Celetak-Celetuk tentang Perubahan
Saya sedang memikirkan tentang kata 'perubahan'. Tunggu, jangan pikir kalau saya menulis ini karena momen-nya pas lantaran mendekati detik pergantian tahun. Namun, sebut saja ini oleh-oleh, buah tangan. Hari itu, selepas hujan, saya menemui seorang kawan dan mengobrol. Sejak saat itu (bahkan ketika obrolan masih berlangsung), kata perubahan telah lekat di benak saya.
Cerita satu : si serius yang ekspresif
Ini cerita tentang kawan saya. Settingnya pesantren, delapan tahun lalu waktu dia sedang jadi anak SMA. Saya mulai prolognya dulu.
Kami belum lama kenal sih, tapi dari waktu yang sebentar ini saya pikir dia ekspresif sekali. Banyak punya cerita. Kalau sudah mulai bercerita, kadang saya kerepotan bagaimana harus memintanya berhenti. Imajinasinya terentang jauh melintasi Middle Earth, Final Fantasy dan entah apalagi. Hobinya nonton dorama atau film-film fantasi, di samping dia juga hobi baca buku, juga mendengar K-Pop. Kesukaannya serigala, walau belum pernah melihat langsung. Dan yang terpenting kami berdua sepakat kalau burung elang itu ganteng.
Namun siapa yang menyangka, suatu hari ia bercerita. Bercerita tentang hidupnya delapan tahun lalu, di sebuah pesantren nun di Jawa Tengah sana. Dahulu bahkan ia pendiam sekali. Begitu yang ia ceritakan. Ia suka pelajaran eksakta, suka belajar meski katanya tak pernah masuk jajaran sepuluh besar. Ia suka menulis, sebuah katarsis. Suatu hari, setelah lewat beberapa hari, ia minta dipindahkan ke kelas IPA. Di situ ia menemukan teman-teman yang menyenangkan, yang semangat belajarnya tinggi, yang kerap membuatnya tertawa, dan yang menganggap dia sebagai seorang yang menarik. Dia sampai berpikir, kok bisa ada yang menganggap dirinya menarik begitu. Sampai akhirnya, ia menemukan dirinya sendiri, dirinya yang mulai tak ragu mengekspresikan diri. Ia masih suka belajar. Ia menulis bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun mulai memikirkan orang lain yang kelak membaca tulisannya. Ia bisa tertawa terbahak, menyembunyikan novel-novel yang tidak diizinkan untuk dibaca di lingkungan pesantren, memainkan mimik wajah, dan mulai memiliki banyak teman. Dan ya, ia masuk jajaran sepuluh besar. Dan itu menyenangkan, baginya.
Cerita dua : dia yang kehilangan diri
Ini cerita tentang masa lalu seseorang. Saya mengenalnya cukup lama dibandingkan teman yang saya ceritakan di atas tadi. Settingnya ke masa putih-biru. Bagi dia, putih-biru lebih berarti dibanding putih-abu.
Dia adalah jawara sekolah. Peringkat satu disabetnya hampir setiap caturwulan (saat itu belum pakai istilah semester). Perilakunya sradak-sruduk, agak sulit diatur tapi memang anak yang patuh kepada guru-guru. Ia tak memiliki keinginan menggunakan jilbab kala itu, baju lengan panjang pun digulungnya setengah lengan.
Apa yang terjadi kemudian? Dia kena masalah. Tak lagi jadi juara, kena fitnah, sampai orangtuanya dipanggil ke sekolah. Saat itu yang bisa dilakukannya hanya menangis saja, tak berani ke luar rumah, hingga ibunya mengantarkan ia menuju hidayah. Di hari pertamanya kembali ke sekolah, ia telah menutup rapi tubuhnya. Namun ia tak menjadi dirinya yang dulu. Ia tersingkir dari deretan para juara meski nilainya tidak turun-turun amat. Ia menjadi lebih pendiam dan tak berani lagi menjadi sorotan publik. Ia menemukan dunia barunya: menulis sebagai sarana katarsis, banyak menjalin pertemanan meski tak lagi menjadi sentral dalam setiap pembicaraan. Ia mulai optimal membolos demi melakukan aktivitas di luar ruang-ruang sekolah yang berbentuk kotak. Kini, sepuluh tahun berlalu, ia mulai merindukan dirinya yang dulu, yang menangis saat harus menangis, tertawa saat ingin tertawa, dan menyelami ilmu.
Cerita tiga : metamorfosa kupu-kupu
Ini cerita tentang kupu-kupu, yang diidentikkan dengan perubahan. Tak usahlah saya banyak bercerita tentang makhluk ajaib ini, karena kita sudah tahu bagaimana telur kupu-kupu harus menempuh perjalanan yang cukup panjang demi menjadi serangga yang cantik. Saya pikir, kita semua telah tahu.
Namun yang membedakan antara kita dengan kupu-kupu, sejak semula ia tak pernah memilih, kelak selepas fase kepompong, menjadi makhluk seperti apa. Ia tunduk patuh pada garis hidupnya menjadi kupu-kupu. Kita yang bisa memilih, meski takdir ada yang tak bisa kita ubah, namun percikan-percikan episode hidup bisa kita rancang.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. 13 : 11)
Cerita empat : saat tarif tak lagi seperti dulu
Yang satu ini ceritanya tentang saya, yang tadi pagi mendapat kejutan. Saya, seperti yang kamu tahu, adalah mahasiswa tingkat akhir yang masih berkutat dengan skripsi dan beberapa pekerjaan. Saya, bukan orang yang ekspresif, pendiam, meski sesekali merindukan keajaiban-keajaiban masa lalu dan terlalu cinta pada kupu-kupu. Prolognya segitu saja ya!
Waktu hendak menyeting radio agar bisa didengar via headset, ibu kos memanggil. Mengajak saya bicara di ruang keluarga. Tumben, sepertinya ada yang serius ingin ia sampaikan. Dan, cetaaaaaaaaarrr... tarif kosan saya naik terhitung mulai Januari tahun depan, yang artinya adalah dalam beberapa hari ke depan saya harus ekstra irit agar bisa membayar sewa bulanan.
Kalau masih berjodoh, tahun depan adalah tahun ketiga saya menempati kamar imut-imut itu, yang kini sudah mulai ramai dengan kehadiran Indonesia, Dunia, Owl, foto, dan sansevieria, juga kupu-kupu dan bangau.
Perubahan tarif memang hal biasa sih, tapi bagi saya itu berarti akan ada penyesuaian-penyesuaian. Perubahan selalu menuntut penyesuaian, kan? Mungkin itu yang harus saya antisipasi. Kelak, entah akan tetap tinggal di sana atau harus mencari kamar yang tarifnya sesuai budget, yang jelas itu akan mempengaruhi beberapa bagian hidup saya. Mungkin tak akan terlalu besar pengaruhnya, tapi pasti ada. Seperti Si Cerita Satu yang berubah, atau Si Cerita Dua yang juga berubah meski galau.
Dan ya, sama seperti perubahan-perubahan yang kerap terjadi dalam hidup, sekali lagi, itu hal biasa. Tinggal kita yang mau berubah menjadi seperti apa.
27 Desember 2012
Changing.
Comments