NGAYOGYAKARTA : JOGJA



Nggak tahu deh, ini jenis tulisan apa (",)? Simak aja deh, masbro-mbaksis!
Entah dari mana ide itu datang, tapi tiba-tiba saya berseru di hadapan Pebi dan Fauzia : gimana kalau Jogja? Ternyata ide spontan itu disambut pula dengan spontan: ayo! Jadi, hari itu juga kami packing dan hunting tiket kereta ekonomi. Hasil nihil. Langkah terakhir, kami akan ke Jogja sore itu juga, dengan menggunakan bis.

Entah apa yang menarik dari Jogja, tapi akhirnya kota itu menarik kami ke beberapa ruangannya.

Malioboro
Katanya, belumlah disebut ke Jogja kalau belum menginjak jalanan Malioboro. Malioboro masih sama seperti sembilan tahun lalu ketika saya terakhir kali ke sana. Hanya saja, di sana kini telah ada shelter Trans Jogja dan beberapa potongan globalisasi lain, seperti toko-toko serba ada duapuluh empat jam itu.
Melihat Malioboro membuat saya tergelitik untuk bertanya, mengapa Jogja sedemikian menariknya? Apakah karena daya pikat Malioboro ini? Apa yang sanggup ditawarkan Malioboro? Mungkin di sinilah, simpul itu menemukan kaitannya : wisata ke sebuah daerah, tidaklah terasa lengkap tanpa buah tangan yang mengiringi. Di situlah, daya pikat yang dimiliki Malioboro, menurut saya.

Candi Prambanan
Orang sering keliru, menganggap Candi Borobodur sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki Jogja. Padahal, Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah. Sementara di Jogja, ada sebuah candi yang juga menjadi warisan budaya Indonesia, Candi Prambanan. Candi tersebut adalah candi yang cukup memiliki arti bagi umat Hindu di Indonesia. Namun saat ini, bagaimana kondisinya?

Setelah mengalami kerusakan pasca gempa di Jogja, Candi Prambanan kemballi direnovasi, yang pelaksanaannya masih berlangsung hingga kini. Namun kita masih boleh menikmatinya. Namun bagi kita orang awam, apalah arti Candi Prambanan ini, selain merupakan tanda cinta Bandung Bondowoso terhadap Roro Jonggrang? Bagi kebanyakan di antara kita, Candi Prambanan sangat berarti untuk menampilkan eksistensi diri pribadi. Iya, biasanya begitu memasuki area candi, kita sudah siap memasang pose terbaik, dan membiarkan lensa kamera mengabadikannya, kemudian menampilkannya pada halaman jejaring sosial kita. Begitu saja. 

Keraton Ngayogyakarta
Kini, berbicara mengenai budaya. Kami bertiga melintas di hadapan pintu gerbang Keraton, tempat kediaman Sultan, duduk-duduk di bawah pohon sambil beristirahat. Beberapa bapak berpakaian tradisional duduk di pelataran besar, seperti menunggu, menawarkan jasa pemandu. Orang-orang melintas dalam kelompok-kelompok besar. Beberapa rombongan saya ketahui adalah wisatawan lokal, beberapa lagi berbincang dalam bahasa yang cukup asing, dengan perawakan khas ras mongoloid atau kaukasoid. Wisatawan asing.

Pertanyaannya, adakah budaya masih menarik untuk dinikmati? Bagaimana orang masih berbondong-bondong datang ke komplek kesultanan? Saya tidak tahu. Bisa jadi budaya memiliki pengaruhnya sendiri, yang seperti lubang hitam, masih mampu menyedot perhatian.

Ambarrukmo Plaza
Kadang, globalisasi terlihat sedemikian anggunnya, namun bagi saya, dengan satu kata globalisasi, semua hal tampak menjadi sama dan sejenis.

Mari sedikit kita sempatkan ke Ambarrukmo Plaza, dalam bahasa gaul anak Jogja disebut Amplaz. Amplaz adalah sebuah mall terbesar di Jogja. Bagi saya, sama saja seperti mall yang ada di kota-kota lain. Globalisasi dan modernisasi yang menuntut itu, saya kira.

Jadi, sebenarnya tak perlu penasaran. Sensasi yang ditawarkan sama saja seperti mall yang ada di Bandung, yang berbeda, di Amplaz ini, logatnya Jawa.

Pasar Beringharjo
Terletak di ujung Malioboro, membuat Beringharjo menunjukkan eksistensinya sebagai pusat belanja paling menyenangkan bagi wisatawan, terutama wisatawan lokal. Saya sebut menyenangkan karena hampir semua orang yang bertandang ke pasar tersebut cerah sumringah wajahnya ketika memasuki kawasan pasar, mungkin saya menjadi pengecualian. 

Siapapun yang menggilai harga semurah-murahnya, akan sangat puas dengan prosesi tawar-menawar yang kerap dijumpai di pasar ini. Ya, di pasar ini, kalau kita memiliki rasa percaya diri yang kuat, kita dapat menjumpai aneka produk sandang batik dengan harga miring selangit.

Namun, dalam benak saya, timbul pertanyaan, kenapa kita menyukai diskon? Kenapa kita menyukai prosesi tawar-menawar dan merasa sangat puas ketika prosesi tersebut berjalan lancar dan kita pulang dengan barang murah selangit itu?

Oseng-oseng Mercon
Katanya, penganan yang satu ini cukup fenomenal. Itu yang dibilang google pada Fauzia dan Pebi. Terletak di kawasan Jalan Ahmad Dahlan Yogyakarta, pedagang oseng mercon tak lain adalah pengusaha-pengusaha yang memanfaatkan lahan emperan toko untuk mendirikan tenda mereka di malam hari. Tikar-tikar berjajar, di atasnya duduk manis beberapa meja untuk para pengunjung menyantap sajian. Lalu apa yang membuat oseng mercon ini fenomenal?

Di masa ini, orang Indonesia sedang maniak dengan sesuatu yang pedas. Oseng mercon ini hadir sebagai salah satu bagiannya. Oseng mercon yang merupakan tumis daging dengan bumbu kaya rempah menawarkan sensasi pedas yang menggigit- Fauzia bilang, pedas yang enak. Pedas yang enak ini cukup membuat air mata turun. 

Saya justru bingung. Agak aneh juga. Di tengah masyarakat Jawa yang dikenal memiliki citarasa masakan yang manis seperti gudeg, oseng ini hadir dan menjadi salah satu favorit. Mungkinkah Jogja juga sedang coba ikut mainstream setelah Bandung diguncang dengan keripik singkong super pedas? Tampaknya, Indonesia dengan beragam masakan dengan citarasa yang kaya, kini sedang dilanda badai “rasa” yang merujuk pada satu rasa : pedas. Badai ini hanya di Indonesia.

Kopi Joss Angkringan
Sekali lagi, Jogja menunjukkan eksistensinya. Meskipun warung-warung angkringan berjamur hampir di setiap kota, namun ke Jogja belumlah lengkap tanpa bersantap di warung Angkringan. Di kota asalnya, ada satu warung yang populer, terletak dekat Stasiun Tugu dan Malioboro, warung ini diberi nama Angkringan Mas Agus.

Nasi kucing menjadi salah satu menu yang patut dicoba. Selain karena lebih variatif dari sisi isi, juga karena itulah menu nasi yang ditawarkan. Soal minuman, bisa dipilih dari air putih, teh, sampai es tape dan kopi joss. Yang terakhir ini kerap diburu pengunjung.

Minuman ini bukan minuman kopi dicampur salah satu merk minuman berenergi. Ia dinamai seperti itu mungkin karena ketika bara dimasukkan ke dalam gelas kopi, muncul sensasi meletup-letup. Mungkin begitulah sampai disebut joss – bagian ini tampaknya perlu diklarifikasi (peace).

Apa yang istimewa dengan sajian kopi yang dicemplungi bara alias arang yang menyala? Sensasi? Ah, orang tampaknya gmar betul mencari sensasi.

Merica Sing Kong Resto
Ulasan salah satu acara televisi melekat benar rupanya di benak Pebi. Ia mengajak kami mencoba berbagai menu di Merica Sing Kong Resto, letaknya tak jauh dari Ambarrukmo Plaza. Seperti namanya, resto kecil ini menawarkan berbagai hidangan yang terbuat dari singkong. Di sini, singkong lah yang jadi primadona. Harga jualnya jadi naik meski tetap bisa dijangkau mahasiswa seperti saya. Penampilan singkong pun diubah jadi menarik.

Bagaimana rasa tiwul goreng? Bagaimana rasanya steak dari singkong? Setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggagas satu hari tanpa nasi setiap hari rabu, tampaknya pengusaha kuliner Jawa Barat patut mencoba membuat peluang usaha seperti Merica Sing Kong Resto ini. Ya, di tengah cadangan padi nasional yang kian menipis, kita rupanya harus membiasakan lidah untuk menerima penganekaragaman makanan pokok, seperti iklan layanan masyarakatnya Mas Tukul.

Trans Jogja
Di balik kecilnya wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, ada satu yang istimewa : keberadaan alat transportasi umum. Tidak seperti di kota-kota lain, di Jogja tidak memiliki moda transportasi macam angkot, yang kalau di kota lain hilir-mudik ke sana-kemari. Jogja menawarkan becak dan Trans Jogja, dua kendaraan ini yang paling populer. Dengan uang tiga ribu rupiah, kita bisa berkeliling Jogja. Ini memang mirip dengan Trans Jakarta maupun Trans Metro Bandung. Melihat hal ini, sepertinya kelak, di setiap kota akan hadir bis-bis trans karena saat ini saja sudah ada Trans Semarang di Semarang dan Trans Musi di Palembang sana.



Yogyakarta, 8-9 Desember 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi