Harga Sebuah Mimpi


Hari ini aku belajar, bahwa setiap orang, bagaimanapun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita … [dipetik dari Laskar Pelangi]

            Jadwalku hari ini relatif senggang : pagi menghadiri Musyawarah Kerja BEM, siang free dan ba’da Ashar rapat. Aku berharap Muker tidak akan berlangsung lama, dan nyatanya benar. Jam sebelas aku sudah melangkah keluar dari gedung fakultas, menuju MIPA menemui Fauzia yang tiba-tiba menanyakan posisiku.
            “Ntan, ntar dateng kajian film?”
            “Nggak tau, tadi sih booking ke Alita. Fau dateng?”
            “Dateng yuk!” Jadilah aku tergoda bertandang ke PKM, menikmati sajian film plus kajian (tetep) dari perspektif Psikologi yang dikemas oleh anak-anak Sublimotion. Ashar, aku bergerak menuju Al-Furqon. Tiba-tiba, aku melihatnya : seorang anak berkaus kumal tampak sedang memanggul karung yang hampir sebesar tubuhnya.
            “Hei Kiki!” sapaku.
            “Eh, Teteh…”
            “Lama ya, nggak ketemu! Ini siapa?” tunjukku pada anak yang menyertai Kiki, umurnya kuterka belum genap enam tahun.
            “Asin, Teh” Kutajamkan pendengaranku, khawatir salah mendengar namanya. Aku kurang bisa mendengar jelas akhir-akhir ini. Benar, namanya Asin. Lebih tepatnya, panggilannya adalah Asin. Aku dan Kiki duduk di depan masjid, sementara Asin asyik mencari buah-buah merah kecil yang belum kutahu genus nya.
            Aku mengenal Kiki hampir setahun. Aku sangsi Kiki masih mengenaliku atau mengingat pertemuan pertama kami. Waktu itu, aku bertemu dengannya hampir larut malam, berjalan seorang diri dengan karung yang penuh berisi botol. Harus beginikah untuk sekedar bertahan hidup? Entah, aku tertarik untuk menyapanya. Lantas, obrolan kecil itu mengalir begitu saja, seolah kami pernah bertemu sebelumnya. Ia menceritakan tentang dirinya, terbuka sekali. Mungkin begitulah anak-anak, terbuka dan apa adanya. Aku menawarinya jamur crispy buatanku dan air matanya langsung menetes karena kepedasan. Aku mengingatnya, tapi mungkin Kiki tidak.
            Hm, Kiki, akhirnya kita bisa bertemu lagi! Kiki sekarang sudah kelas lima. Dia tetap sekolah. Mencari botol ia lakukan sepulang sekolah, sore hari bahkan kadang larut malam dia baru bisa merasakan nikmatnya menutup mata dan merangkai mimpi. Hari Minggu, biasanya Kiki ke Pondok Hijau, belajar bersama teman-teman di Taman Teknologi. Ia belajar banyak hal di sana, sains, seni, dan terutama keberanian dan kepercayaan diri.
            “Kiki pernah lho, ngelakuin percobaan di depan dosen!” ujarnya bangga.
            “Tahu nggak Teh, Kiki mau jadi apa?”
            “Nggak, emang Kiki mau jadi apa?” tanyaku tertarik. Ini bagian yang paling menarik untukku dibanding cerita-ceritanya yang lain. Seorang anak pengumpul botol… bukankah hal yang sangat menarik untuk mengetahui apa yang paling diinginkannya?
            “Kiki mau jadi pembalap mobil! Ngeeeng… Kiki sampe mimpi itu lho semalem! Di mimpi Kiki, Kiki ada di luar negeri. Ketemu sama pembalap-pembalap yang terkenal itu Teh. Kiki deg-degan, bisa nggak ya, Kiki menang dari mereka? Eh, Kiki menang! Kiki dapet tiga puluh ribu dollar Teh! Kiki beliin mobil sama alat-alatnya. Kiki jadi pembalap hebat!” dia masih terus bercerita dan aku menyukai ceritanya, kadang tersenyum, sesekali tertawa. Anak ini… bukankah seharusnya dia mencari botol? Apa aku mengganggunya dengan mengobrol seperti ini?
            “Oya Ki, uang dari Kiki nyari botol buat apa?” kuterka, jawabannya pasti buat membayar uang sekolah.
            “Buat beli mobil! Katanya, harganya tiga puluh ribu dollar. Jadi Kiki celengin uangnya, nggak pernah Kiki jajanin. Tau nggak Teh, Kiki udah punya tiga celengan lho!” ujarnya bangga. Aku sedikit tergelitik untuk bertanya.
            “Emang tiga puluh ribu dollar itu berapa, Ki?”
            “Ng… nggak tau. Banyak banget pokoknya mah!” kami tertawa. Tergelak. Jarang aku bisa tertawa selepas ini. Aku tahu Kiki tidak tahu berapa jumlah pasti dari tiga puluh ribu dollar, tapi dia punya keinginan kuat untuk mencapai mimpinya. Tiga puluh ribu dollar… aku berpikir keras kapan Kiki bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dengan cara mengumpulkan botol-botol bekas. Bukankah Allah lah yang mengatur pertemuan timur dan barat? Demikian pula cerita Kiki. Allah lah yang tahu kapan semua itu terjadi, dan pasti ada rencana yang berlaku pada setiap makhluk.
            Kiki. Mungkin ia hanya satu bagian kolase saja dari potret anak-anak Indonesia. Anak-anak, mereka bukan hanya masa lalu dan masa depan, tapi juga masa kini yang perlu diperhatikan dan dijaga. Aku yakin, anak-anak yang berjuang di pinggiran jalan sana-mengamen, mengasong, mencari botol seperti Kiki, dan sederet pekerjaan yang sebenarnya tidak layak untuk mereka lakukan- pasti memiliki cita-cita dan mimpi. Dan mimpi itu harus mereka bayar dengan harga yang sangat mahal : kehilangan masa kanak-kanak.

So what’s the glory in living?
Setelah bertemu lagi dengan Kiki, anak Indonesia juga seperti kita.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi