Pahitnya Kopi

Bisa jadi, saya akan jadi bahan ledekan di antara teman-teman dekat saya terkait postingan ini.

Saya selalu kesulitan untuk bisa menikmati secangkir kopi sampai tuntas. Ada satu kekhawatiran yang selalu menahan saya untuk menyesap kopi. Apalagi kalau bukan kondisi asam lambung yang kurang bersahabat. Sama seperti kebanyakan orang, saya bisa langsung menderita akibat segelas kopi. Jantung yang berdebar tidak karuan serta lambung yang melilit seperti kemasukan banyak udara saat masuk angin. Paling parah adalah kalau sampai tidak bisa tidur akibat dua gangguan tadi. Oh my...!


Seorang pemilik pabrik kopi di Bandung pernah menjelaskan sesuatu yang sekaligus menjawab kekhawatiran saya. Katanya, semua gangguan fisiologis itu tidak perlu terjadi kalau kopi yang kita nikmati well-processed.  Masalahnya, terlalu banyak kopi instan yang meski well-processed, tapi bahan bakunya belum matang benar. Biji kopi yang masih muda jika dipaksakan diolah, memiliki kadar keasaman yang tinggi. Menurut pemilik pabrik kopi itu, kadar asam yang tinggi inilah yang jadi ancaman bagi lambung kebanyakan orang. Alhasil, dari obrolan singkat itu, saya mulai coba minum kopi lagi, tapi bukan kopi instan. Syukur, gangguan jantung dan lambung jarang terjadi asal saya sudah makan berat lebih dulu. 

Saya bukan pecandu kopi seperti kakak saya. Saya justru aneh melihat dia selalu minum kopi secara reguler setidaknya satu cangkir setiap hari. Kopi yang dia minum adalah latte tanpa gula. Dia senang sekali ketika tahu di dekat kosan saya ada kedai kopi kecil tapi menyajikan kopi terbaik. Karena dialah, saya beberapa kali mampir ke kedai kopi itu dan menirunya meminum latte. Pahit.

sumber gambar: www.wallcoo.net

Tapi memang tidak semua yang manis itu "manis" kan? Jadi latte tanpa gula masuk ke dalam daftar minuman yang saya butuhkan ketika harus begadang. Ok, pengakuan pahit ini mungkin akan membuat teman saya penggila kopi tertawa. Bagaimana tidak, saya selalu keukeuh mempromosikan aneka jenis teh yang saya punya, yang hampir selalu ada di laci meja kerja, yang selalu ada di dalam termos ketika saya melakukan perjalanan jauh. Sekarang? Saya masih suka teh sih, tapi kali ini bersandingan dengan kopi.

Katanya, hidup itu seperti kopi. Pahit. Terserah selera kita ingin membubuhinya dengan gula seberapa banyak.

Pahitnya kopi mengajari saya sesuatu. Bahwa banyak hal yang bisa dinikmati dari ketidaknyamanan dan ketidakberuntungan, dari ujian dan hidup yang tidak mudah. Tidak perlu bergegas lari dengan mencari "manis" - kesenangan. Nikmati saja dulu sebentar rasa pahit itu, biarkan rasa pahit itu bertahan agak lama di pangkal lidah. Di situlah biji kopi pecah menjadi beberapa rasa dalam pahitnya. Ada rasa hasil pembakaran di sana, ada sedikit rasa asam dan juga barangkali kita bisa merasakan sepintas rasa cokelat. Kejutan yang hanya bisa dinikmati ketika rasa pahit itu bertahan agak lama di mulut.

Bisa jadi hidup pun seperti itu, seperti rasa pahitnya kopi tanpa gula. Tergantung bagaimana kita menikmatinya; dibiarkan tanpa gula atau dibubuhi sedikit gula. Persoalan ditambahi susu, dicampur cokelat atau lainnya itu akan jadi filosofi yang mungkin agak jauh berbeda. Tapi, tidak ada salahnya untuk menikmati secangkir kopi pahit sesekali, sambil duduk memikirkan waktu, sambil mencari tahu mengapa kopi sampai diciptakan di dunia.

Sambil mencari tahu, mengapa hidup kadangkala pahit sekali.


Comments

Unknown said…
Bagus banget nih tulisan.
Unknown said…
Bagus banget tulisanmu ini mba... sukses yaa...
rudirustiadi said…
hehehe... ternyata kita sama, gak bisa minum kopi asli.

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi