I'm Change

Mungkin memang waktu yang begitu kejam sampai saya tak bisa mengenali tawamu, atau justru saya yang telah lama menghindar?

Hari itu akhirnya tiba, hari di mana saya kembali melalui jalanan itu-jalanan yang sempat saya akrabi dua tahun lalu: Pasir Jaya. Pukul satu lewat lima belas menit, saya akhirnya sampai di Pasir Jaya, sebelumnya, setengah jam yang lalu sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya, bertanya:
"Kakak udah di mana? Kita udah nunggu." SMS itu dari Dimas, sang Ketua Kelas pada kegiatan Smile for Children beberapa tahun lalu. Saya hanya senyum-senyum membacanya, masih sama seperti dua tahun lalu, mereka selalu hadir lebih dulu dari saya.

Sudah semakin dekat dengan Masjid Al-Hujurat, tempat saya berjanji menemui Dimas dan kawan-kawannya hari itu. Duh, jantung saya berdetak tak karuan! Masihkah mereka, anak-anak itu, menyambut saya sehangat dulu? Ah!

"Itu Kak Intaaaaaann!" Dari lantai atas Masjid Al-Hujurat (ternyata telah direnovasi), beberapa kepala menyembul dan berhamburan turun ke bawah. Mereka masih seperti dulu, syukurlah... Beberapa adik yang dulu aktif di Smile for Children hadir hari itu. Saya senang, walaupun agak lupa nama-nama mereka. Saya hanya ingat hanya Dimas dan Deny, sisanya saya lupa. Maka saya kembali berkenalan dengan mereka: ada Wildan yang dengan membusungkan dada berkata bahwa ia adalah asisten saya, kemudian ada Iqbal yang begitu narsis karena selalu menyelipkan kata 'nu ganteng tea' setelah namanya, ada Bowo yang masih begitu pendiam, ada Novi yang begitu jangkung, juga Disha yang seperti Dora.

Kembali, saya harus menghadapi keriuhan mereka. Berkali-kali kami ditegur pengurus masjid lantaran ribut bukan main. Kami menuliskan cita-cita dan menghiasnya dengan lukisan jari, kemudian makan es krim bersama. Saya memperhatikan mereka sepanjang mereka beraktivitas. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak merasakan hal ini. Sudah lama sekali!  Adik-adik telah tumbuh besar. Wildan telah kelas tiga dan Dimas kelas satu sekolah menengah pertama, Disha, Novi, Bowo, dan Deny kelas enam sekolah dasar, sementara Iqbal kelas lima dan sedang bersiap mengikuti seleksi untuk olimpiade sains di sekolahnya. Ya, mereka secara perlahan tumbuh menjadi remaja.

Dalam pertemuan yang singkat itu, saya kadang tak dapat mengimbangi riuh canda mereka. Rasa canggung menyeruak. Saya merasa asing berada di antara mereka. Pertemuan itupun mungkin tak seceria biasanya, iya mungkin karena sayapun sekedar ingin bertemu mereka, bukan mengisi sesi seperti dua tahun lalu.

Ah, mereka memang berubah. Namun tampaknya, sayalah yang lebih banyak berubah. Saya menyadari kejanggalan perasaan saya hari itu akhirnya. Harusnya, saya bisa menjalani hari ini seperti dua tahun lalu. Harusnya saya bisa menyelami kegiatan bersama mereka, menikmati tawa-canda mereka. Ya, harusnya bisa seperti itu. Namun tampaknya, sayalah yang lebih banyak berubah.

Saya rindu, rindu menikmati lagi renyah tawa mereka seperti dulu.

Kebun Binatang Bandung, 2010




Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi