Menyikapi Kabar

Ketika bangun pagi tadi, ada kabar yang tiba-tiba membuat mata saya utuh terbuka. Sebuah pesan masuk ke telepon seluler saya, sebuah peringatan untuk tidak berkunjung ke Cilegon. Dalam pesan tersebut, katanya pantai di Karangantu Serang surut sampai 1 kilometer. Dan yang membuat pagi saya terasa tak enak adalah, kejadian itu dihubungkan dengan tsunami Aceh. Ya, Serang katanya akan dilanda tsunami. Tak jelas dikatakan seperti itu, namun saya membaca gelagat kalau broadcast message itu tepat mengarah ke sana.

Hello? Somebody please tell me the truth!

Surutnya pantai Karangantu di Serang adalah pendangkalan. Banyak lumpur di laut yang terbawa ombak dan angin hingga menumpuk di pantai. Jadi, bukan karena air laut terserap masuk ke dalam bumi seperti ketika akan terjadi tsunami. Itu hasil browsing saya pagi tadi, ditambah tanya ke teman yang bekerja di BMKG.

Entah mengapa dalam pekan-pekan terakhir ini, saya sering sekali mendapat kabar tentang bencana yang (mungkin) akan terjadi. Seperti ketika Indramayu sedang dilanda banjir tempo hari. Sebuah pesan masuk, mengabarkan agar warga waspada karena pintu air akan dibuka dalam 2 jam mendatang. Kabar itu saya terima pukul 20.00 WIB. Gila! Kalau benar adanya, bagaimana masyarakat akan evakuasi sementara hari sudah terlanjur malam? Jelas saya sempat panik memikirkan ibu saya yang masih sulit berjalan, juga adik saya yang mudah sakit. Bagaimana mereka akan evakuasi? Nyatanya, sampai pada jam yang telah ditentukan, saya tak mendapati  satupun kabar tentang dibukanya pintu air di Indramayu.

Ketika gempa menimpa Kebumen beberapa waktu lalu, getarannya terasa sampai Indramayu. Dalam waktu beberapa detik, seorang teman mengatakan kalau ia mendapat broadcast message : Indramayu waspada tsunami. Beruntung, teman lain yang bekerja di BMKG langsung menganulir kabar tersebut. Gila! Sudah sedang terkena bencana banjir, malah ditakut-takuti tsunami. Catatan, orang ketika sedang terkena musibah, sering tak pernah berpikir jernih. Kebayang seandainya masyarakat yang masih di pengungsian tahu kabar angin tentang tsunami? Saya sudah sulit membayangkannya.

Beberapa hari lalu, seorang teman mengirim broadcast message tentang tsunami yang akan menimpa Pantai Timur Malaysia dalam waktu 36 jam ke depan. Tuhan, mengapa orang senang sekali mengirim kabar tanpa mencari tahu lebih dulu kebenarannya? Menanggapi hal itu, saya langsung browsing to the max. Daripada kabar itu terlanjur di-copy paste lalu disebar ke orang lain, lebih baik ditata dulu benar-tidaknya, dianulir. Nyatanya, kabar itu dirilis pada bulan Desember tahun lalu, dan pejabat berwenang di Malaysia tak pernah mengeluarkan maklumat tsunami tersebut. Oh my...!

Apa tindakan terbaik ketika mendapat kabar-kabar yang sering muncul sebagai broadcast message? Saya masih memegang prinsip untuk mencari tahu lebih dahulu kebenarannya. Seringkali broadcast message diakhiri dengan kalimat, "sebarkan!" dan lain-lain. Manusiawi ketika kita langsung khawatir membacanya dan buru-buru menyampaikannya ke orang lain, supaya orang lain juga waspada. Namun please cari tahu dulu sebelum kita memijit tombol send. Kita sendiri juga belum tentu tahu atau bahkan tidak tahu kabar itu datang dari mana. Jadi untuk apa kita menyebarkan kabar yang kita sendiri belum tahu kebenarannya? Tuhan saja menyuruh kita untuk hati-hati menyampaikan kabar, kok kita malah enteng saja meneruskan kabar yang belum jelas?

Saya sendiri tak pandai benar tentang agama, namun Tuhan jelas menyuruh kita untuk meng-cross check (tabayyun bahasa kerennya) lebih dulu kabar-kabar yang kita terima. Nggak percaya? Coba buka QS. Al-Hujuraat ayat 6. Selamat menyikapi kabar!

Wallahua'alam bish showaab.



07022014

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi