Alamat Heni
Rumah Aman sudah sepi. Satu
persatu penghuninya sudah kembali ke kampung halaman masing-masing. Setidaknya,
hatiku cukup merasa lega- satu tugas berkurang sudah. Namun hari itu, di hari
seharusnya aku dapat duduk santai sambil sesekali mengecek news feed pada akun jejaring sosialku, nyatanya tugas itu belum
berakhir. Telepon dari Pemerintah Kabupaten Bogor masuk.
“Neng, tadi Ibu udah coba cek
alamatnya Heni, tapi kurang lengkap kayaknya ya Neng... Itu Jasinganya di mana?
Da Jasinga teh luas Neng. Punten nya,
tiasa diteraskeun deui?” Hft, aku merasa seperti dianugerahi barbel sepuluh
kilogram di kepala. Tugasmu belum
berakhir, sweetheart. Aku coba menghibur diriku sendiri. Kuarahkan kursor
notebook ke mesin pencari, sekali lagi coba menjadi detektif atau lebih tepat
menjadi tukang pos : mencari alamat, dengan clue
Bubulak dan Jasinga. Sumpah, aku
tidak tahu di ujung dunia manakah daerah berjuluk Bubulak dan Jasinga itu
berada tepatnya- yang kutahu kedua daerah itu ada di Kabupaten Bogor. Tepatnya
sungguh aku tidak tahu.
Ia diberi nama Heni – entah nama
asli atau bukan – yang jelas, ketika pertama kali kutanya-tanyai, ia mengaku
bernama Heni. Hal yang sulit untuk dipastikan, karena ia tak memiliki KTP.
Jadi, mari kita percayai saja namanya memang Heni. Ia adalah korban penipuan.
Iya, penipuan kerja yang kita sebut traficking
sekarang ini. Menurut Heni, usianya sudah 22 tahun. Perawakannya kecil,
rambut sebahu dengan salah satu mata yang hampir rusak. Ia bilang dahulu sekali
ia pernah dipukul ibu tiri. Walaupun bertubuh kecil, ia terlihat seperti
seorang wanita dewasa. Namun aku sangsi, usia kronologisnya pasti jauh beda
dengan usia mentalnya. Secara sering
sekali ia menunjukkan perilaku khas kanak-kanak. Parahnya, sudah tidak memiliki
KTP, Henipun tidak ingat di mana ia tinggal. Ia hanya ingat Bubulak dan
Jasinga, tanpa petunjuk RT dan RW berapa, tanpa tahu Bubulak dan Jasinga itu
menunjukan nama desa atau kecamatan. Aku bingung, rekan-rekan relawan yang
lainpun bingung dibuatnya. Pekerjaan kami di penghujung hari ini belum selesai.
Aku berjalan bersama Heni menuju
kantor. Ia senyum-senyum saja sejak tadi. Mungkin sedang bahagia dia, merasa
sebentar lagi akan pulang, seperti teman-temannya yang telah lebih dulu
dijemput.
“Eh Heni... sini-sini, duduk di
sini!” rekanku, Tika sudah duduk santai di sofa ruang tamu kantor. Heni dengan
malu-malu masuk, lalu duduk. Aku mengambil tempat tepat di sebelahnya.
“Heni, kita mau tanya, Heni
rumahnya di mana?” Tika memulai pembicaraan. Ini langkah terakhir kami untuk
mengetahui ke mana Heni akan dipulangkan. Senyum Heni berangsur lenyap. Aku
terka, ia mungkin sudah lelah menjawab pertanyaan semodel ini berkali-kali.
“Jasinga.”
“Iya atuh, Jasinganya di sebelah mana?”
“Nanti ada mobil yang Bubulak...”
Nah lho, kami malah semakin mengernyitkan dahi mendengar jawaban Heni. Aku
tidak mengerti, Tika juga tampaknya sama tak mengertinya.
“Gini lho Hen, rumah Heni di
Bubulak atau Jasinga?” Giliran aku yang bertanya.
“Jasinga.”
“Rumah Heni di mana? Jasinga atau
Bubulak?” Ini pertanyaan skenario yang kami persiapkan.
“Bubulak.” Angin sore berdesir,
kami nyengir.
“Oo... rumah Heni di Bubulak?”
“Bukan Teh... di Jasinga!” Aku
dan Tika saling menatap. Oke. Rencana selanjutnya.
“Di Jasinganya sebelah mana?
Rumah Heni deket sama apa?” Heni terdiam lama.
“Rumah Heni deket sama pasar
nggak?” Heni mengangguk.
“Nama pasarnya apa?”
“Jasinga.” Jawaban yang tidak
cukup membantu.
“Deket sama sekolahan nggak?”
Heni mengangguk lagi.
“Nama sekolahannya apa?”
“Jasinga.” Hft. Kami mulai
menyerah.
“Teteh sama Heni aja ke sana.
Naik kereta, terus naik angkot Bubulak...” Heni memasang kembali senyumnya.
Menawarkan ide luar biasanya, ide yang beberapa hari ini ia utarakan pada kami,
dan berkali-kali pula kami menjelaskan aturan main di kantor ini.
“Nggak gitu Hen... Nanti ada yang
jemput Heni ke sini.” Heni mengurangi kadar senyumnya. Sulit. Aku dan Tika
menyerah. Tidak tahu lagi bagaimana cara ampuh untuk mengorek identitas Heni,
terutama alamat ke mana ia akan dipulangkan.
Heni. Ia satu saja dari beberapa
korban trafiking yang dititipkan di Rumah Aman dua pekan lalu. Menurut yang
disampaikan Heni padaku, ia diajak seseorang yang baru dikenalnya untuk bekerja
di luar negeri. Saat itu, Heni adalah pengamen- mengamen di kereta
Bogor-Jakarta. di Jakarta itulah ia bertemu dengan Endang, seorang perempuan
yang membujuknya bekerja di Malaysia dengan janji gaji satujuta rupiah
perbulan. Namun janji tinggallah janji. Belum genap dua bulan bekerja di
Kuching sebagai pembantu rumah tangga, Heni sudah merencanakan kabur. Katanya,
majikannya bukan orang baik, suka memukul bahkan mengurungnya dalam kamar.
Semuanya membuat ia tidak betah. Maka saat majikannya sednag tidur, Heni bisa
kabur dengan mudah, menuju kantor polisi terdekat. Gaji tak ia dapat.
Ya. Heni. Persoalan terkait alamat
pemulangan Heni tak kunjung dapat solusi. Kami menyerah.
***
Assalamu’alaikum
Neng,
alamat Heni udah ketemu. InsyaAllah besok kami ke Bandung buat jemput Heni.
Ida-
Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Bogor.
Aku terpekur membaca pesan singkat
yang masuk ke telepon selularku. Merasa tak percaya, tapi berharap itu memang
kabar yang nyata. Ubun-ubunku merasa ringan sekarang. Tersisa pertanyaan, bagaimana bisa?
Iya,
tadi Ibu ada kegiatan di Kabupaten. Kebetulan kepala-kepala desa diundang
semua, jadi Ibu tanya ke mereka ada nggak warganya yang namanya Heni. Ternyata
ada satu yang bilang kalau ada warganya yang punya nama Heni dan katanya udah
beberapa waktu ini hilang...
Oh Tuhan, terima kasih... Setidaknya
Heni sudah jelas asal-usulnya... Kami menghirup nafas lega- setidaknya karena
akhir pekan ini kami bisa tidur tanpa memikirkan terus alamat si Heni.
27 April 2012
Comments