Maka apalah yang bisa menyelamatkan kita kelak?

Sejujurnya saya masih ngantuk, namun karena dikejar agenda pukul delapan pagi nanti, maka saya memaksa mata untuk terjaga. Alarm handphone saya belum berbunyi, tapi kakak saya sudah mendorong-dorong tubuh saya- bukan untuk membangunkan tapi agar tidur kami nyaman. Saya melirik jam, sudah hampir pukul dua dini hari. Saatnya bersiap. Sebentar saya mengecek handphone, ada dua panggilan tak terjawab dan sebuah pesan singkat. Betul, sudah saatnya bersiap, karena sepuluh menit lagi travel jemputan saya datang.

Naik travel adalah pilihan satu-satunya untuk mencapai Bandung sebelum pukul tujuh pagi. Kalau naik bis, dijamin, pukul sepuluh baru bisa menengok Cicaheum. Pada akhirnya, setiap diburu agenda pagi di Bandung saya selalu menggunakan travel dini hari yang artinya saya harus bangun pagi-pagi sekali.

Biasanya, ketika sudah duduk manis di dalam mobil travel, saya menyalakan MP3, untuk mengalihkan perhatian saya dari laju travel yang seringkali tidak kira-kira (amboi, ngebutnyaaa!), lalu melanjutkan tidur yang sempat tertunda. Namun hari ini, mungkin karena akumulasi rasa lelah dari aktivitas saya tiga pekan lalu, sulit sekali rasanya memejamkan mata, ditambah perut yang tak bisa kompromi : masuk angin. Ya sudah, jadilah perjalanan saya pagi ini dihantui rasa khawatir terjadi sesuatu (muntah, red.).

Pukul empat, mobil sudah melaju melewati Paseh. Terasa cepat sekali, satu setengah jam saja sudah hampir menembus pusat kota Sumedang. Syukur, perut saya tak ngambek lagi, saya bisa menyempatkan tidur. Rasanya baru beberapa menit saja mata ini menutup, mimpipun baru setengah jalan ketika tiba-tiba mobil yang saya naiki ini berhenti secara tiba-tiba, ngerem mendadak. Saya belum sadar sepenuhnya, namun badan ini sudah terdorong ke depan, jatuh. Penumpang lainpun terhempas. Kalimat-kalimat Allah memenuhi ruangan kecil mobil. MasyaAllah, hampir saja mobil yang kami naiki menabrak sebuah avanza! Jaraknya hanya tinggal beberapa sentimeter saja. Kami semua pias, tak ada yang berkata-kata, hanya menenangkan jantung masing-masing yang masih hebat berdetak.

Ya Allah benar... Mudah saja ternyata untuk memanggil satu-persatu jiwa ini... Benar, betapa dekatnya kita dengan kematian-sebuah pintu antara. 

Allah masih menyelamatkan. Saya dan penumpang lainnya selamat. Bukan, bukan karena amal-amal yang kami lakukan sepanjang hidup, yang akhirnya menyelamatkan kami pagi ini. Namun karena kasih sayang Allah saja, saya masih bisa menuliskan ini, dan penumpang yang lain melakukan aktivitasnya masing-masing hari ini.
Seandainya pun malaikat Izrail telah sangat dekat, apakah yang akan menyampaikan kita dengan selamat ke alam kubur? Semoga kematian kita kelak adalah pembuka jalan menuju pertemuan indah denganNya. Aamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi