Menjadi Relawan

Volunteering is not a job, it is a dedication. It is not about how much money you can collect, it is about how you make others smiling or even laughing.

Agak sulit mencari orang yang bersedia melakukan aktivitas sukarela belakangan ini. Apalagi dengan titel pendidikan yang turut nangkring di belakang nama seseorang, seperti secara otomatis menjadi barometer baru atas sistem besaran pengupahan. Tidak ada yang salah memang. Sayapun tak berusaha menyudutkan. Sama sekali tidak. Namun seperti yang juga kita tahu, banyak hal di luar sana, yang bisa kita lihat dengan mata -tanpa perlu alat khusus untuk memperjelasnya- yang menuntut kita untuk melakukan sesuatu tanpa upah.

 
Saya memang belum lama menjadi sukarelawan, relawan atau yang agak keren disebut volunteer. Ketika menulis ini, saya teringat ke masa-masa tahun pertama perkuliahan. Saat itu, di sore yang cukup cerah di Jalan Gegerkalong Girang, saya dan seorang kawan berjalan beriringan. Saya barus saja menolaknya yang mengajak mengisi waktu luang dengan alasan kalau saya sudah berjanji mengisi satu sesi sosialisasi HIV-AIDS di sekolah. Lalu kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut teman saya itu, 

"Ngapain sih Tan sibuk-sibuk di LSM? Mending kamu itu cari anak-anak yang mau di-les. Lumayan kan dapat uang!"

Sejujurnya saya sakit hati mendengarnya. Tapi apalah saya ini? Sedari dulu tak membantah omongan orang. Maka obrolan sore itu saya tutup dengan sebuah senyuman saja. Dalam hati saya meyakini, bahwa Tuhan punya perhitungan yang tidak bisa dinalar logika. 

Saya juga ingat ketika pertama kali menyeburkan diri di sebuah LSM. Seorang teman juga berkata dengan nada simpati,

"Kamu nggak takut kena HIV, Tan?"

Lagi-lagi saya tersenyum sambil berusaha menjelaskan kalau HIV itu jenis virus yang tidak mudah untuk ditularkan.

Tentang apa itu relawan, saya tak banyak tahu. Saya hanya ingat, menjadi relawan tak begitu sulit tapi juga tidak bisa dibilang sangat mudah. Semangat saya pun sempat naik-turun sewaktu masih beraktivitas di LSM yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Suatu ketika, saya dipercaya masuk ke sebuah tim yang mengembangkan pendidikan alternatif pelengkap bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namanya SMILE for Children, atau Support and Motivation Learning for Children. Saya senang sekali. Semangat saya muncul lagi. Aktivitas itu menuntut saya untuk meluangkan waktu setidaknya dua atau tiga hari dalam sepekan untuk mengonsep, mengajar, mengajak bermain, juga membuat laporan kegiatan. Pembayaran? Saya dan 3 orang rekan lainnya hanya mendapatkan pengganti transportasi. Itupun semula tidak terbersit di kepala. Lihat bagaimana Tuhan menghitung! Tuhan memang teliti sekali perhitungannya hingga apa-apa yang dipandang remeh-temeh oleh orang lain karena tidak berbau uang, ternyata ada berkahnya tersendiri.

Tak lama setelah melepas SMILE for Children, di tahun 2011, setelah sempat menjadi guru di salah satu SDIT, Tuhan menyeret saya kembali ke dunia kerelawanan. Kali ini lebih sering berkaitan dengan orang dewasa; korban KDRT dan perdagangan orang, juga anak-anak korban kekerasan. Sebagian besar waktu saya dicurahkan di sini hingga saat ini, meski sekarang tak banyak berinteraksi dengan korban.

Menjadi relawan memang tak sering mendatangkan apa yang kita inginkan. Saya termasuk yang tidak menyangka kalau saya tertular tuberculosis (TBC) dari interaksi bersama korban. Tapi ini sama sekali tak membuat saya kapok atau ingin berhenti. Mungkin, kalau saja sewaktu SMP saya lebih dahulu dikenalkan tentang bagaimana menjadi "seseorang" (kita bisa menyebut beragam profesi di sini) dibanding dikenalkan dengan sesuatu yang berbau sosial, saya juga akan lebih menghitung tentang bagaimana menjadi "seseorang". 

Menjadi relawan memang tak sering mendatangkan apa yang kita inginkan; materi, jabatan, atau hal-hal lain yang masih berikatan dengan dua hal tadi. Namun, setiap kali melihat senyum terpapar di wajah orang yang kita dengar ceritanya atau larut bermain dengan anak-anak, ada rasa yang tidak dapat diukur dengan besaran mata uang. Ini soal kebahagiaan. Ini soal keberartian. Ini soal apa yang bisa dibawa ketika kita pulang ke tempat yang abadi.

Volunteering is not a job, it is a dedication. It is not about how much money you can collect, it is about how you make others smiling or even laughing.

Dan saya yakin, jiwa-jiwa kerelawanan itu pasti ada di diri setiap orang, siapapun itu. 
Wallahua'lam bishshawaab.

source : google

Comments

Anonymous said…
Semangat selalu Intan, aku fans mu ;)
Unknown said…
maaf ya, saya marah-marah begini... :(
Anonymous said…
Kebahagiaan tidak terjadi dalam dompetmu, tapi dalam hatimu. :)

Semangat terus buat intan!
Anonymous said…
relawaan iti laki-laki, kalo perempuan relawin :P
Unknown said…
This comment has been removed by the author.
Unknown said…
@teh putri : makasih teh, heu. teteh semangat juga yak!

@alimin : apa katamu saja lah :p
Anonymous said…
eh bukan deng. kalo perempuan mah relawati. :P

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi