya saya menyempatkan diri bertandang ke rumahnya, dengan sedikit makanan di tangan. Rumahnya cukup jauh untuk ditempuh dari rumah saya, hampir mendekati perbatasan dengan wilayah Kabupaten Sumedang. Untung saya masih ingat jalan ke rumahnya walaupun baru satu kali ke sana. Beruntung juga ia sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Ia senang sekali melihat saya datang. Beberapa waktu lalu, ia sempat memikirkan saya, begitu ia mengawali obrolan kami. Ia sempat berpikir saya sudah tidak mau lagi berteman dengannya, sudah tidak mau lagi menanyakan kabar lewat pesan singkat, pun sudah tidak mau lagi berkunjung ke rumahnya. Ia salah sangka rupanya, selama ini saya justru mencoba menelepon berkali-kali dan mengirim pesan singkat berkali-kali namun ponselnya tidak aktif. Ternyata ia sudah berganti nomor.

Kami berbincang panjang. Ia bercerita kalau sekarang ia bisa membuat kerajinan tangan dari kain flanel. Ia belajar membuat bros dari anak tirinya, yang kemudian ia jual di sekolah dasar. Ia juga kini berjualan makanan bagi murid-murid sekolah dasar di dekat rumahnya. Intinya, ia sudah berdaya. Sudah mampu menghidupi dirinya sendiri. Intinya, ia sudah meraih kembali semangat hidup.

Sepenglihatan saya, ia tampak sehat. Sudah lebih bugar dari sewaktu terakhir kami bertemu saat ia dirawat di rumah sakit. Ia bercerita bahwa memang sekarang kondisinya sudah lebih baik secara fisik. Ia sudah bisa bepergian jauh, tidak lagi mudah kelelahan. Ia sudah bisa makan banyak, ia jadi lebih segar.

"Ya alhamdulillaah sekarang sih udah enak, Tan."
"Iya ya Teh ya, alhamdulillaah... seneng deh, ngeliatnya!"
"Tahun 2012 katanya kiamat ya Tan ya?"
"Ah, Teteh... kiamat mah cuma Allah yang tau. Hehehe."
"Ya, kalau kiamat kan syukur... bisa meninggal bareng-bareng sama semuanya."
"Teteh takut ya?"
"Teteh sih berdo'a supaya ada obat buat HIV. Kan buat TBC udah ada obatnya, mudah-mudahan besok atau lusa obat buat HIV juga ketemu ya..."
"InsyaAllah Teh. Teteh harus tetep semangat tapi... Umur mah ga ada yang tau kapan berhentinya."
"Hahaha... Iya, tiap hari juga minta ke Allah supaya sehat-sehat..."


***
Kawan saya, teteh itu, sudah beberapa tahun ini divonis HIV positif dan TBC aktif. Tubuhnya ringkih, kulitnya menggelap. Berat badannya turun drastis, kadang terlihat hanya tulang dibalut kulit. Ia tidak bisa beraktivitas banyak. Saat melihatnya, saya tak pernah membayangkan bagaimana kalau saya berada di posisinya. Saya hanya merasa ia begitu hebat, bisa bertahan sejauh itu. Ia hebat, bisa mengalahkan rasa takutnya dengan candaan-candaannya yang kadang tajam seperti kata-katanya di atas tadi.

Setahu saya, orang dengan HIV/AIDS harus mengonsumsi obat antiretroviral sepanjang hidupnya, tidak boleh terhenti atau terlambat. Kalau sampai hal itu terjadi, virus HIV akan resisten dan orang tersebut harus mengubah obatnya dengan jenis yang lain agar bisa tetap bertahan.
Masih setahu saya, orang dengan TBC aktif juga harus mengonsumsi obat tanpa terputus, paling singkat selama enam bulan, ada pula yang sampai satu tahun. Obatnyapun bertahap, pada awalnya hanya empat jenis lalu berkurang menjadi dua jenis. Seperti pada orang dengan HIV/AIDS, ketika terlupa untuk mengonsumsi obat, maka orang tersebut harus mengulang proses pengobatan atau mengganti jenis obat agar kuman TBC tidak resisten. Sama seperti HIV, kuman TBCpun bisa mengakibatkan kematian apabila menyerang hampir seluruh jaringan tubuh.

Akhir-akhir ini, beberapa berita sampai ke telinga saya. Pertama berita mengenai kondisi kesehatan saya yang menurut dokter tidak begitu baik. Kedua, berita mengenai kecelakaan yang menimpa salah seorang sahabat saya yang mengharuskannya bedrest padahal sehari setelah kecelakaan itu ia harus tes di salah satu bank swasta di Bandung. Kondisi tubuh saya yang menurun mengharuskan saya mengonsumsi obat secara teratur dan tidak terputus karena yang saya konsumsi adalah antibiotik. Sejujurnya saya cukup lelah dengan kondisi ini, bosan lantaran setiap beberapa jam sekali harus mengonsumsi obat, bosan lantaran harus berurusan dengan jarum suntik. Sementara sahabat saya itu mengalami luka di tangan dan kakinya. Ia bilang perihnya sangat menyiksa. Intinya ia tidak bisa beraktivitas. Sempat ia mengeluhkan kondisinya yang tidak bisa ke mana-mana, yang tidak bisa ikut tes yang begitu ia impikan selama ini.

"Hey, kamu mending ngerasa perihnya paling cuma beberapa hari. Saya harus minum obat terus-terusan, harus ketemu jarum suntik terus. Udahlah, sabar aja!" Begitu saya membalas pesan singkat dari sahabat saya yang kecelakaan tempo hari.
"Tapi kamu kan tetep bisa ikhtiar ke sana-kemari." Jawabnya.
"Jiah, saya harus bolak-balik ke rumah sakit. Tetep aja aktivitas jadi terhambat. Dinikmatin ajalah, kalau dirasa-rasa terus tambah bikin sesek hati!"

Saya jadi teringat pada kawan saya yang harus menerima takdir sebagai oranng dengan HIV/AIDS sekaligus penderita TBC. Saya baru merasakan kelelahannya selama ini karena harus kontrol dan mengambil obat setidaknya sekali dalam dua pekan, juga kebosanannya karena pengobatan yang seolah tiada berakhir namun ia tetap lakukan hal tersebut. Kebosanan lantaran tidak dapat beraktivitas banyakpun ia jalani hari demi hari, kadang sembari tersenyum kadang memang melayangkan pikiran ke mana-mana, membayangkan seandainya ia bisa kuat seperti dulu. Kelelahan harus disubtitusinya dengan harapan, rasa bosanpun dihadapinya dengan terus berkelakar. Perasaan takut akan kematian ia isi dengan aktivitas yang mengalihkan rasa takutnya tersebut. Hari demi hari ia berharap agar Allah bisa memberinya satu kepastian : kesembuhan atau kematian yang indah, khusnul khatimah. Sementara saya? Duh, memang tampaknya saya harus belajar banyak dari beliau.

Kesabaran memang sulit dan berat, karenanya Allah memilih orang-orang tertentu untuk diberinya ujian yang cukup berat. Sungguh beruntungnya orang-orang tersebut karena dapat merasakan kasih sayang Allah. Sungguh, saya baru mengerti mengapa Allah memberi saya kesempatan untuk bertemu kawan saya ini, ialah tiada lain agar saya belajar bersabar dalam setiap ujian yang Allah berikan. Saya masih sering mengeluh sendiri dan secara sengaja melalaikan minum obat, padahal saya hanya harus melakukan itu untuk beberapa waktu saja untuk bisa sembuh, tidak seperti kawan saya yang sepanjang hidupnya harus terus-menerus minum obat dan kontrol secara rutin. Rupanya saya masih harus banyak belajar tentang kesabaran. Wallahua'lam bishshawaab.




saat duduk menikmati senja, saya ingat dia yang tengah berjuang untuk dapat bertahan hidup.
Akhir Januari 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi