Saya dan Kemungkinan Masa Depan

Ternyata, pekerjaan panas macam menyetrika baju mampu membuat otak saya bekerja keras memikirkan kemungkinan: masa depan.

Sepertinya akhir-akhir ini saya kehilangan pegangan. Oh God, what should I called this situation?  Sebenarnya sih sederhana saja, saya tinggal mencari tiang atau pohon untuk pegangan. Bukankah begitu? Hft.

Berada di zona nyaman. Mungkin itu yang tengah saya alami, sampai-sampai saya kehilangan mimpi. Kalau menilik diri saya ketika SMP, saya punya sikap, punya impian yang terus dikejar. Bersyukur lantaran punya sikap : mengembalikan uang yang (memang) hak saya, belajar sungguh-sungguh agar bisa masuk sekolah nomor wahid meski bermodal gengsi, juga memutuskan untuk memperbaiki diri dengan mulai berkenalan dengan Islam. Saya menyukai sisi diri saya waktu itu.

Saya juga menyukai diri saya ketika berseragam putih-abu. Meski tetap memegang gengsi dengan masuk kelas dengan strata paling tinggi, meski harus menjadi buah bibir guru-guru lantaran dianggap lemah, meski harus berlangganan remedial secara rutin, dan dengan senang hati meninggalkan halaman sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung demi mencari apa yang saya minati.

Kini, saya berada di ujung hari sebagai mahasiswa tingkat akhir yang harus segera lulus. Lalu setelah ini, apa? Perenungan singkat saat tengah menyetrika pakaian pagi ini mengantar saya untuk menyelami masa lalu yang indah namun tak mudah itu. Mengapa saya harus berkuliah di Jurusan Psikologi?

Bukan, bukan karena salah jurusan seperti keluhan beberapa adik tingkat beberapa waktu ini. Bukan pula karena terpaksa disuruh orangtua. Juga bukan karena nasib baik sedang mampir saat itu sampai saya diterima di kampus negeri yang biayanya aduhai relatif lebih murah dibanding kampus negeri lainnya. Sikap. Seantero sekolah sudah tahu kalau seorang pelajar dengan merk sekolah yang saya tempati akan dikatakan keren dan hebat kalau masuk perguruan tinggi berlabel teknologi itu. Saya sempat mengalaminya ketika kakak kelas bertanya "Kenapa nggak masuk kampus teknologi aja?" dan tetangga yang berkata, "Oo... kamu bukan anak kampus teknologi ya? Si A katanya masuk sana ya? Dia emang pinter banget lah!". Kampus teknologi bagi saya telah jelas punya benang warna apa, dan saya memilih psikologi sebagai benang yang akan memperindah sulaman hidup saya.

Sekira tahun 2003, kesadaran itu mulai tumbuh. Kesadaran bahwa hidup itu harus punya arti. Pada tahun-tahun itulah, saya dipaksa menjadi pengamat, beraktivitas dari satu tempat ke tempat lain, dari sekolah, panti asuhan, kampus, masjid, ruang rapat badan pemerintah, kantor DPRD, alun-alun kota, menjejaki Bandung dan Jakarta, mengamen di pinggir jalan, berjualan bunga bersama kakak-kakak mahasiswa, bercuap-cuap mengenai HIV/AIDS dan kondom (padahal waktu itu saya sendiri belum paham), berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus... Rentang waktu yang cukup singkat antara 2003-2007 bagi saya untuk akhirnya memahami kemungkinan masa depan seperti apa yang akan saya jalani. Beberapa pilihan terbentang: menjadi ahli botani seperti cita-cita awal saya, atau menjadi pekerja sosial- dengan pilihan alternatif : belajar psikologi, pendidikan luar sekolah, atau menjadi abdi negara dengan mengambil formulir bersekolah di ikatan dinas, atau berkutat dengan ranah penelitian seperti masuk ke jurusan sejarah, geografi, sosiologi yang saya cintai itu. Namun saya memilih psikologi, akhirnya. Melihat betapa berartinya apa yang bisa saya perbuat dengan ilmu psikologi suatu hari nanti.

Maka, saat tengah gundah gulana di hadapan mesin setrika yang semakin memanas, saya kembali menemukan jawaban itu, jawaban yang memaksa saya bertahan di psikologi. Kini, saya melihat peta kemungkinan itu bermuara : kemungkinan masa depan itu. Itu berarti sekali.


24 April 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi